Langsung ke konten utama

Cinta Kucing Ketimbang Bayi

Ilustrasi foto; pasangan yang menyayangi kucing melebihi bayi (foto: shutterstock.com)

Renald Kasali, Guru Besar UI, dalam kanal YouTube-nya menyebut, beberapa sekolah TK dan SD di tengah kota Jakarta kekurangan peserta didik. Pasalnya, keluarga muda banyak yang tinggal di daerah pinggiran Ibu Kota seperti Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi (bodetabek).

Dengan begitu sekolah-sekolah di daerah penyangga Ibu Kota itu lebih hidup. Umumnya terkonsentrasi di perumahan elit. Meskipun biaya pendidikannya tinggi, tetapi kualitas dan fasilitasnya terjamin. Tentu lebih disukai pasangan muda yang umumnya sibuk bekerja.

Sekolah-sekolah di tengah kota banyak yang menutup aktivitas belajar. Fenomena sekolah kekurangan murid itu bukan hanya terjadi di negara kita, melainkan juga melanda luar negeri. Pemicunya karena terjadi defisit populasi. Jepang dan Hong Kong bisa jadi bukti empiris.

Ternyata bukan Jepang saja dilanda defisit populasi. Faktanya, Hong Kong juga terimbas perubahan gaya hidup kaum mudanya. Yaitu, gak pengin menikah dan ogah memiliki anak. Di kedua negara tersebut jumlah kelahiran dan populasi usia sekolah menurun drastis.

Dikutip dari Hong Kong Free Press, survei Hong Kong Women Development Association (HKWDA) tahun 2023, lebih dari 70 persen responden berusia 18 tahun ke atas mengatakan kepada para peneliti bahwa mereka tidak memiliki rencana untuk melahirkan.

Asosiasi Keluarga Berencana Hong Kong juga survei kepada lebih 8.000 siswa sekolah menengah pada 2022. Hasilnya terjadi penurunan keinginan untuk memiliki anak di masa depan. Artinya, terjadi perubahan sikap terhadap keinginan menikah dan memiliki anak.

Pada 2011, 84 persen pria dewasa dan 70 persen wanita dewasa pengin memiliki anak. Namun, pada 2021 jumlahnya menurun menjadi 70 persen pria dewasa dan 55 persen wanita dewasa. Hal itu menegaskan telah terjadi perubahan sikap pria dan wanita di sana.

Populasi anak usia 12 tahun 71.600 pada tahun 2023, diperkirakan turun 16 persen menjadi 60.100 tahun 2029. Usia rata-rata pernikahan perempuan 26,2 dan laki-laki 29,1 pada tahun 1991, mungkin meningkat mencolok menjadi 30,4 dan 31,9 pada tahun 2029.

Mencintai Kucing Melebihi Bayi

Dikutip dari Channel News Asia (CNA), seorang manajer pemasaran berusia 34 tahun bernama Ah Ying berujar, bahwa dia mengurungkan niat untuk memiliki anak sepenuhnya setelah terjadi kerusuhan sosial pada 2019, meskipun sang suami terbuka untuk memiliki anak.

Saat itu Beijing memperketat cengkeramannya melalui undang-undang keamanan nasional dan perombakan sistem pemilu untuk memastikan hanya ‘patriot’ yang memerintah kota. Dengan sekolah yang menekankan patriotisme, dia khawatir anaknya bakal ‘dicuci otak’.

Dia merasa dalam membesarkan anak sejak balita ada budaya yang kompetitif. “Ini bukan hanya tentang tekanan emosional, melainkan juga beban keuangan. Jika saya tak bisa memberikan yang terbaik untuk anak saya, mungkin saya dilarang melahirkan,” katanya.

Dia dan suaminya pun memilih mengadopsi seekor kucing tahun lalu dan menganggapnya sebagai anggota keluarga. Mereka pun tidak membicarakan terkait keinginan mempunyai anak karena sudah tergantikan oleh kucing. Mereka mencintai kucing melebihi bayi.

Nah, fenomena defisit populasi yang terjadi di Jepang dan Hong Kong akibat gak pengin menikah dan ogah memiliki anak, seperti yang disitat dari kanal berita helath.detik.com, Minggu (21/5/2023) di atas, menjadi semacam antitesis dari apa yang terjadi di negara kita.

Kejadian sebaliknya di negara kita adalah maraknya pernikahan di bawah umur. Banyak anak usia sekolah mengajukan permohonan dispensasi untuk menikah. Pasalnya, karena terjadi kehamilan. Yang terjadi adalah over populasi akibat tingkat kelahiran cukup tinggi.

