Langsung ke konten utama

21-03, 21:03

Ilustrasi, gambar milik portaluang.com

Kemarin pukul 14 +, sesuai janji via WhatsApp sebelumnya, terkabullah hajat bertemu calon besti. Ini menindaklanjuti pertemuan secara kebetulan yang disengaja pada tanggal 14 Januari silam. Ceritanya sudah dipos di blog ini, bisa dilacak pada postingan bertitimangsa 15 Januari 2023.

Ya, kemarin bertitimangsa 21 Maret atau 21-03. Maka, postingan kali ini sengaja diberi judul 21-03 sebagai prasasti sejarah. Sedang 21:03 adalah penanda waktu cerita ini diposkan. Orang yang biasa berkutat di dunia seni selalu saja mengaitkan sesuatu (apa pun) dengan seni.

Bukankah nyeni kalau judul tulisan dibuat dalam bentuk angka. Apalagi kalau ada kaitannya dengan asbabun nuzul terjadinya suatu peristiwa yang sakral. Di samping nyeni, judul dalam wujud deretan angka begitu, menegaskan kelayakannya untuk jadi landasan pijak penulisan cerita.

Sahdan, pertemuan kedua ini memang benar-benar ada unsur kesengajaan, sudah janjian via WhatsApp dahulu. Bukan kebetulan yang disengaja seperti yang terjadi pada 14 Januari 2023 silam. Namanya sengaja, namanya sudah pernah bertemu, tentu gayeng-lah pertukaran ceritanya.

Obrolan bermula pada seputar anak-anak yang akan temu jodoh. Kedua orang tua saling bertukar kisah. Mulai dari masalah sekolah, di mana mereka sejak TK hingga bertemu di SMA. Pergaulan mereka juga seperti apa, ekstrakurikuler apa sebagai gizi tambahan selain pelajaran di sekolah.

Latar belakang keluarga juga saling dipertukarkan ceritanya. Dengan demikian bisa terselami secara terang benderang bagaimana bibit, bebet, dan bobot mereka. Perkara ada yang menilai bahwa penentuan kriteria berdasar bibit, bebet, dan bobot sudah tidak relevan di masa sekarang, monggo saja.

Semakin ke sini atau makin maju peradaban, makin berubah pula cara pandang masing-masing individu dalam mencari pasangan. Tidak mustahil tentu ada yang tidak lagi begitu memperhitungkan ketiga kriteria tersebut karena perubahan cara pandang. Yang penting dapat jodoh. Ya, sudah, sana.

Boleh saja mengabaikan bagaimana bibit (garis keturunan)-nya. Kalau tanpa disadari bertemu anak dari pembuahan di luar nikah, bagaimana? Ya, risiko. Bisa saja kan jawabannya begitu? Ya, atas nama cinta, atas nama yang penting dapat jodoh, atau demi apa pun alasannya. Boleh, sah-sah saja.

Abaikan bibit, yang penting bebet (status sosial ekonomi). Sing penting sugih. Boleh. Berarti yang memenuhi kriteria demikian adalah anak pegawai bea cukai atau djp? Yang viral karena aksi flexing anak dan istrinya. Ada harga ada barang. Ada warna ada rupa. Ada asap ada api, narasinya.

Ada yang mengesampingkan bobot (kepribadian dan pendidikan). Itu tadi akhirnya, karena kepribadiannya tidak matang, karena pendidikannya tidak memperluas cakrawala pemikiran, akhirnya melakukan flexing. Jika kemudian harta orang tua disita negara, itu risiko namanya. Jangan nangis.

Nah, dari bincang sore hingga senja di bawah cerucur hujan amat deras bertingkah angin, bibit, bebet, dan bobot mereka cukup bagus. Clear dari hal-hal yang menyangsikan. Mudah-mudahan mereka cocok chemistry secara interpersonal, punya visi dan misi yang sama, dan satu jalan satu tujuan.



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kursi Roda Ibu Ani

Kursi roda Ibu Ani dan kesetiaan Pak SBY menungguinya di rumah sakit. Bagaimana bisa melahirkan novel yang menceritakan perjuangan penyintas kanker seperti di buku “Seperti Roda Berputar” tanpa mengikuti proses dari mula hingga kini? Pertanyaan itu yang bersarang di pikiranku. Sewaktu mudik ke Pacitan 21 Mei hingga 3 Juni 2024, kami mengeksplor Museum dan Galeri SBY-ANI. Satu foto memperlihatkan kesetiaan Pak SBY menunggui Ibu Ani di National University Hospital Singapura. Foto Ibu Ani duduk di kursi roda sementara Pak SBY duduk di tepi hospital bed yang biasa Ibu Ani tiduri selama dirawat. Kaki Pak SBY menjuntai. Foto menggambarkan keduanya berhadap-hadapan sambil berbincang akrab. Saya sebenarnya penasaran, apakah Pak SBY menulis buku tentang masa-masa Ibu Ani dirawat hingga wafat. Seperti yang dilakukan Pak BJ Habibie, pasca-meninggalnya Ibu Ainun Habibie, Pak Habibie dilanda demam rindu. Guna memadamkan kerinduan kepada Ibu Ainun itu, Pak Habibie mulai menuangkan perasaan...

Sastra Jalan-jalan

Siang baru saja melanjutkan perjalanan menuju barat, setelah istirahat sejenak di waktu zuhur, yang ditandai Matahari tepat di atas kepalanya. Tak lama sekira pukul 14:12 Kakang Paket datang mengantarkan kiriman buku dari Taman Inspirasi Sastra Indonesia. Komunitas sastra disingkat TISI pimpinan Bang Octavianus Masheka, ini baru saja usai merampungkan proses produksi dan terbitnya buku antologi “Bahasa Ibu, Bahasa Darahku” yang merupakan puisi bahasa Indonesia dan bahasa daerah masing-masing penulisnya. Buku-buku yang joss tenan Ada 100 orang penulis puisi dwi bahasa yang terhimpun di dalam buku bersampul merah menyala dengan gambar sampul siluet wajah Ibu yang di wajah, leher, dan dadanya dihiasi taburan wajah penulis puisi yang sengaja di- crop tertinggal bagian dada dan kepala saja. Sebelum buku “Bahasa Ibu, Bahasa Darahku” terlebih dahulu tiba di rumah buku “Zamrud” yaitu antologi puisi Dari Negeri Poci seri ke-15 yang saat datang kebetulan saya sedang tidak berada di rumah ...

Jangan Sakit Deh

“Jangan pernah sakit. Teruslah sehat dan berbahagia. Sakit itu sepi, menyakitkan, dan tentu saja mahal.” (Rusdi Mathari). Demikian terbaca di buku “Seperti Roda Berputar: Catatan di Rumah Sakit.” Buku merangkum catatan Rusdi Mathari yang menderita kanker saat-saat menjalani perawatan dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain. Sebenarnya Rusdi Mathari pengin menulis novel tentang sakit yang ia derita dan bagaimana ia mengupayakan kesembuhan dengan menjalani rangkaian pengobatan secara runtut tahap demi tahap. Dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain silih berganti, ditangani dokter berbagai spesialis yang berkaitan dengan sakit kankernya. Malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih. Rusdi Mathari meninggal di Jumat pagi, 2 Maret 2018. Novel yang ceritanya ia bayangkan akan demikian kompleksitas sekaligus melankolis tidak terwujud. “Seperti Roda Berputar” hanyalah memuat sebagian catatan di rumah sakit yang sempat ia tulis dan terbit di Mojok.co. Pemerintah menghapus kelas 1,...