Langsung ke konten utama

SPT PEMILU

Surat pemberitahuan pemungutan suara kepada pemilih untuk pemilu pada hari Rabu, 14 Februari 2024.

Siang tadi surat pemberitahuan pemungutan suara kepada pemilih atau saya singkat dengan SPT PEMILU telah diantar ke rumah oleh petugas utusan Bapak RT.

Setelah saya periksa ternyata hanya untuk tiga orang. Saya, istri, dan anak sulung. Anak ragil tidak mendapat SPT karena sudah mengurus pindah tempat memilih.

Sebagai karyawan sebuah platform media digital di Jakarta Selatan, pekerjaannya dituntut deadline mesti selesai tepat waktu untuk cepat tayang di Youtube.

Dengan demikian, tentu tidak mudah baginya untuk izin meninggalkan pekerjaan hanya demi mencoblos di hari-H Pemilu. Sungguh pekerjaan yang tidak efisien.

Karena itu, sejak jauh hari ia mengurus surat pindah tempat memilih ke kantor KPU di Jakarta Selatan secara online. Otomatis cabut dari DPT daerah asal.

Saat masih kuliah pada pemilu sebelum-sebelumnya, kedua anak ini tidak menggunakan hak suaranya alias golput karena terkendala rentang jarak dan waktu.

Orang yang tidak hadir ke TPS bagaimanan nasib hak suaranya? Ini celah terjadi penyalahgunaan kekuasaan oleh kelompok penyelenggara pemungutan suara.

Apa bentuk penyalahgunaan kekuasaan itu? Dengan kuasanya, mereka “mencobloskan” orang yang tidak hadir ke TPS, untuk atau terhadap sembarang calon.

Calon di sini yaitu calon presiden/wakil presiden, calon anggota legislatif (DPR Pusat, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota) dan calon DPD atau disebut senator.

Kepada calon mana PPS “mencobloskan” hak suara orang yang tidak hadir ke TPS? Tidak bisa dipastikan, tetapi bisa ditebak, kepada calon tertentu atau titipan.

Ada calon tertentu yang menitip ke PPS untuk di-mark-up-kan perolehan suaranya bisa ditengarai sebagai money politics yang tak bisa dinafikan keberadaannya.

Adanya politisi main uang alias money politics untuk mendulang suara itulah yang akhirnya menghasilkan anggota legislatif bermental korup dan buruk etika.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kursi Roda Ibu Ani

Kursi roda Ibu Ani dan kesetiaan Pak SBY menungguinya di rumah sakit. Bagaimana bisa melahirkan novel yang menceritakan perjuangan penyintas kanker seperti di buku “Seperti Roda Berputar” tanpa mengikuti proses dari mula hingga kini? Pertanyaan itu yang bersarang di pikiranku. Sewaktu mudik ke Pacitan 21 Mei hingga 3 Juni 2024, kami mengeksplor Museum dan Galeri SBY-ANI. Satu foto memperlihatkan kesetiaan Pak SBY menunggui Ibu Ani di National University Hospital Singapura. Foto Ibu Ani duduk di kursi roda sementara Pak SBY duduk di tepi hospital bed yang biasa Ibu Ani tiduri selama dirawat. Kaki Pak SBY menjuntai. Foto menggambarkan keduanya berhadap-hadapan sambil berbincang akrab. Saya sebenarnya penasaran, apakah Pak SBY menulis buku tentang masa-masa Ibu Ani dirawat hingga wafat. Seperti yang dilakukan Pak BJ Habibie, pasca-meninggalnya Ibu Ainun Habibie, Pak Habibie dilanda demam rindu. Guna memadamkan kerinduan kepada Ibu Ainun itu, Pak Habibie mulai menuangkan perasaan...

Sastra Jalan-jalan

Siang baru saja melanjutkan perjalanan menuju barat, setelah istirahat sejenak di waktu zuhur, yang ditandai Matahari tepat di atas kepalanya. Tak lama sekira pukul 14:12 Kakang Paket datang mengantarkan kiriman buku dari Taman Inspirasi Sastra Indonesia. Komunitas sastra disingkat TISI pimpinan Bang Octavianus Masheka, ini baru saja usai merampungkan proses produksi dan terbitnya buku antologi “Bahasa Ibu, Bahasa Darahku” yang merupakan puisi bahasa Indonesia dan bahasa daerah masing-masing penulisnya. Buku-buku yang joss tenan Ada 100 orang penulis puisi dwi bahasa yang terhimpun di dalam buku bersampul merah menyala dengan gambar sampul siluet wajah Ibu yang di wajah, leher, dan dadanya dihiasi taburan wajah penulis puisi yang sengaja di- crop tertinggal bagian dada dan kepala saja. Sebelum buku “Bahasa Ibu, Bahasa Darahku” terlebih dahulu tiba di rumah buku “Zamrud” yaitu antologi puisi Dari Negeri Poci seri ke-15 yang saat datang kebetulan saya sedang tidak berada di rumah ...

Jangan Sakit Deh

“Jangan pernah sakit. Teruslah sehat dan berbahagia. Sakit itu sepi, menyakitkan, dan tentu saja mahal.” (Rusdi Mathari). Demikian terbaca di buku “Seperti Roda Berputar: Catatan di Rumah Sakit.” Buku merangkum catatan Rusdi Mathari yang menderita kanker saat-saat menjalani perawatan dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain. Sebenarnya Rusdi Mathari pengin menulis novel tentang sakit yang ia derita dan bagaimana ia mengupayakan kesembuhan dengan menjalani rangkaian pengobatan secara runtut tahap demi tahap. Dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain silih berganti, ditangani dokter berbagai spesialis yang berkaitan dengan sakit kankernya. Malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih. Rusdi Mathari meninggal di Jumat pagi, 2 Maret 2018. Novel yang ceritanya ia bayangkan akan demikian kompleksitas sekaligus melankolis tidak terwujud. “Seperti Roda Berputar” hanyalah memuat sebagian catatan di rumah sakit yang sempat ia tulis dan terbit di Mojok.co. Pemerintah menghapus kelas 1,...