Langsung ke konten utama

Berlipat-lipat Kebaikan

Setelah mengumpulkan uang tabungan bersama 11 kali cicilan, akhirnya grup arisan kurban kami bertujuh orang bisa mewujudkan niat berkurban satu ekor sapi. Biasanya kurban secara perorangan berupa kambing.

Hewan kurban yang disembelih di masjid kemarin, dua ekor sapi dan lima ekor kambing, berasal dari RT 11,12, dan 14. RT 13 sudah dua kali lebaran Iduladha, mereka memotong hewan kurban di lingkungan RT sendiri.

Informasinya, mereka memotong sapi tiga ekor, entah berapa kembing. Entah mengapa tidak mau bergabung berkurban di masjid. Semacam aksi ‘menyempal’ dari kebersamaan dan kerukunan antarjemaah satu masjid.

Namun, bagi saya tidak begitu mengherankan. Di Blok sebelah, ada satu rumah tiba-tiba dialihfungsikan jadi musala. Padahal, orang yang salat berjemaah di situ tidak banyak. Bahkan, kadang sepi tidak ada kegiatan.

Padahal, tidak jauh dari situ masjid mereka baru saja selesai dibangun lantai duanya. Memang kecil ukuran masjidnya. Karena itu, warga sokongan dana untuk membangun lantai duanya agar menjadi lebih lapang.

***

Dua ekor sapi yang disembelih di masjid kemarin bisa ‘menggembirakan’ warga di RT 11, 12, dan 14. Apalagi ditambah lima ekor kambing, lebih dari cukup bila dibagikan warga yang banyaknya kurang lebih 200 KK.

Yang jelas, ‘suasana gembira’ itu terlihat nyata saat prosesi penyembelihan, menyeset, dan membagi-bagi daging menjadi 200 kantong. Ditambah tulang dan jeroan. Bisa untuk diolah menjadi menu apa saja.

‘Suasana gembira’ itu muncul dari riang canda, tawa, celetukan spontan, dan keyakinan ada pahala yang mengalir dari berkurban itu. Menyempurnakan pahala yang didapat dari menunaikan puasa sunah Arafah.

Menurut pandangan ulama NU, orang yang berkurban akan memperoleh berlipat-lipat kebaikan. Setiap langkah menuju proses berkurban akan diberi pahala 10 kebaikan, perilaku buruk akan dihapus 10 kali.

Derajat spiritualnya akan ditingkatkan 10 kali lipat. “Ketika hewan kurban direbahkan akan disembelih, semua makhluk di bumi akan turun 7 kali lipat untuk memohonkan ampunan bagi orang yang berkurban.”

Inilah sapi yang kami 'tabung' selama satu tahun di peternakan di daerah Branti. (Foto: ZY)


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kursi Roda Ibu Ani

Kursi roda Ibu Ani dan kesetiaan Pak SBY menungguinya di rumah sakit. Bagaimana bisa melahirkan novel yang menceritakan perjuangan penyintas kanker seperti di buku “Seperti Roda Berputar” tanpa mengikuti proses dari mula hingga kini? Pertanyaan itu yang bersarang di pikiranku. Sewaktu mudik ke Pacitan 21 Mei hingga 3 Juni 2024, kami mengeksplor Museum dan Galeri SBY-ANI. Satu foto memperlihatkan kesetiaan Pak SBY menunggui Ibu Ani di National University Hospital Singapura. Foto Ibu Ani duduk di kursi roda sementara Pak SBY duduk di tepi hospital bed yang biasa Ibu Ani tiduri selama dirawat. Kaki Pak SBY menjuntai. Foto menggambarkan keduanya berhadap-hadapan sambil berbincang akrab. Saya sebenarnya penasaran, apakah Pak SBY menulis buku tentang masa-masa Ibu Ani dirawat hingga wafat. Seperti yang dilakukan Pak BJ Habibie, pasca-meninggalnya Ibu Ainun Habibie, Pak Habibie dilanda demam rindu. Guna memadamkan kerinduan kepada Ibu Ainun itu, Pak Habibie mulai menuangkan perasaan...

Sastra Jalan-jalan

Siang baru saja melanjutkan perjalanan menuju barat, setelah istirahat sejenak di waktu zuhur, yang ditandai Matahari tepat di atas kepalanya. Tak lama sekira pukul 14:12 Kakang Paket datang mengantarkan kiriman buku dari Taman Inspirasi Sastra Indonesia. Komunitas sastra disingkat TISI pimpinan Bang Octavianus Masheka, ini baru saja usai merampungkan proses produksi dan terbitnya buku antologi “Bahasa Ibu, Bahasa Darahku” yang merupakan puisi bahasa Indonesia dan bahasa daerah masing-masing penulisnya. Buku-buku yang joss tenan Ada 100 orang penulis puisi dwi bahasa yang terhimpun di dalam buku bersampul merah menyala dengan gambar sampul siluet wajah Ibu yang di wajah, leher, dan dadanya dihiasi taburan wajah penulis puisi yang sengaja di- crop tertinggal bagian dada dan kepala saja. Sebelum buku “Bahasa Ibu, Bahasa Darahku” terlebih dahulu tiba di rumah buku “Zamrud” yaitu antologi puisi Dari Negeri Poci seri ke-15 yang saat datang kebetulan saya sedang tidak berada di rumah ...

Jangan Sakit Deh

“Jangan pernah sakit. Teruslah sehat dan berbahagia. Sakit itu sepi, menyakitkan, dan tentu saja mahal.” (Rusdi Mathari). Demikian terbaca di buku “Seperti Roda Berputar: Catatan di Rumah Sakit.” Buku merangkum catatan Rusdi Mathari yang menderita kanker saat-saat menjalani perawatan dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain. Sebenarnya Rusdi Mathari pengin menulis novel tentang sakit yang ia derita dan bagaimana ia mengupayakan kesembuhan dengan menjalani rangkaian pengobatan secara runtut tahap demi tahap. Dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain silih berganti, ditangani dokter berbagai spesialis yang berkaitan dengan sakit kankernya. Malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih. Rusdi Mathari meninggal di Jumat pagi, 2 Maret 2018. Novel yang ceritanya ia bayangkan akan demikian kompleksitas sekaligus melankolis tidak terwujud. “Seperti Roda Berputar” hanyalah memuat sebagian catatan di rumah sakit yang sempat ia tulis dan terbit di Mojok.co. Pemerintah menghapus kelas 1,...