Langsung ke konten utama

“Selamat” Pagi-pagi

Saya sedang nguduk (maksudnya sedang makan nasi uduk) pagi tadi, tingtung nada notifikasi pesan wasap tertangkap telinga. Saya abaikan, namanya nguduk, ya, mesti dinikmati, tho! Mesti dienak-enaki sampai habis.

Setelah sepiring nasi uduk tandas saya nikmati, sehabis membayar baru saya buka hape. Oh, pesan wasap yang tadi masuk di grup keluarga. Mengucapkan selamat  atas kemenangan saya, jadi juara 1 lomba menulis esai.

Sambil ketawa sendiri, saya mengetik balasan. “Waduh, saya belum tahu, malah. Maturnuwun, tapi.” Setelah pesan balasan itu terkirim saya kantongi hapeStarter motor pulang. Sampai rumah, baru kembali buka hape.

Di fesbuk dan IG, telah diunggah pengumuman resmi dari panitia lomba. Nama-nama “kita” peserta lomba di-tag. Tanda suka saya klik dan tulis komen. Di WAG Workshop Esai juga diunggah pengumuman resmi.

Lagi-lagi, saya tidak menaruh ekspektasi berlebih setiap mengikuti lomba. Dari lomba menulis puisi berbahasa Lampung, lomba menulis esai sastra. Apatah juga buku yang diikutkan anugerah sastra Rancagé.

Ketika puisi Sampian juara 1 menulis puisi berbahasa Lampung, esai sastra juara harapan II, buku Singkapan (sang rumpun sajak bahasa Lampung) meraih Hadiah Sastra Rancagé, saya ucapkan syukur Alhamdulillah.

Demikian pula tatkala mengikuti lomba menulis esai “Membangun Bumi Ruwa Jurai dengan Kearifan Lokal Lampung”, niat saya meramaikan. Kalau kemudian juara 1, alhamdulillah. Tentu bukan faktor kebetulan.

Melainkan ketepatan tema. Begitu membaca tema yang disodorkan panitia, saya langsung terpikirkan satu lagu Lampung klasik milik teman kuliah di Jogja tahun ’83 yang saya nilai relevan dalam menyikapi celaan Bima.

Tahu kan dengan Bima? Seorang TikToker yang kuliah di Australia yang viral mempermalukan pemimpin pemerintahan di Bumi Ruwa Jurai akibat infrastruktur yang rusak parah dan stigmatisasi daerah termiskin.

Lagu Jak Pekon dinyanyikan Mursal, itu penuh petatah petitih dan mengandung narasi tanding (sastra perlawanan) terhadap cara pandang masyarakat yang tergiring opini sponsor bermodal besar dalam pilkada.

Ketika kemudian pemimpin pemerintahan yang disponsori korporasi besar yang akhirnya terpilih, yang ternyata “melakukan kelalaian atau pengabaian” pembangunan sehingga infrastruktur rusak parah.

Lalu? Esai yang saya ikutkan lomba, di dalamnya mengedepankan lagu Lampung klasik sebagai narasi tanding dalam menghadapi pemilukada, menarasikan agar ulun Lampung jeli memilih calon pemimpin.

Dan, ucapan selamat di pagi-pagi, saat saya sedang nguduk, menyadarkan saya bahwa kebiasaan orang beda-beda. Ada orang, cukup menyeruput kopi dan menghisap kretek sambil buka medsos, sarapanlah itu.

Ada orang yang belum menganggap sarapan kalau di hadapannya belum terhidang sepiring nasi uduk, nasi goreng atau semangkuk bubur ayam. Tentu juga sambil scroll layar hape menyiasati ada apa di dunia hari ini.

Nah, agak laen dengan saya saat nguduk pagi tadi. Saya “khusyuk” menikmati nasi uduk dengan lauk telur bulat, dua iris tempe goreng berbalut tepung bumbu plus sepiring kerupuk. Sama sekali tidak main hape.

