Tanah Abang

Bangunan Pasar Tanah Abang yang modern (foto: Indonesiatrend.com,)

Justinus Vinck, pejabat VOC yang kaya raya. Di tangan Vinck tergenggam sejarah berdirinya pasar. Ceritanya bermula ketika Vinck, yang memiliki dua bidang tanah di Batavia, ingin mengubah tanahnya itu menjadi aset yang produktif. Caranya dengan menjadikannya pasar.

Maka, dibangunlah Pasar Senen dan Pasar Tanah Abang. Itulah asal usul kedua pasar tersebut. Menurut Alwi Shahab dalam Saudagar Baghdad dari Betawi (2004), kedua pasar itu diresmikan pada 31 Agustus 1735. Berarti kini usianya mendekati 3 abad.

Meskipun ibaratnya saudara kembar, kedua pasar itu memiliki fungsi berbeda. Pasar Senen khusus menjual sayuran serta kebutuhan pokok sedangkan Tanah Abang diperuntukkan menjual tekstil dan kelontong. Begitulah fungsinya berlanjut hingga sekarang.

Awalnya pasar ini sepi, lapak pun hanya berdinding anyaman bambu. Namun, seiring bertambahnya perkampungan di sekitarnya, pasar berkembang pesat. Apalagi setelah dimodernisasai dan dikelola PD Pasar Jaya, BUMD milik Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.

Pasar Tanah Abang jadi sentra penjualan tekstil. Dari sinilah Pasar Tanah Abang mulai dikenal di luar negeri, khususnya kawasan Asia Tenggara. Dari berbagai daerah bahkan dari Malaysia, Singapura, Johor, dan Brunei mengunjungi Pasar Tanah Abang belanja tekstil.

Pasar Tanah Abang pada tahun 1930 (foto: pinterest.com)

Di tahun 1990-an perputaran uang di Pasar Tanah Abang mencapai Rp 10 miliar per hari. Maka, Tanah Abang dinobatkan sebagai pasar tekstil terbesar se-Asia Tenggara. Bahkan, mengutip CNN Indonesia, dua tahun lalu pernah menyentuh Rp 200 miliar per hari.

Semua berkat promosi oleh pemerintah. Akan tetapi, cerita tentang sepinya pengunjung dan merosotnya omzet penjualan yang ramai dikeluhkan pedagang begitu tragis dan ironis. Kejayaan Pasar Tanah Abang lambat laun akan menjadi cerita manis belaka.

Lalau, apa pasal Pasar Tanah Abang akhir-akhir ini sepi? Maraknya kalangan selebriti berjualan online atau live shop melalu TikTok atau Shopee jadi tertuduh. Tentu saja tidak bisa serta merta menyalahkan selebriti apalagi platform olshop yang dikambinghitamkan.

Di Blok G bahkan kiosnya sepi karena ditinggal tenant. Para pedagang hengkang karena tak tahan dirundung sepi pengunjung sementara sewa harus tetap dibayar. Daripada boncos tidak ada pemasukan, akhirnya para pedagang memutuskan lebih baik menutup kios.

Kios-kios kosong itu memunculkan aura seram. Ada anggapan telah muncul “kios hantu” di sana. Nah, cemmana tidak sepi pengunjung kalau ada cerita miring begitu. Ya, sudah, jadikan saja tempat syuting acara “Oh... Seram”, tapi masih ada nggak acaranya?

dbs

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kursi Roda Ibu Ani

Angin Laut Pantura

Rumah 60 Ribuan