Langsung ke konten utama

Kahanan

Ilustrasi gambar milik apaitu.web.id

Tiga tahun pandemi Covid-19 (2020—2022) membuat sebagian orang terbelenggu. Sebagian lain masih bisa melakukan perjalanan dengan protokol kesehatan ketat. Kahanan demikian, praktis membuat kehidupan ambyar.

Setelah tiga tahun nggak boleh mudik, pada libur Lebaran 1444 - H 2023 M, senyampang anak-anak bisa mudik, kami menindaklanjuti kehendak dari dua hamba Allah Swt yang mohon direstui jalinan tali kasih (hubungan) mereka.

Sejak pertemuan keluarga akhir Syakban guna menyepakati kapan Hari-H pelaksanaan engagement dan apa saja syarat rukun yang harus dipenuhi, maka kami berdua istri mulai hunting di mana menemukan itu dan di mana mencari ini.

Mulai dari wajik ketan, wajik dodol, cake, dan bucket bunga. Beruntung banyak yang membantu dan merekomendasikan yang ini cari di situ dan yang itu temukan di sini. Alhasil ayem tentrem ati setelah request bisa dilayani dan dipenuhi.

Keterbatasan waktu untuk menyelesaikan semua kegiatan secara bersama-sama dengan istri, maka siasatnya adalah dicicil mengerjakan per item. Merakit parcel hantaran berisi perangkat minum bisa diselesaikan sebelum tiba Idulfitri.

Dua varian rasa cake diantar oleh pembuat di sore hari terakhir puasa atau malam Lebaran. Karena jarak waktu dengan Hari-H masih lama, terpaksa opname dahulu dalam lemari pendingin. Mending mengeras ketimbang jamuran.

Empat Loyang wajik dua varian diambil sore H-1. Tidak apa menginap satu malam berikut dua varian cake yang diambil pada siang H-1. Parcel buah pun siap di malam H-1 juga. Komplet dah semua barang bawaan yang jadi syarat rukun.

Saudara dan keponakan istri yang diajak ikut mengiringi, dihubungi ulang via WhatsApp. Semua bersedia untuk meramaikan. Ok, biar seru. Apalagi pasukan krucil yang lumayan banyak bisa terangkut dalam kendaraan keluarga.

Perihal berapa banyak bakal rombongan pengiring, sebelumnya terlebih dahulu telah dikonfirmasikan ke pihak calon besti, bahwa keponakan yang pulang dari Jakarta mau pada ikut. "Nggak apa-apa, biar rame," itu responnya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kursi Roda Ibu Ani

Kursi roda Ibu Ani dan kesetiaan Pak SBY menungguinya di rumah sakit. Bagaimana bisa melahirkan novel yang menceritakan perjuangan penyintas kanker seperti di buku “Seperti Roda Berputar” tanpa mengikuti proses dari mula hingga kini? Pertanyaan itu yang bersarang di pikiranku. Sewaktu mudik ke Pacitan 21 Mei hingga 3 Juni 2024, kami mengeksplor Museum dan Galeri SBY-ANI. Satu foto memperlihatkan kesetiaan Pak SBY menunggui Ibu Ani di National University Hospital Singapura. Foto Ibu Ani duduk di kursi roda sementara Pak SBY duduk di tepi hospital bed yang biasa Ibu Ani tiduri selama dirawat. Kaki Pak SBY menjuntai. Foto menggambarkan keduanya berhadap-hadapan sambil berbincang akrab. Saya sebenarnya penasaran, apakah Pak SBY menulis buku tentang masa-masa Ibu Ani dirawat hingga wafat. Seperti yang dilakukan Pak BJ Habibie, pasca-meninggalnya Ibu Ainun Habibie, Pak Habibie dilanda demam rindu. Guna memadamkan kerinduan kepada Ibu Ainun itu, Pak Habibie mulai menuangkan perasaan...

Sastra Jalan-jalan

Siang baru saja melanjutkan perjalanan menuju barat, setelah istirahat sejenak di waktu zuhur, yang ditandai Matahari tepat di atas kepalanya. Tak lama sekira pukul 14:12 Kakang Paket datang mengantarkan kiriman buku dari Taman Inspirasi Sastra Indonesia. Komunitas sastra disingkat TISI pimpinan Bang Octavianus Masheka, ini baru saja usai merampungkan proses produksi dan terbitnya buku antologi “Bahasa Ibu, Bahasa Darahku” yang merupakan puisi bahasa Indonesia dan bahasa daerah masing-masing penulisnya. Buku-buku yang joss tenan Ada 100 orang penulis puisi dwi bahasa yang terhimpun di dalam buku bersampul merah menyala dengan gambar sampul siluet wajah Ibu yang di wajah, leher, dan dadanya dihiasi taburan wajah penulis puisi yang sengaja di- crop tertinggal bagian dada dan kepala saja. Sebelum buku “Bahasa Ibu, Bahasa Darahku” terlebih dahulu tiba di rumah buku “Zamrud” yaitu antologi puisi Dari Negeri Poci seri ke-15 yang saat datang kebetulan saya sedang tidak berada di rumah ...

Jangan Sakit Deh

“Jangan pernah sakit. Teruslah sehat dan berbahagia. Sakit itu sepi, menyakitkan, dan tentu saja mahal.” (Rusdi Mathari). Demikian terbaca di buku “Seperti Roda Berputar: Catatan di Rumah Sakit.” Buku merangkum catatan Rusdi Mathari yang menderita kanker saat-saat menjalani perawatan dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain. Sebenarnya Rusdi Mathari pengin menulis novel tentang sakit yang ia derita dan bagaimana ia mengupayakan kesembuhan dengan menjalani rangkaian pengobatan secara runtut tahap demi tahap. Dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain silih berganti, ditangani dokter berbagai spesialis yang berkaitan dengan sakit kankernya. Malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih. Rusdi Mathari meninggal di Jumat pagi, 2 Maret 2018. Novel yang ceritanya ia bayangkan akan demikian kompleksitas sekaligus melankolis tidak terwujud. “Seperti Roda Berputar” hanyalah memuat sebagian catatan di rumah sakit yang sempat ia tulis dan terbit di Mojok.co. Pemerintah menghapus kelas 1,...