Langsung ke konten utama

Terakota

Image: IDN Times

Pada kbbi.web.id, arti terakota meliputi dua macam makna. Makna pertama, tembikar yang tidak dilapisi glasir. Makna kedua, merah kecoklat-coklatan atau merah (batu) bata. Yang saya ingin bahas di sini adalah tentang terakota untuk warna kain, yaitu merah kecoklat-coklatan atau merah (batu) bata.

Jadi, ceritanya, pagi jelang siang tadi cabes datang buat merundingkan model seragam untuk acara akad anak-anak nanti. Biasalah buibu rempong butuh mengatur segalanya sedetail mungkin. Apalagi urusan busana di acara sakral, ya, mesti diperhatikan “dengan cara saksama dan dalam tempo yang merepotkan.”

Ahahaha… kayak teks proklamasi saja. Nah, tentang terakota, saya sudah sering dengar ketika mengantar istri ke toko tekstil, tetapi saya tidak begitu menaruh minat untuk memperhatikannya secara saksama dan dalam tempo yang… ah… ngelantur nih, warna kain yang terakota itu sebenarnya seperti apa.

Di toko tekstil, kata terakota akan sering diucapkan, baik oleh pengunjung yang mencari bahan baju maupun oleh pelayan toko. Jika pengunjung bilang cari warna terakota, maka pelayan toko tekstil sudah paham dan akan menunjukkan barangnya. Pengunjung tinggal mencari motif apa yang diinginkan.

Untuk adanya kesatupaduan desain, kedua buibu rempong, istri saya dan cabes pergi ke penjahit langganan istri, kebetulan kain yang akan dijahit memang sudah diantar ke sana beberapa hari lalu. Di sana ditunjukkan desain yang diinginkan sesuai contoh yang dibawa cabes, biar “seragam” beneran.

Saya tidak ikut mengantar karena mereka berdua berboncengan sepeda motor. Tidak lama azan Zuhur berkumandang saya berwudu. Mereka berdua datang dan cabes langsung pamit pulang. Padahal, tadinya mau diajak istri maksi sekalian di Kepayang. “Nggak enak Bapaknya makan sendirian di rumah,” kelitnya.

Terakota dijadikan nama kafe ternyata banyak juga. Karena enak terdengar di telinga. Eye catching (enak dilihat) kalau menyangkut warna. Coba saja googling. Ditulis pake bahasa Inggris, terracotta. Ada di Bandung, Jakarta Barat, Gading Serpong, Cikarang Pusat (Bekasi), Makassar, Tangerang, Mumbai, Dubai, dll.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kursi Roda Ibu Ani

Kursi roda Ibu Ani dan kesetiaan Pak SBY menungguinya di rumah sakit. Bagaimana bisa melahirkan novel yang menceritakan perjuangan penyintas kanker seperti di buku “Seperti Roda Berputar” tanpa mengikuti proses dari mula hingga kini? Pertanyaan itu yang bersarang di pikiranku. Sewaktu mudik ke Pacitan 21 Mei hingga 3 Juni 2024, kami mengeksplor Museum dan Galeri SBY-ANI. Satu foto memperlihatkan kesetiaan Pak SBY menunggui Ibu Ani di National University Hospital Singapura. Foto Ibu Ani duduk di kursi roda sementara Pak SBY duduk di tepi hospital bed yang biasa Ibu Ani tiduri selama dirawat. Kaki Pak SBY menjuntai. Foto menggambarkan keduanya berhadap-hadapan sambil berbincang akrab. Saya sebenarnya penasaran, apakah Pak SBY menulis buku tentang masa-masa Ibu Ani dirawat hingga wafat. Seperti yang dilakukan Pak BJ Habibie, pasca-meninggalnya Ibu Ainun Habibie, Pak Habibie dilanda demam rindu. Guna memadamkan kerinduan kepada Ibu Ainun itu, Pak Habibie mulai menuangkan perasaan...

Sastra Jalan-jalan

Siang baru saja melanjutkan perjalanan menuju barat, setelah istirahat sejenak di waktu zuhur, yang ditandai Matahari tepat di atas kepalanya. Tak lama sekira pukul 14:12 Kakang Paket datang mengantarkan kiriman buku dari Taman Inspirasi Sastra Indonesia. Komunitas sastra disingkat TISI pimpinan Bang Octavianus Masheka, ini baru saja usai merampungkan proses produksi dan terbitnya buku antologi “Bahasa Ibu, Bahasa Darahku” yang merupakan puisi bahasa Indonesia dan bahasa daerah masing-masing penulisnya. Buku-buku yang joss tenan Ada 100 orang penulis puisi dwi bahasa yang terhimpun di dalam buku bersampul merah menyala dengan gambar sampul siluet wajah Ibu yang di wajah, leher, dan dadanya dihiasi taburan wajah penulis puisi yang sengaja di- crop tertinggal bagian dada dan kepala saja. Sebelum buku “Bahasa Ibu, Bahasa Darahku” terlebih dahulu tiba di rumah buku “Zamrud” yaitu antologi puisi Dari Negeri Poci seri ke-15 yang saat datang kebetulan saya sedang tidak berada di rumah ...

Jangan Sakit Deh

“Jangan pernah sakit. Teruslah sehat dan berbahagia. Sakit itu sepi, menyakitkan, dan tentu saja mahal.” (Rusdi Mathari). Demikian terbaca di buku “Seperti Roda Berputar: Catatan di Rumah Sakit.” Buku merangkum catatan Rusdi Mathari yang menderita kanker saat-saat menjalani perawatan dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain. Sebenarnya Rusdi Mathari pengin menulis novel tentang sakit yang ia derita dan bagaimana ia mengupayakan kesembuhan dengan menjalani rangkaian pengobatan secara runtut tahap demi tahap. Dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain silih berganti, ditangani dokter berbagai spesialis yang berkaitan dengan sakit kankernya. Malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih. Rusdi Mathari meninggal di Jumat pagi, 2 Maret 2018. Novel yang ceritanya ia bayangkan akan demikian kompleksitas sekaligus melankolis tidak terwujud. “Seperti Roda Berputar” hanyalah memuat sebagian catatan di rumah sakit yang sempat ia tulis dan terbit di Mojok.co. Pemerintah menghapus kelas 1,...