Langsung ke konten utama

MBG Lansia

Lhoh, ternyata bukan hanya anak usia lima tahun ke atas (usia sekolah TK hingga SMA/SMK/MA) saja yang dapat bagian MBG (makanan bergizi gratis), melainkan anak balita, bumil (ibu hamil), busui (ibu menyusui), bahkan lansia pun dapat. Tercuat tadi ketika ke posbindu (pos pembinaan terpadu).

Saya agak kesiangan ke posbindu sehingga keburu bubar. Untung bidan masih keliling dari rumah ke rumah mendatangi lansia yang terbatas fisiknya untuk pergi ke posbindu. Saya pun menyusul ke rumah di mana tempat bidan itu berkunjung dan memeriksakan tekanan darah di rumah warga itu.

Seperti saya tulis di blog ini 6 Desember (judul: TKS, JSAT, dan Tensi), barangkali ada perbedaan merek alat ukur tensi darah sehingga hasilnya berbeda-beda. Benar belaka, diukur di klinik faskes, tensi saya 134/79 dan ketika saya ukur dengan alat sendiri di rumah, hasilnya 138/81.

Tadi, diukur bidan posbindu, hasilnya tensi saya 142/76. Jadi, kesimpulannya, tensi darah akan naik turun mengikuti kondisi tubuh fit atau tidak. Jika kurang tidur, maka tensi akan naik. Kecapekan, tensi juga bisa naik. Atau bergantung dengan apa yang kita konsumsi, tinggi garam atau tidak.

Apa baiknya mendaftar untuk dapat jatah MBG Lansia, ya? Ha.. ha.. ha… ha… Saat periksa tensi darah tadi, kebetulan Ibu RT.011 sedang ngantar MBG untuk bumil (mantu bidan). Dari obrolan guyon depan rumah Ibu bidan itu terungkaplah fakta memang ada jatah MBG untuk lansia juga.

“Pantas aja Pak Roni (suami Ibu bidan) badannya gendut, karena dapat menu MBG,” celetuk saya. Ibu bidan menjawab, “Sedang diusulkan.” Nah, artinya, memang ada jatah MBG untuk lansia. “Wah, lokak gak masak lagi kalau tiap hari dapat MBG,” kata saya. “Iya, bener itu,” jawab Ibu bidan.

Saya spekulasi, googling, eh.. memang ada berita Tempo.co dua hari lalu. Sepertinya ini memang baru, pengembangan lebih lanjut dari Badan Gizi Nasional atau BGN dalam program memberikan jaminan makanan bergizi bagi anak jalanan yang putus sekolah hingga lansia. Semoga tepat sasaran.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kursi Roda Ibu Ani

Kursi roda Ibu Ani dan kesetiaan Pak SBY menungguinya di rumah sakit. Bagaimana bisa melahirkan novel yang menceritakan perjuangan penyintas kanker seperti di buku “Seperti Roda Berputar” tanpa mengikuti proses dari mula hingga kini? Pertanyaan itu yang bersarang di pikiranku. Sewaktu mudik ke Pacitan 21 Mei hingga 3 Juni 2024, kami mengeksplor Museum dan Galeri SBY-ANI. Satu foto memperlihatkan kesetiaan Pak SBY menunggui Ibu Ani di National University Hospital Singapura. Foto Ibu Ani duduk di kursi roda sementara Pak SBY duduk di tepi hospital bed yang biasa Ibu Ani tiduri selama dirawat. Kaki Pak SBY menjuntai. Foto menggambarkan keduanya berhadap-hadapan sambil berbincang akrab. Saya sebenarnya penasaran, apakah Pak SBY menulis buku tentang masa-masa Ibu Ani dirawat hingga wafat. Seperti yang dilakukan Pak BJ Habibie, pasca-meninggalnya Ibu Ainun Habibie, Pak Habibie dilanda demam rindu. Guna memadamkan kerinduan kepada Ibu Ainun itu, Pak Habibie mulai menuangkan perasaan...

Sastra Jalan-jalan

Siang baru saja melanjutkan perjalanan menuju barat, setelah istirahat sejenak di waktu zuhur, yang ditandai Matahari tepat di atas kepalanya. Tak lama sekira pukul 14:12 Kakang Paket datang mengantarkan kiriman buku dari Taman Inspirasi Sastra Indonesia. Komunitas sastra disingkat TISI pimpinan Bang Octavianus Masheka, ini baru saja usai merampungkan proses produksi dan terbitnya buku antologi “Bahasa Ibu, Bahasa Darahku” yang merupakan puisi bahasa Indonesia dan bahasa daerah masing-masing penulisnya. Buku-buku yang joss tenan Ada 100 orang penulis puisi dwi bahasa yang terhimpun di dalam buku bersampul merah menyala dengan gambar sampul siluet wajah Ibu yang di wajah, leher, dan dadanya dihiasi taburan wajah penulis puisi yang sengaja di- crop tertinggal bagian dada dan kepala saja. Sebelum buku “Bahasa Ibu, Bahasa Darahku” terlebih dahulu tiba di rumah buku “Zamrud” yaitu antologi puisi Dari Negeri Poci seri ke-15 yang saat datang kebetulan saya sedang tidak berada di rumah ...

Jangan Sakit Deh

“Jangan pernah sakit. Teruslah sehat dan berbahagia. Sakit itu sepi, menyakitkan, dan tentu saja mahal.” (Rusdi Mathari). Demikian terbaca di buku “Seperti Roda Berputar: Catatan di Rumah Sakit.” Buku merangkum catatan Rusdi Mathari yang menderita kanker saat-saat menjalani perawatan dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain. Sebenarnya Rusdi Mathari pengin menulis novel tentang sakit yang ia derita dan bagaimana ia mengupayakan kesembuhan dengan menjalani rangkaian pengobatan secara runtut tahap demi tahap. Dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain silih berganti, ditangani dokter berbagai spesialis yang berkaitan dengan sakit kankernya. Malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih. Rusdi Mathari meninggal di Jumat pagi, 2 Maret 2018. Novel yang ceritanya ia bayangkan akan demikian kompleksitas sekaligus melankolis tidak terwujud. “Seperti Roda Berputar” hanyalah memuat sebagian catatan di rumah sakit yang sempat ia tulis dan terbit di Mojok.co. Pemerintah menghapus kelas 1,...