Di satu sisi terjadi pernikahan dini di kalangan anak usia sekolah, terjadi telat nikah di kalangan orang dewasa akibat sibuk meniti karier di sisi lain. Betah menjomlo menghinggapi sebagian workaholic di kota besar. Sibuk oleh pekerjaan sampai lupa cari jodoh.

Di satu sisi permisif dalam masyarakat tak dimungkiri karena alasan kasih sayang. Akibatnya, pengawasan orang tua terhadap pergaulan anak-anaknya relatif longgar. Di sisi lain, mereka yang sibuk bekerja, meniti karier, mengalami kendala membangun relationship.



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kursi Roda Ibu Ani

Kursi roda Ibu Ani dan kesetiaan Pak SBY menungguinya di rumah sakit. Bagaimana bisa melahirkan novel yang menceritakan perjuangan penyintas kanker seperti di buku “Seperti Roda Berputar” tanpa mengikuti proses dari mula hingga kini? Pertanyaan itu yang bersarang di pikiranku. Sewaktu mudik ke Pacitan 21 Mei hingga 3 Juni 2024, kami mengeksplor Museum dan Galeri SBY-ANI. Satu foto memperlihatkan kesetiaan Pak SBY menunggui Ibu Ani di National University Hospital Singapura. Foto Ibu Ani duduk di kursi roda sementara Pak SBY duduk di tepi hospital bed yang biasa Ibu Ani tiduri selama dirawat. Kaki Pak SBY menjuntai. Foto menggambarkan keduanya berhadap-hadapan sambil berbincang akrab. Saya sebenarnya penasaran, apakah Pak SBY menulis buku tentang masa-masa Ibu Ani dirawat hingga wafat. Seperti yang dilakukan Pak BJ Habibie, pasca-meninggalnya Ibu Ainun Habibie, Pak Habibie dilanda demam rindu. Guna memadamkan kerinduan kepada Ibu Ainun itu, Pak Habibie mulai menuangkan perasaan...

Sastra Jalan-jalan

Siang baru saja melanjutkan perjalanan menuju barat, setelah istirahat sejenak di waktu zuhur, yang ditandai Matahari tepat di atas kepalanya. Tak lama sekira pukul 14:12 Kakang Paket datang mengantarkan kiriman buku dari Taman Inspirasi Sastra Indonesia. Komunitas sastra disingkat TISI pimpinan Bang Octavianus Masheka, ini baru saja usai merampungkan proses produksi dan terbitnya buku antologi “Bahasa Ibu, Bahasa Darahku” yang merupakan puisi bahasa Indonesia dan bahasa daerah masing-masing penulisnya. Buku-buku yang joss tenan Ada 100 orang penulis puisi dwi bahasa yang terhimpun di dalam buku bersampul merah menyala dengan gambar sampul siluet wajah Ibu yang di wajah, leher, dan dadanya dihiasi taburan wajah penulis puisi yang sengaja di- crop tertinggal bagian dada dan kepala saja. Sebelum buku “Bahasa Ibu, Bahasa Darahku” terlebih dahulu tiba di rumah buku “Zamrud” yaitu antologi puisi Dari Negeri Poci seri ke-15 yang saat datang kebetulan saya sedang tidak berada di rumah ...

Jangan Sakit Deh

“Jangan pernah sakit. Teruslah sehat dan berbahagia. Sakit itu sepi, menyakitkan, dan tentu saja mahal.” (Rusdi Mathari). Demikian terbaca di buku “Seperti Roda Berputar: Catatan di Rumah Sakit.” Buku merangkum catatan Rusdi Mathari yang menderita kanker saat-saat menjalani perawatan dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain. Sebenarnya Rusdi Mathari pengin menulis novel tentang sakit yang ia derita dan bagaimana ia mengupayakan kesembuhan dengan menjalani rangkaian pengobatan secara runtut tahap demi tahap. Dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain silih berganti, ditangani dokter berbagai spesialis yang berkaitan dengan sakit kankernya. Malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih. Rusdi Mathari meninggal di Jumat pagi, 2 Maret 2018. Novel yang ceritanya ia bayangkan akan demikian kompleksitas sekaligus melankolis tidak terwujud. “Seperti Roda Berputar” hanyalah memuat sebagian catatan di rumah sakit yang sempat ia tulis dan terbit di Mojok.co. Pemerintah menghapus kelas 1,...