Langsung ke konten utama

Bukber Aja, Asyik Aja

Setelah dikecam keras oleh Yusril Ihza Mahendra, yang mengkhawatirkan Presiden Jokowi dicap sebagai antiislam, Jokowi pun meluruskan larangan buka bersama yang semula ia tidak perbolehkan.

Tadinya, Jokowi mengeluarkan pernyataan melarang mengadakan kegiatan buka bersama pada bulan Ramadan. Sontak larangan Jokowi tersebut menuai beragam reaksi dari masyarakat. Disindir di medsos.

Bahkan, ada yang mengaitkannya dengan pesta pernikahan anaknya Kaesang, beberapa waktu lalu di Solo. Pesta yang digelar secara mewah wah dengan undangan 3000 orang dari berbagai kalangan.

Ya, pesta yang ketua panitianya Erick Thohir dibantu beberapa menteri dan pejabat lainnya, dihadiri berbagai kalangan. Para pejabat, menteri, umum, selebritis, dan warga kota Surakarta, tumpah ruah.

Barangkali merasa tersindir dan tak enak hati, Jokowi meralat penyataannya. Larangan buka bersama (bukber) hanya ditujukan kepada ASN, pejabat kementerian, dan lembaga negara lainnya.

Sementara masyarakat umum diperbolehkan mengadakan bukber. Memang, sejak ramai aksi flexing istri dan anak pejabat Bea Cukai, gaya hidup mewah semua pejabat menjadi sorotan publik.

Pemicu awal terbukanya gaya hidup mewah dan seberapa kaya pejabat Ditjen Pajak dan Bea Cukai, adalah kasus penganiayaan oleh Mario Dandy terhadap David Ozora hingga koma beberapa hari.

Meski ada larangan pun, oleh presiden sekalipun, toh masyarakat akan tetap mengadakan bukber. Karena seperti halnya ngabuburit, bukber adalah tradisi pada kegiatan ibadah puasa. Sebagai media silaturahim.

Demikian juga halnya mudik, dilarang pun orang di perantauan akan tetap melakukannya. "Mudik dilarang, pulang kampung boleh," kata Jokowi di masa Covid-19, sebuah pernyataan yang absurd.

Hasil perkawinan campur antarsuku, membuat kami memiliki keluarga multietnik dan budaya. Tetapi, yang namanya bukber dan mudik kami jadikan pemersatu keragaman etnik dan budaya tersebut.

Dengan demikian, tak pernah terlewat sekali pun. Meski pandemi Covid-19, kami tetap bukber dengan prokes. Pun mudik, jadi sebuah ritus budaya karena sejatinya mudik adalah pulang ke asal muasal diri.

Sabtu malam (25/3) lalu, keluarga besar kami yang multietnik bukber di Kedai Kuliner "Teras Sambal Rampai" Jl. Sultan Agung, Way Halim. Padahal, Jokowi belum meluruskan pernyataan larangannya.

Bukan berarti kami membangkang larangannya, melainkan kami kudu menjalankan apa yang telah direncanakan sejak jauh hari sebelum memasuki bulan Ramadan, sebelum ibadah puasa dijalankan.

Jokowi baru meralat pernyataan larangan bukber, Senin (27/3). Jokowi menegaskan imbauan larangan buka puasa bersama hanya untuk internal pejabat pemerintah, bukan ditujukan masyarakat umum. 

"Bukan untuk masyarakat umum. Sekali lagi, bukan untuk masyarakat umum," kata Jokowi dalam jumpa pers. (lihat YouTube Satpres, Senin, 27/3).  Yo, wes, makanya monggo bukber aja, diasyik-syikkan aja

Daftar menu di Kedai Kuliner Teras Sambal Rampai





Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kursi Roda Ibu Ani

Kursi roda Ibu Ani dan kesetiaan Pak SBY menungguinya di rumah sakit. Bagaimana bisa melahirkan novel yang menceritakan perjuangan penyintas kanker seperti di buku “Seperti Roda Berputar” tanpa mengikuti proses dari mula hingga kini? Pertanyaan itu yang bersarang di pikiranku. Sewaktu mudik ke Pacitan 21 Mei hingga 3 Juni 2024, kami mengeksplor Museum dan Galeri SBY-ANI. Satu foto memperlihatkan kesetiaan Pak SBY menunggui Ibu Ani di National University Hospital Singapura. Foto Ibu Ani duduk di kursi roda sementara Pak SBY duduk di tepi hospital bed yang biasa Ibu Ani tiduri selama dirawat. Kaki Pak SBY menjuntai. Foto menggambarkan keduanya berhadap-hadapan sambil berbincang akrab. Saya sebenarnya penasaran, apakah Pak SBY menulis buku tentang masa-masa Ibu Ani dirawat hingga wafat. Seperti yang dilakukan Pak BJ Habibie, pasca-meninggalnya Ibu Ainun Habibie, Pak Habibie dilanda demam rindu. Guna memadamkan kerinduan kepada Ibu Ainun itu, Pak Habibie mulai menuangkan perasaan...

Sastra Jalan-jalan

Siang baru saja melanjutkan perjalanan menuju barat, setelah istirahat sejenak di waktu zuhur, yang ditandai Matahari tepat di atas kepalanya. Tak lama sekira pukul 14:12 Kakang Paket datang mengantarkan kiriman buku dari Taman Inspirasi Sastra Indonesia. Komunitas sastra disingkat TISI pimpinan Bang Octavianus Masheka, ini baru saja usai merampungkan proses produksi dan terbitnya buku antologi “Bahasa Ibu, Bahasa Darahku” yang merupakan puisi bahasa Indonesia dan bahasa daerah masing-masing penulisnya. Buku-buku yang joss tenan Ada 100 orang penulis puisi dwi bahasa yang terhimpun di dalam buku bersampul merah menyala dengan gambar sampul siluet wajah Ibu yang di wajah, leher, dan dadanya dihiasi taburan wajah penulis puisi yang sengaja di- crop tertinggal bagian dada dan kepala saja. Sebelum buku “Bahasa Ibu, Bahasa Darahku” terlebih dahulu tiba di rumah buku “Zamrud” yaitu antologi puisi Dari Negeri Poci seri ke-15 yang saat datang kebetulan saya sedang tidak berada di rumah ...

Jangan Sakit Deh

“Jangan pernah sakit. Teruslah sehat dan berbahagia. Sakit itu sepi, menyakitkan, dan tentu saja mahal.” (Rusdi Mathari). Demikian terbaca di buku “Seperti Roda Berputar: Catatan di Rumah Sakit.” Buku merangkum catatan Rusdi Mathari yang menderita kanker saat-saat menjalani perawatan dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain. Sebenarnya Rusdi Mathari pengin menulis novel tentang sakit yang ia derita dan bagaimana ia mengupayakan kesembuhan dengan menjalani rangkaian pengobatan secara runtut tahap demi tahap. Dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain silih berganti, ditangani dokter berbagai spesialis yang berkaitan dengan sakit kankernya. Malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih. Rusdi Mathari meninggal di Jumat pagi, 2 Maret 2018. Novel yang ceritanya ia bayangkan akan demikian kompleksitas sekaligus melankolis tidak terwujud. “Seperti Roda Berputar” hanyalah memuat sebagian catatan di rumah sakit yang sempat ia tulis dan terbit di Mojok.co. Pemerintah menghapus kelas 1,...