Langsung ke konten utama

Ilmu Baru

Ilustrasi foto dari Harian Besemah

Dalam rangka ibadah kurban nih, saya dapat ilmu baru. Bahwa jika hendak berkurban, 10 hari sebelum hewan kurban disembelih, tidak boleh lagi potong kuku, mencukur rambut, kumis ataupun jenggot.

Untuk Iduladha 10 Zulhijjah 1444 H. yang jatuh pada hari Kamis (29/6/2023), batas akhir bisa memotong kuku, cukur rambut, kumis ataupun jenggot adalah hari Senin (19/6/2023). Sesudah itu, dilarang(?).

Batas akhir itu menandakan berakhirnya bulan Zulkaidah. Selasa, 1 Zulhijjah 1444 (20/6) hingga tiba saat hewan kurban disembelih, larangan itu berlaku. Teledornya saya, tidak sempat potong rambut.

Tiga hari sebelum batas waktu itu, cuaca sedang tidak baik-baik saja. Hujan terus, praktis tidak bisa ke barber shop. Rambut menyulur menusuk telinga dan tengkuk, gatal dan risih. Ai, dah, serbasalah.

Hanya kuku yang sempat dipotong. Jenggot juga sudah dicabuti, tetapi sepuluh hari sebelum hari raya kurban tiba, jenggot perlahan berkecambah. Rasa gatal dari jenggot putih mulai mengganggu.

Saya memperoleh ilmu baru ini dari kiriman di grup whatsapp. Mengapa saya katakan ilmu baru? Karena selama hidup baru ini tahu tentang ketentuan seperti itu. Entah apa dasarnya. Dalilnya sahih tidak.

Bahkan dalilnya pun tidak ada kutipannya. Dan, sebelum-sebelumnya memang tidak ada diajarkan. Mungkin karena tidak ada dalil sehingga tidak perlu diajarkan. Daripada memancing perdebatan.

Saya ya menurut saja karena hendak berkurban. Daripada berkurban, tetapi kemudian kurang afdol atau mengurangi timbangan pahalanya karena 'ngebuang' kuku, rambut, kumis ataupun jenggot.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kursi Roda Ibu Ani

Kursi roda Ibu Ani dan kesetiaan Pak SBY menungguinya di rumah sakit. Bagaimana bisa melahirkan novel yang menceritakan perjuangan penyintas kanker seperti di buku “Seperti Roda Berputar” tanpa mengikuti proses dari mula hingga kini? Pertanyaan itu yang bersarang di pikiranku. Sewaktu mudik ke Pacitan 21 Mei hingga 3 Juni 2024, kami mengeksplor Museum dan Galeri SBY-ANI. Satu foto memperlihatkan kesetiaan Pak SBY menunggui Ibu Ani di National University Hospital Singapura. Foto Ibu Ani duduk di kursi roda sementara Pak SBY duduk di tepi hospital bed yang biasa Ibu Ani tiduri selama dirawat. Kaki Pak SBY menjuntai. Foto menggambarkan keduanya berhadap-hadapan sambil berbincang akrab. Saya sebenarnya penasaran, apakah Pak SBY menulis buku tentang masa-masa Ibu Ani dirawat hingga wafat. Seperti yang dilakukan Pak BJ Habibie, pasca-meninggalnya Ibu Ainun Habibie, Pak Habibie dilanda demam rindu. Guna memadamkan kerinduan kepada Ibu Ainun itu, Pak Habibie mulai menuangkan perasaan...

Sastra Jalan-jalan

Siang baru saja melanjutkan perjalanan menuju barat, setelah istirahat sejenak di waktu zuhur, yang ditandai Matahari tepat di atas kepalanya. Tak lama sekira pukul 14:12 Kakang Paket datang mengantarkan kiriman buku dari Taman Inspirasi Sastra Indonesia. Komunitas sastra disingkat TISI pimpinan Bang Octavianus Masheka, ini baru saja usai merampungkan proses produksi dan terbitnya buku antologi “Bahasa Ibu, Bahasa Darahku” yang merupakan puisi bahasa Indonesia dan bahasa daerah masing-masing penulisnya. Buku-buku yang joss tenan Ada 100 orang penulis puisi dwi bahasa yang terhimpun di dalam buku bersampul merah menyala dengan gambar sampul siluet wajah Ibu yang di wajah, leher, dan dadanya dihiasi taburan wajah penulis puisi yang sengaja di- crop tertinggal bagian dada dan kepala saja. Sebelum buku “Bahasa Ibu, Bahasa Darahku” terlebih dahulu tiba di rumah buku “Zamrud” yaitu antologi puisi Dari Negeri Poci seri ke-15 yang saat datang kebetulan saya sedang tidak berada di rumah ...

Jangan Sakit Deh

“Jangan pernah sakit. Teruslah sehat dan berbahagia. Sakit itu sepi, menyakitkan, dan tentu saja mahal.” (Rusdi Mathari). Demikian terbaca di buku “Seperti Roda Berputar: Catatan di Rumah Sakit.” Buku merangkum catatan Rusdi Mathari yang menderita kanker saat-saat menjalani perawatan dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain. Sebenarnya Rusdi Mathari pengin menulis novel tentang sakit yang ia derita dan bagaimana ia mengupayakan kesembuhan dengan menjalani rangkaian pengobatan secara runtut tahap demi tahap. Dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain silih berganti, ditangani dokter berbagai spesialis yang berkaitan dengan sakit kankernya. Malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih. Rusdi Mathari meninggal di Jumat pagi, 2 Maret 2018. Novel yang ceritanya ia bayangkan akan demikian kompleksitas sekaligus melankolis tidak terwujud. “Seperti Roda Berputar” hanyalah memuat sebagian catatan di rumah sakit yang sempat ia tulis dan terbit di Mojok.co. Pemerintah menghapus kelas 1,...