Langsung ke konten utama

HRD “Burik”

“Di Twitter (kini X), kita bisa menemukan yang asyik-asyik.” Begitu pernah saya tulis di postingan (entah judulnya apa?) di blog ini. Ya, memang begitu adanya, banyak hal nyelenéh tapi asyik. Banyak hal récéh tapi bermanfaat. Semua itu membuat saya demen scroll X lumayan lama buat menemukan yang asyik-asyik.

Akun @worksfess sering banget “memanggungkan” hal-hal yang nyelenéh dan récéh tapi bikin senyum mengembang atau tawa kecil berderai. Empat hari lalu akun ini mengetuwit (meng X) persoalan HRD yang menolak calon karyawan yang berpenampilan rapi saat interviu, tubuh dibalut blazer, pakai high heels.

Alasan HRD tidak meloloskan calon karyawan yang berpenampilan rapi saat interviu amat menggelikan menurut saya. Seingat dan pengalaman saya, saat interviu rata-rata cewek berpenampilan rapi dan terkesan charming. Beda dengan cowok, cukup kemeja putih, celana dasar hitam, dan sepatu pantofel.

“Pasti HRD nya burik xixixi, canda ya HRD” komentar pemilik X @halogagaraga. Pada kbbi.web.id, kata burik bermakna (1) bopeng; (2) berbintik-bintik putih (pada bulu ayam); kurik. Nah, HRD dicandai “burik” sebagai ekspresi saking nyelenéhnya dia. Tapi, umumnya HRD (pastilah) berwajah cantik, berpenampilan menarik.

Atau barangkali HRD-nya kalah cantik dibanding mbak calon karyawan yang dia interviu. Takut nantinya bila si HRD tersaingi bahkan tergeser posisinya dari HRD. Dan, tentu sialan amat bilamana posisi yang dia duduki justru digantikan mbak yang dia interviu dulu yang kariernya melejit serta super duper moncer skill-nya.

Bicara skill, mestinya tolok ukur diterima atau tidaknya calon karyawan bukan ditentukan penampilannya saat interviu, melainkan skill yang dimilikinya. Mustahil banget rasanya sebuah corporate tidak memiliki standard pasti dalam mencari calon karyawan. Tentu yang diukur skill, kompetensi, dan integritasnya.

Untuk melihat skill, kompetensi, dan integritas pencari kerja, HRD cukup melihat akun LinkedIn mereka. Kecakapan, kemampuan, dan kepribadiannya bisa dinilai dalam tahapan interviu. Dalam interviu itu psikologi manusia bisa dinilai dengan membaca penampilan, bahasa tubuh, dan cara berbicara.

Penampilan, tentu saja terkait dengan fashion dan pembawaan diri. Sementara “cara berbicara” terkait erat dengan tutur kata, bahasa, dan argumen yang mengemuka saat interviu berlangsung. Nah, tentu saja amat menggelikan bilamana ada HRD yang menafikan penampilan yang menarik sebagai poin penilaian.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kursi Roda Ibu Ani

Kursi roda Ibu Ani dan kesetiaan Pak SBY menungguinya di rumah sakit. Bagaimana bisa melahirkan novel yang menceritakan perjuangan penyintas kanker seperti di buku “Seperti Roda Berputar” tanpa mengikuti proses dari mula hingga kini? Pertanyaan itu yang bersarang di pikiranku. Sewaktu mudik ke Pacitan 21 Mei hingga 3 Juni 2024, kami mengeksplor Museum dan Galeri SBY-ANI. Satu foto memperlihatkan kesetiaan Pak SBY menunggui Ibu Ani di National University Hospital Singapura. Foto Ibu Ani duduk di kursi roda sementara Pak SBY duduk di tepi hospital bed yang biasa Ibu Ani tiduri selama dirawat. Kaki Pak SBY menjuntai. Foto menggambarkan keduanya berhadap-hadapan sambil berbincang akrab. Saya sebenarnya penasaran, apakah Pak SBY menulis buku tentang masa-masa Ibu Ani dirawat hingga wafat. Seperti yang dilakukan Pak BJ Habibie, pasca-meninggalnya Ibu Ainun Habibie, Pak Habibie dilanda demam rindu. Guna memadamkan kerinduan kepada Ibu Ainun itu, Pak Habibie mulai menuangkan perasaan...

Sastra Jalan-jalan

Siang baru saja melanjutkan perjalanan menuju barat, setelah istirahat sejenak di waktu zuhur, yang ditandai Matahari tepat di atas kepalanya. Tak lama sekira pukul 14:12 Kakang Paket datang mengantarkan kiriman buku dari Taman Inspirasi Sastra Indonesia. Komunitas sastra disingkat TISI pimpinan Bang Octavianus Masheka, ini baru saja usai merampungkan proses produksi dan terbitnya buku antologi “Bahasa Ibu, Bahasa Darahku” yang merupakan puisi bahasa Indonesia dan bahasa daerah masing-masing penulisnya. Buku-buku yang joss tenan Ada 100 orang penulis puisi dwi bahasa yang terhimpun di dalam buku bersampul merah menyala dengan gambar sampul siluet wajah Ibu yang di wajah, leher, dan dadanya dihiasi taburan wajah penulis puisi yang sengaja di- crop tertinggal bagian dada dan kepala saja. Sebelum buku “Bahasa Ibu, Bahasa Darahku” terlebih dahulu tiba di rumah buku “Zamrud” yaitu antologi puisi Dari Negeri Poci seri ke-15 yang saat datang kebetulan saya sedang tidak berada di rumah ...

Jangan Sakit Deh

“Jangan pernah sakit. Teruslah sehat dan berbahagia. Sakit itu sepi, menyakitkan, dan tentu saja mahal.” (Rusdi Mathari). Demikian terbaca di buku “Seperti Roda Berputar: Catatan di Rumah Sakit.” Buku merangkum catatan Rusdi Mathari yang menderita kanker saat-saat menjalani perawatan dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain. Sebenarnya Rusdi Mathari pengin menulis novel tentang sakit yang ia derita dan bagaimana ia mengupayakan kesembuhan dengan menjalani rangkaian pengobatan secara runtut tahap demi tahap. Dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain silih berganti, ditangani dokter berbagai spesialis yang berkaitan dengan sakit kankernya. Malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih. Rusdi Mathari meninggal di Jumat pagi, 2 Maret 2018. Novel yang ceritanya ia bayangkan akan demikian kompleksitas sekaligus melankolis tidak terwujud. “Seperti Roda Berputar” hanyalah memuat sebagian catatan di rumah sakit yang sempat ia tulis dan terbit di Mojok.co. Pemerintah menghapus kelas 1,...