Langsung ke konten utama

MyRepublic

Banner MyRepublic di tiang telepon. Tambah satu lagi provider internet. (foto koleksi pribadi)

Jalan pagi usai subuh tadi menemukan banner MyRepublic di tiang telepon. Ah, datang juga dia di kota Tapis Berseri, membuntuti provider yang telah lama mendahului masuk ke lintasan balap, bersaing menyediakan jasa internet cepat.

Pada banner tertulis “kami segera hadir di sini.” Artinya, MyRepublic baru mau dipasarkan. Dengan menemukan banner-nya di tiang telepon atau pohon, saya tahu kalau ada provider baru, selain IndiHome yang terpasang di rumah.

Sejauh saya temukan banner-nya, ada 10 provider internet yang hadir di Lampung, yaitu IndiHome, FazNet, Nusanet, Zitline, GasNet, Rack, Biznet, iCONNET, gifihome, MegaFiber. Ditambah MyRepublic menjadi 11. Atau lebih barangkali.

Tiang telepon, listrik, dan pepohonan di pinggir jalan media promosi gratis barang dan jasa apa pun. Lihatlah pada tiang listrik atau telepon, ada berapa banyak nomor kontak jasa sedot WC ditempelkan. Mereka menciptakan polusi visual.

Jelang pemilu, pohon-pohon pinggir jalan menyemai “tunas baru”, banner caleg, cakada dan wakada, bahkan capres dan cawapres tampak tumbuh ranum, disaat musim kemarau sekalipun. Musim PPDB, sekolah swasta ambil manfaatnya.

Sebelum pandemi Covid-19 anak kami di Surabaya bertanya apakah di Tapis Berseri sudah ada MyRepublic. Ia katakan tarifnya lumayan murah dan kecepatannya terjamin. Sayang bener waktu itu belum ada, jadi bersetia pada IndiHome.

Saya cermati banner provider yang saya jumpai di tiang atau pohon itu menawarkan bandwidth dari yang rendah sampai yang tinggi, dengan besaran biaya berlangganan per bulan yang [rasa-rasanya] cukup terjangkau kantong konsumen.

Dengan bandwidth yang ditawarkan para provider yang ada, konsumen bebas menentukan jasa layanan internet mana yang hendak mereka pilih. Dari BUMN ada TELKOM dengan IndiHome dan PLN dengan iCONNET. Lainnya milik swasta.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kursi Roda Ibu Ani

Kursi roda Ibu Ani dan kesetiaan Pak SBY menungguinya di rumah sakit. Bagaimana bisa melahirkan novel yang menceritakan perjuangan penyintas kanker seperti di buku “Seperti Roda Berputar” tanpa mengikuti proses dari mula hingga kini? Pertanyaan itu yang bersarang di pikiranku. Sewaktu mudik ke Pacitan 21 Mei hingga 3 Juni 2024, kami mengeksplor Museum dan Galeri SBY-ANI. Satu foto memperlihatkan kesetiaan Pak SBY menunggui Ibu Ani di National University Hospital Singapura. Foto Ibu Ani duduk di kursi roda sementara Pak SBY duduk di tepi hospital bed yang biasa Ibu Ani tiduri selama dirawat. Kaki Pak SBY menjuntai. Foto menggambarkan keduanya berhadap-hadapan sambil berbincang akrab. Saya sebenarnya penasaran, apakah Pak SBY menulis buku tentang masa-masa Ibu Ani dirawat hingga wafat. Seperti yang dilakukan Pak BJ Habibie, pasca-meninggalnya Ibu Ainun Habibie, Pak Habibie dilanda demam rindu. Guna memadamkan kerinduan kepada Ibu Ainun itu, Pak Habibie mulai menuangkan perasaan...

Sastra Jalan-jalan

Siang baru saja melanjutkan perjalanan menuju barat, setelah istirahat sejenak di waktu zuhur, yang ditandai Matahari tepat di atas kepalanya. Tak lama sekira pukul 14:12 Kakang Paket datang mengantarkan kiriman buku dari Taman Inspirasi Sastra Indonesia. Komunitas sastra disingkat TISI pimpinan Bang Octavianus Masheka, ini baru saja usai merampungkan proses produksi dan terbitnya buku antologi “Bahasa Ibu, Bahasa Darahku” yang merupakan puisi bahasa Indonesia dan bahasa daerah masing-masing penulisnya. Buku-buku yang joss tenan Ada 100 orang penulis puisi dwi bahasa yang terhimpun di dalam buku bersampul merah menyala dengan gambar sampul siluet wajah Ibu yang di wajah, leher, dan dadanya dihiasi taburan wajah penulis puisi yang sengaja di- crop tertinggal bagian dada dan kepala saja. Sebelum buku “Bahasa Ibu, Bahasa Darahku” terlebih dahulu tiba di rumah buku “Zamrud” yaitu antologi puisi Dari Negeri Poci seri ke-15 yang saat datang kebetulan saya sedang tidak berada di rumah ...

Jangan Sakit Deh

“Jangan pernah sakit. Teruslah sehat dan berbahagia. Sakit itu sepi, menyakitkan, dan tentu saja mahal.” (Rusdi Mathari). Demikian terbaca di buku “Seperti Roda Berputar: Catatan di Rumah Sakit.” Buku merangkum catatan Rusdi Mathari yang menderita kanker saat-saat menjalani perawatan dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain. Sebenarnya Rusdi Mathari pengin menulis novel tentang sakit yang ia derita dan bagaimana ia mengupayakan kesembuhan dengan menjalani rangkaian pengobatan secara runtut tahap demi tahap. Dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain silih berganti, ditangani dokter berbagai spesialis yang berkaitan dengan sakit kankernya. Malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih. Rusdi Mathari meninggal di Jumat pagi, 2 Maret 2018. Novel yang ceritanya ia bayangkan akan demikian kompleksitas sekaligus melankolis tidak terwujud. “Seperti Roda Berputar” hanyalah memuat sebagian catatan di rumah sakit yang sempat ia tulis dan terbit di Mojok.co. Pemerintah menghapus kelas 1,...