Langsung ke konten utama

11 Tahun di X

ss pesan mengingatkan #MyXAnniversary dari X

Siang tadi saya baca pesan bernada mengingatkan dari X (dahulu Twitter). “Do you remember when you joined X? I do! #MyXAnniversary (emoji buket bunga). Begitulah X siang tadi kembali mengingatkan saya bahwa saya bergabung sudah 11 tahun sejak 1 Februari 2013. Dahulu kala masih bernama Twitter pun saban tahun saya diingatkan.

Saya entah mengapa tahan berjam-jam men-scroll X membaca cuitan penggunanya. Dan, seperti sudah saya tulis dan posting di blog ini bahwa saya menemukan hal yang asyik-asyik di X. Hal-hal yang mencerahkan, menyemangati, menghibur, memantik tawa atau minimal senyum meski kecut. Hal yang menginspirasi untuk dibikin tulisan.

Dengan membaca atau mengamati kehidupan sosial saya mendapat inspirasi untuk dituangkan ke dalam bentuk tulisan kemudian saya posting di blog ini. Dengan membaca dan menulis setidaknya itulah cara yang saya tempuh untuk menolak pikun. Perkara adakah atau tidakkah khalayak yang membaca blog saya, itu urusan nomor 7.

Kanal musik Indonesia IndiHome TV

Nomor 1, ya, urusan untuk menolak pikun tadi. Memang banyak cara lain selain membaca, tetapi saya termasuk orang yang hobi baca, maka cara itulah yang paling dominan saya pakai. Menonton televisi kurang begitu suka. Kalaupun pengin nyetel TV, saya pilih kanal musik sehingga meskipun tidak ditonton, dengar suaranya saja sudah cukup.

Kenapa kanal musik? Ya, hanya sekadar untuk menikmati suaranya saja, bukan menonton sosok penyanyinya. Maka, kanal musik atau YouTube Music. Kalau bukan TV, saya mendengarkan musik dari radio. Saya termasuk sikit orang yang masih mendengarkan radio di era Spotify, YouTube Music, JooX, Shazam, Deezer, SoundCloud, dll.

Yah, tanpa terasa sudah 11 tahun saya joined X. Tweet, retweet, dan like sudah ribuan banyaknya. Yang paling dominan, ya, like karena apa pun yang bermuatan informasi membawa manfaat akan saya like atau mungkin retweet. Tidak untuk itu saja tujuannya, tetapi platform X juga saya manfaatkan untuk menyimpan atau mengirim foto.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kursi Roda Ibu Ani

Kursi roda Ibu Ani dan kesetiaan Pak SBY menungguinya di rumah sakit. Bagaimana bisa melahirkan novel yang menceritakan perjuangan penyintas kanker seperti di buku “Seperti Roda Berputar” tanpa mengikuti proses dari mula hingga kini? Pertanyaan itu yang bersarang di pikiranku. Sewaktu mudik ke Pacitan 21 Mei hingga 3 Juni 2024, kami mengeksplor Museum dan Galeri SBY-ANI. Satu foto memperlihatkan kesetiaan Pak SBY menunggui Ibu Ani di National University Hospital Singapura. Foto Ibu Ani duduk di kursi roda sementara Pak SBY duduk di tepi hospital bed yang biasa Ibu Ani tiduri selama dirawat. Kaki Pak SBY menjuntai. Foto menggambarkan keduanya berhadap-hadapan sambil berbincang akrab. Saya sebenarnya penasaran, apakah Pak SBY menulis buku tentang masa-masa Ibu Ani dirawat hingga wafat. Seperti yang dilakukan Pak BJ Habibie, pasca-meninggalnya Ibu Ainun Habibie, Pak Habibie dilanda demam rindu. Guna memadamkan kerinduan kepada Ibu Ainun itu, Pak Habibie mulai menuangkan perasaan...

Sastra Jalan-jalan

Siang baru saja melanjutkan perjalanan menuju barat, setelah istirahat sejenak di waktu zuhur, yang ditandai Matahari tepat di atas kepalanya. Tak lama sekira pukul 14:12 Kakang Paket datang mengantarkan kiriman buku dari Taman Inspirasi Sastra Indonesia. Komunitas sastra disingkat TISI pimpinan Bang Octavianus Masheka, ini baru saja usai merampungkan proses produksi dan terbitnya buku antologi “Bahasa Ibu, Bahasa Darahku” yang merupakan puisi bahasa Indonesia dan bahasa daerah masing-masing penulisnya. Buku-buku yang joss tenan Ada 100 orang penulis puisi dwi bahasa yang terhimpun di dalam buku bersampul merah menyala dengan gambar sampul siluet wajah Ibu yang di wajah, leher, dan dadanya dihiasi taburan wajah penulis puisi yang sengaja di- crop tertinggal bagian dada dan kepala saja. Sebelum buku “Bahasa Ibu, Bahasa Darahku” terlebih dahulu tiba di rumah buku “Zamrud” yaitu antologi puisi Dari Negeri Poci seri ke-15 yang saat datang kebetulan saya sedang tidak berada di rumah ...

Jangan Sakit Deh

“Jangan pernah sakit. Teruslah sehat dan berbahagia. Sakit itu sepi, menyakitkan, dan tentu saja mahal.” (Rusdi Mathari). Demikian terbaca di buku “Seperti Roda Berputar: Catatan di Rumah Sakit.” Buku merangkum catatan Rusdi Mathari yang menderita kanker saat-saat menjalani perawatan dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain. Sebenarnya Rusdi Mathari pengin menulis novel tentang sakit yang ia derita dan bagaimana ia mengupayakan kesembuhan dengan menjalani rangkaian pengobatan secara runtut tahap demi tahap. Dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain silih berganti, ditangani dokter berbagai spesialis yang berkaitan dengan sakit kankernya. Malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih. Rusdi Mathari meninggal di Jumat pagi, 2 Maret 2018. Novel yang ceritanya ia bayangkan akan demikian kompleksitas sekaligus melankolis tidak terwujud. “Seperti Roda Berputar” hanyalah memuat sebagian catatan di rumah sakit yang sempat ia tulis dan terbit di Mojok.co. Pemerintah menghapus kelas 1,...