Ujian Puasa


Peristiwa #1

Setiap Ramadan tiba, masjid kami mengadakan doa bersama bakda magrib. Masing-masing KK diminta membawa dua kotak (besek) nasi ke masjid. Setelah doa menyambut bulan Ramadan selesai diaamiinkan, nasi dibagikan kepada jemaah. Semua rata kebagian dari yang dewasa hingga anak-anak, lelaki dan perempuan.

Tidak mau repot-repot masak di dapur, saya beli saja dua kotak nasi di Rumah Makan Padang. Kemarin kebetulan istri ikut, dia yang mengorder pesanan ke kasir. Di sana kondisi ramai, mungkin dengan kepentingan yang sama seperti kami, perlu membawa nasi ke masjid. Seorang ibu duduk menunggu pesanannya pada bangku di hadapan kami.

Ndilalah, tak lama menunggu, juru layan menyodorkan dua kotak nasi pesanan kami. Kontan saja si ibu di hadapan protes. “Kan, duluan saya,” sergah dia. Si pelayan kikuk dibuatnya, menarik mundur dua kotak nasi yang telanjur disodorkannya kepada istri saya. Saya lihatin saja si ibu itu. Dalam batin, ini orang protestan eh... protesan, ding.

Orang kalau merasa sudah lama ngantré, tetapi kemudian mendapat pelayanan belakangan dari orang yang kebetulan baru datang, spontan akan protes. Di lain situasi, terhadap orang yang berbaris antre, enteng aje nyerobot. Jika diingatkan berlagak tak mendengar. Bila ditegur secara keras, mereka berani adu mulut. Kadang lebih galak mereka.


Peristiwa #2

Hari pertama puasa siang tadi, saya mengantar istri besuk teman kerjanya yang dirawat inap di RS BW. Konon, cerita di WAG sirkel sekantor, teman mereka itu dilarikan ke RS karena terkena serangan stroke ringan. Belum tahu jelas bagaimana kronologi kejadiannya. Oke, kami ke RS meski sebenarnya menahan kantuk karena bangun waktu sahur.

Sampai RS dan masuk kamar tempat dia dirawat, kami temui dia sudah sehat. Diceritakannya kronologi kejadian. Dia sedang di pasar, sepertinya sedang belanja untuk kebutuhan menyambut datangnya bulan Ramadan. Seusai belanja, keluar dari dalam pasar tetiba jari jemari tangannya seperti kaku tak bisa digerakkan lagi. Terduduk dia.

Jejerit dia minta pertolongan orang di pasar. Orang-orang berkerumun (bayangkan saja begitu) mengupayakan pertolongan pertama. Keluarganya dihubungi, tak lama kemudian datang menjemput dan membawanya ke RS. Berulang-ulang dia memperagakan jari tangannya yang kaku itu kepada istri saya, saya duduk diam. Merutuk.

Untung ada kursi plastik sebatangkara. Pasalnya, suami dia mendekat ke saya mengulurkan tangan menyalami, tidak. Menyapa sekadar basa-basi, tidak juga. Boro-boro ngajak ngobrol ngalor ngidul. Saya keluarkan hp dari saku, saya buka Twitter, scroll baca-baca. Untung ada hp dan medsos. Dalam batin ngedumel, kami datang jenguk istri elo, Asu.

Ujian Puasa

Peristiwa #1 Rabu senja dan peristiwa #2 Kamis siang, seperti hendak menjadi batu uji atas kesabaran di dalam menyambut dan menjalankan ibadah puasa. Seringkali saya diserobot orang saat antre, tetapi sama sekali saya tidak pedulikan. Apalagi kalau yang nyerobot emak-emak atau gadis-gadis yang sedang labil-labilnya. Biarin. Duluan sana.

Dalam hidup kita akan dipertontonkan beragam karakter manusia. Rupa-rupa. Karakter baik dan tidak baik, karakter menyenangkan dan menjengkelkan, yang arogan berkepala batu dan yang rendah hati berkepala dingin. Kita pun punya karakter-karakter seperti itu. Kita punya pilihan, tergantung kita karakter yang mana sebaiknya pengin kita rawat.

Menumbuhkan kemudian merawat atau mengelola karakter baik, tentu butuh latihan secara sinambung dalam waktu lama. Tidak bisa ditetapkan patokannya sekian tahun, misalnya. Tetapi, harus sepanjang usia kehidupan kita. Di situlah letak makna pembelajaran seumur hidup. Bukan hanya mengenai intelektual, melainkan emosional juga.

Kecerdasan emosi akan membawa kita pada tingkat bagaimana memahami karakter orang yang di luar ekspektasi. Pada Ramadan ini, kita diasah bukan saja kesabaran menahan lapar dan haus, melainkan juga mengendalikan emosi agar tidak sampai mencaci maki. Maka, saya hanya ngebatin saja, walaupun muni Asu.

Spiritual Awakening & Spiritual Journey

Dari dua peritiwa di atas, muncul rasa ketidaknyamanan yang absurd. Pertama, si ibu di Warung Padang merasa telah dinomorduakan oleh juru layan rumah makan. Tak pelak dia protes karena diperlakukan tidak nyaman. Kedua, si juru layan rumah makan merasa tidak nyaman karena berbuat keliru (di luar kesadarannya) sehingga diprotes.

Ketiga, saya merasa tidak nyaman atas perilaku cuek suami ibu yang kami jenguk. Wajar dong, siapa yang tidak nyaman jika dicuekin. Tetapi, ketidaknyamanan yang saya rasa, bisa saya hibur dengan pemikiran yang muncul dari olah batin saat itu. Olah batin yang terbentuk dari dalamnya kesadaran spiritual (spiritual awakening) yang telah saya gali.

Saya berpikiran mungkin si ibu di Warung Padang adalah seorang perfeksionis, semua hal harus sempurna di mata dia. Saya berpikiran mungkin si juru layan sedikit gupek menghadapi banyaknya pembeli yang “menyerbu.” Saya juga berpikiran mungkin si bapak yang cuek di rumah sakit, sedang mengalami kecamuk pikiran karena istrinya sakit.  

Absurditas memang mudah sekali muncul dalam setiap situasi. Kesadaran spiritual (spiritual awakening) sangat dibutuhkan dalam memahami mengapa situasi demikian kita alami. Perjalanan spiritual (spiritual journey) tidak akan kita capai kalau pikiran kita ke mana-mana. Maka, tidak usah dipikirkan apa yang terjadi. Enjoy saja, selesai.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kursi Roda Ibu Ani

Angin Laut Pantura

Rumah 60 Ribuan