Langsung ke konten utama

Segera

| Ilustrasi gambar milik Rubber Stamps Online Malaysia |

Di masa jayanya surat menyurat, ada beberapa pilihan cara mengirimkan surat melalui pos. Yaitu, biasa, kilat, kilat khusus, dan surat tercatat. Bisa diketahui melalui nilai prangko atau biaya yang dibayar dalam rupiah.

Ada yang menulis kode khusus di amplop. Misalnya, tulisan kata; ‘kilat’ atau ‘segera’ yang digarisbawahi. Meskipun sudah ditempeli prangko kilat, ada kalanya orang kurang mantap kalau tidak menuliskan kata ‘kilat’ itu.

Nah, penggunaan kata; ‘segera’ itu menandakan bahwa betapa urgensinya surat yang dikirim itu. Si pengirim surat berharap petugas pos menaruh perhatian dengan cara segera menyampaikannya kepada si penerima.

Banyak hal yang menuntut untuk diselesaikan sesegera mungkin. Misalnya, menyempurnakan jenazah yang meliputi memandikan, mengafani, menyalatkan, dan memakamkan. Alangkah baiknya jangan ditunda, ya.

Siang tadi mantan Kaur TU di sekolah istri berpulang ke Rahmatullah. Hingga Magrib tadi kami belum pergi melayat karena informasi yang diterima siang bahwa jenazahnya akan dimakamkan besok. Ya, sudah, santai.

Sehabis Isa dan sudah selesai makan malam, baru saja saya menghidupkan laptop, tetangga di depan rumah menelepon, mengajak takziah ke rumah duka karena ada info terbaru jenazah dimakamkan malam ini juga.

Kami berdua berangkat, sampai rumah duka masih ada beberapa orang duduk-duduk di depan rumah. Salah seorang memberitahu bahwa jenazah sedang diantar ke pemakaman. Kami berdua memutuskan pulang saja.

Bukan tidak ada keinginan menyusul ke pemakaman, melainkan mengingat jalan ke pemakaman yang gelap dan sebagian masih berupa jalan makadam yang kalau siang saja cukup merepotkan apalagi ini malam hari.

Baguslah kalau pihak sahibul musibah memutuskan segera memakamkan beliau sekalipun malam hari. Walaupun tidak mudah melaksanakannya, tetapi jika memungkinan kenapa tidak. “Ikan sepat ikan gabus.”


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kursi Roda Ibu Ani

Kursi roda Ibu Ani dan kesetiaan Pak SBY menungguinya di rumah sakit. Bagaimana bisa melahirkan novel yang menceritakan perjuangan penyintas kanker seperti di buku “Seperti Roda Berputar” tanpa mengikuti proses dari mula hingga kini? Pertanyaan itu yang bersarang di pikiranku. Sewaktu mudik ke Pacitan 21 Mei hingga 3 Juni 2024, kami mengeksplor Museum dan Galeri SBY-ANI. Satu foto memperlihatkan kesetiaan Pak SBY menunggui Ibu Ani di National University Hospital Singapura. Foto Ibu Ani duduk di kursi roda sementara Pak SBY duduk di tepi hospital bed yang biasa Ibu Ani tiduri selama dirawat. Kaki Pak SBY menjuntai. Foto menggambarkan keduanya berhadap-hadapan sambil berbincang akrab. Saya sebenarnya penasaran, apakah Pak SBY menulis buku tentang masa-masa Ibu Ani dirawat hingga wafat. Seperti yang dilakukan Pak BJ Habibie, pasca-meninggalnya Ibu Ainun Habibie, Pak Habibie dilanda demam rindu. Guna memadamkan kerinduan kepada Ibu Ainun itu, Pak Habibie mulai menuangkan perasaan...

Sastra Jalan-jalan

Siang baru saja melanjutkan perjalanan menuju barat, setelah istirahat sejenak di waktu zuhur, yang ditandai Matahari tepat di atas kepalanya. Tak lama sekira pukul 14:12 Kakang Paket datang mengantarkan kiriman buku dari Taman Inspirasi Sastra Indonesia. Komunitas sastra disingkat TISI pimpinan Bang Octavianus Masheka, ini baru saja usai merampungkan proses produksi dan terbitnya buku antologi “Bahasa Ibu, Bahasa Darahku” yang merupakan puisi bahasa Indonesia dan bahasa daerah masing-masing penulisnya. Buku-buku yang joss tenan Ada 100 orang penulis puisi dwi bahasa yang terhimpun di dalam buku bersampul merah menyala dengan gambar sampul siluet wajah Ibu yang di wajah, leher, dan dadanya dihiasi taburan wajah penulis puisi yang sengaja di- crop tertinggal bagian dada dan kepala saja. Sebelum buku “Bahasa Ibu, Bahasa Darahku” terlebih dahulu tiba di rumah buku “Zamrud” yaitu antologi puisi Dari Negeri Poci seri ke-15 yang saat datang kebetulan saya sedang tidak berada di rumah ...

Jangan Sakit Deh

“Jangan pernah sakit. Teruslah sehat dan berbahagia. Sakit itu sepi, menyakitkan, dan tentu saja mahal.” (Rusdi Mathari). Demikian terbaca di buku “Seperti Roda Berputar: Catatan di Rumah Sakit.” Buku merangkum catatan Rusdi Mathari yang menderita kanker saat-saat menjalani perawatan dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain. Sebenarnya Rusdi Mathari pengin menulis novel tentang sakit yang ia derita dan bagaimana ia mengupayakan kesembuhan dengan menjalani rangkaian pengobatan secara runtut tahap demi tahap. Dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain silih berganti, ditangani dokter berbagai spesialis yang berkaitan dengan sakit kankernya. Malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih. Rusdi Mathari meninggal di Jumat pagi, 2 Maret 2018. Novel yang ceritanya ia bayangkan akan demikian kompleksitas sekaligus melankolis tidak terwujud. “Seperti Roda Berputar” hanyalah memuat sebagian catatan di rumah sakit yang sempat ia tulis dan terbit di Mojok.co. Pemerintah menghapus kelas 1,...