Nah, seseorang yang pagi-pagi “sarapan medos” itulah yang tahu lebih dahulu ada pengumuman melalui medsos. Wajar belaka, ucapan “selamat” pagi-pagi bisa seketika itu ia kirim, dilengkapi link pengumumannya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kursi Roda Ibu Ani

Kursi roda Ibu Ani dan kesetiaan Pak SBY menungguinya di rumah sakit. Bagaimana bisa melahirkan novel yang menceritakan perjuangan penyintas kanker seperti di buku “Seperti Roda Berputar” tanpa mengikuti proses dari mula hingga kini? Pertanyaan itu yang bersarang di pikiranku. Sewaktu mudik ke Pacitan 21 Mei hingga 3 Juni 2024, kami mengeksplor Museum dan Galeri SBY-ANI. Satu foto memperlihatkan kesetiaan Pak SBY menunggui Ibu Ani di National University Hospital Singapura. Foto Ibu Ani duduk di kursi roda sementara Pak SBY duduk di tepi hospital bed yang biasa Ibu Ani tiduri selama dirawat. Kaki Pak SBY menjuntai. Foto menggambarkan keduanya berhadap-hadapan sambil berbincang akrab. Saya sebenarnya penasaran, apakah Pak SBY menulis buku tentang masa-masa Ibu Ani dirawat hingga wafat. Seperti yang dilakukan Pak BJ Habibie, pasca-meninggalnya Ibu Ainun Habibie, Pak Habibie dilanda demam rindu. Guna memadamkan kerinduan kepada Ibu Ainun itu, Pak Habibie mulai menuangkan perasaan...

Sastra Jalan-jalan

Siang baru saja melanjutkan perjalanan menuju barat, setelah istirahat sejenak di waktu zuhur, yang ditandai Matahari tepat di atas kepalanya. Tak lama sekira pukul 14:12 Kakang Paket datang mengantarkan kiriman buku dari Taman Inspirasi Sastra Indonesia. Komunitas sastra disingkat TISI pimpinan Bang Octavianus Masheka, ini baru saja usai merampungkan proses produksi dan terbitnya buku antologi “Bahasa Ibu, Bahasa Darahku” yang merupakan puisi bahasa Indonesia dan bahasa daerah masing-masing penulisnya. Buku-buku yang joss tenan Ada 100 orang penulis puisi dwi bahasa yang terhimpun di dalam buku bersampul merah menyala dengan gambar sampul siluet wajah Ibu yang di wajah, leher, dan dadanya dihiasi taburan wajah penulis puisi yang sengaja di- crop tertinggal bagian dada dan kepala saja. Sebelum buku “Bahasa Ibu, Bahasa Darahku” terlebih dahulu tiba di rumah buku “Zamrud” yaitu antologi puisi Dari Negeri Poci seri ke-15 yang saat datang kebetulan saya sedang tidak berada di rumah ...

Jangan Sakit Deh

“Jangan pernah sakit. Teruslah sehat dan berbahagia. Sakit itu sepi, menyakitkan, dan tentu saja mahal.” (Rusdi Mathari). Demikian terbaca di buku “Seperti Roda Berputar: Catatan di Rumah Sakit.” Buku merangkum catatan Rusdi Mathari yang menderita kanker saat-saat menjalani perawatan dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain. Sebenarnya Rusdi Mathari pengin menulis novel tentang sakit yang ia derita dan bagaimana ia mengupayakan kesembuhan dengan menjalani rangkaian pengobatan secara runtut tahap demi tahap. Dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain silih berganti, ditangani dokter berbagai spesialis yang berkaitan dengan sakit kankernya. Malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih. Rusdi Mathari meninggal di Jumat pagi, 2 Maret 2018. Novel yang ceritanya ia bayangkan akan demikian kompleksitas sekaligus melankolis tidak terwujud. “Seperti Roda Berputar” hanyalah memuat sebagian catatan di rumah sakit yang sempat ia tulis dan terbit di Mojok.co. Pemerintah menghapus kelas 1,...