Langsung ke konten utama

Revitalisasi Pasar

PKL pasar Pasir Gintung (foto: RMOL Lampung)

Kota Bandar Lampung, wali kotanya begitu peduli dalam urusan revitalisasi pasar. Sudah berapa pasar direvitalisasi. Tulisan “Bambu Kuning” yang ikonik di Pasar Bambu Kuning jadi hilang setelah direvitalisasi.

Tulisan berdesain bilah-bilah batang bambu berwarna kuning dihajar modernisasi wajah pasar yang sekarang mirip-mirip plaza. Hanya saja, belum mencerminkan seolah-olah bagai sebuah mal yang berwajah modern.

Meski bangunannya tambah besar karena sayap-sayap yang dahulu jadi tempat para PKL berdagang diokupasi oleh bangunan, akan tetapi ironisnya di lantai 2 banyak kios kosong tak terjual atau karena sewanya mahal.

Tak kalah ironis, pedagang di lantai 1 merasa setengah putus asa karena pengunjung kian sepi. Adanya TikTok yang bukan hanya sekadar untuk konten generasi alay narsisme, melainkan juga jadi platform jual beli online.

Sehingga praktis pemasukan pedagang Bambu Kuning jadi merosot sementara sewa kios tidak bisa dihindari kudu dibayar. Belum lagi pajak yang harus ditanggung, membuat pedagang terjepit di antara pilihan sulit.

Alat berat dikerahkan untuk membongkar lapak PKL di pasar Pasir Gintung yang akan direvitalisasi, Selasa (12/9/2023), foto: Tribun Lampung.

Pilihan sulit itu antara terus bertahan dengan kondisi minim pemasukan atau menutup kios dan berhenti berdagang. Pilihan sulit tidak hanya dialami pedagang Bambu Kuning, tetapi pedagang pasar lain pun sama.

Pasar Way Halim, pasar Tani, pasar Smep sudah bagus. Kini pasar Pasir Gintung akan direvitalisasi jadi pasar modern. Kemarin PKL yang memenuhi jalan di depan pasar sudah digusur dan pindah ke pasar Smep.

Memang penting merevitalisasi pasar dengan penataan kios yang lebih rapi dan tersegmentasi. Para pedagang dikelompokkan sesuai komoditas dagangannya agar tidak tercampur baur tidak karuan dan begitu kontras.

Tertatanya pedagang sesuai komoditas dagangannya membuat pembeli jadi nyaman. Pengin beli sayuran terkonsentrasi di satu blok, pengin daging-dagingan seperti ayam, ikan, sapi, kambing cari di blok lainnya.

Jika sudah mengakomodasi kemudahan para pembeli, maka pasar tradisional yang tadinya tidak beraturan jadi lebih mendekat pada konsep pasar modern. Harus begitu konsep membangun pasar. Modern, rapi, bersih.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kursi Roda Ibu Ani

Kursi roda Ibu Ani dan kesetiaan Pak SBY menungguinya di rumah sakit. Bagaimana bisa melahirkan novel yang menceritakan perjuangan penyintas kanker seperti di buku “Seperti Roda Berputar” tanpa mengikuti proses dari mula hingga kini? Pertanyaan itu yang bersarang di pikiranku. Sewaktu mudik ke Pacitan 21 Mei hingga 3 Juni 2024, kami mengeksplor Museum dan Galeri SBY-ANI. Satu foto memperlihatkan kesetiaan Pak SBY menunggui Ibu Ani di National University Hospital Singapura. Foto Ibu Ani duduk di kursi roda sementara Pak SBY duduk di tepi hospital bed yang biasa Ibu Ani tiduri selama dirawat. Kaki Pak SBY menjuntai. Foto menggambarkan keduanya berhadap-hadapan sambil berbincang akrab. Saya sebenarnya penasaran, apakah Pak SBY menulis buku tentang masa-masa Ibu Ani dirawat hingga wafat. Seperti yang dilakukan Pak BJ Habibie, pasca-meninggalnya Ibu Ainun Habibie, Pak Habibie dilanda demam rindu. Guna memadamkan kerinduan kepada Ibu Ainun itu, Pak Habibie mulai menuangkan perasaan...

Sastra Jalan-jalan

Siang baru saja melanjutkan perjalanan menuju barat, setelah istirahat sejenak di waktu zuhur, yang ditandai Matahari tepat di atas kepalanya. Tak lama sekira pukul 14:12 Kakang Paket datang mengantarkan kiriman buku dari Taman Inspirasi Sastra Indonesia. Komunitas sastra disingkat TISI pimpinan Bang Octavianus Masheka, ini baru saja usai merampungkan proses produksi dan terbitnya buku antologi “Bahasa Ibu, Bahasa Darahku” yang merupakan puisi bahasa Indonesia dan bahasa daerah masing-masing penulisnya. Buku-buku yang joss tenan Ada 100 orang penulis puisi dwi bahasa yang terhimpun di dalam buku bersampul merah menyala dengan gambar sampul siluet wajah Ibu yang di wajah, leher, dan dadanya dihiasi taburan wajah penulis puisi yang sengaja di- crop tertinggal bagian dada dan kepala saja. Sebelum buku “Bahasa Ibu, Bahasa Darahku” terlebih dahulu tiba di rumah buku “Zamrud” yaitu antologi puisi Dari Negeri Poci seri ke-15 yang saat datang kebetulan saya sedang tidak berada di rumah ...

Jangan Sakit Deh

“Jangan pernah sakit. Teruslah sehat dan berbahagia. Sakit itu sepi, menyakitkan, dan tentu saja mahal.” (Rusdi Mathari). Demikian terbaca di buku “Seperti Roda Berputar: Catatan di Rumah Sakit.” Buku merangkum catatan Rusdi Mathari yang menderita kanker saat-saat menjalani perawatan dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain. Sebenarnya Rusdi Mathari pengin menulis novel tentang sakit yang ia derita dan bagaimana ia mengupayakan kesembuhan dengan menjalani rangkaian pengobatan secara runtut tahap demi tahap. Dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain silih berganti, ditangani dokter berbagai spesialis yang berkaitan dengan sakit kankernya. Malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih. Rusdi Mathari meninggal di Jumat pagi, 2 Maret 2018. Novel yang ceritanya ia bayangkan akan demikian kompleksitas sekaligus melankolis tidak terwujud. “Seperti Roda Berputar” hanyalah memuat sebagian catatan di rumah sakit yang sempat ia tulis dan terbit di Mojok.co. Pemerintah menghapus kelas 1,...