Kemarin sekira pukul 10:00 masuk pesan whatsapp memperkenalkan diri sebagai kurir lion parcel, akan mengantar paket dan minta saya menyiapkan uang Rp14K untuk pembayaran ongkos kirim sistem COD. Disebutkan paket dari (dituliskan namanya) di Jogya. Oh, saya mafhum, itu paket buku “Kitab Omon-Omon” berikut kaos dengan tulisan sama seperti sampul buku.
Berhubung
saya akan kontrol tensi ke klinik, saya tinggalkan uang Rp15K di bawah taplak meja
teras dan mengirim whatsapp
kepadanya, berpesan agar paket taruh saja di meja dan silakan ambil uang ongkos kirim COD di bawah taplak meja. Pukul 12:26 ada panggilan masuk, tapi tidak terdengar
oleh saya. Diikuti satu menit kemudian pesan whatsapp dan foto paket ditaruhnya di atas meja.
(entah
mengapa ponsel saya suka begitu, jika saya sedang berada di luar rumah, maka
setiap kali ada panggilan telepon masuk tidak terdengar suara nada deringnya). Karena itu,
saya mesti rajin membuka ponsel untuk memastikan ada yang menelepon atau tidak
dan sekalian memeriksa ada pesan whatsapp
yang sifatnya urgensi atau tidak, untuk diperhatikan apa kepentingannya.
Buku
“Kitab Omon-Omon” beserta kaos telah mendarat di teras rumah dikirim dari
Jogya. Buku antologi puisi humor politik yang ditulis oleh 100 penyair dari seluruh
Indonesia seperti disinggung di kata pengantarnya, bahwa menulis puisi humor
apalagi ‘humor politik’ sungguh tidak mudah. Kebanyakan yang lahir adalah puisi
bernada kritik sosial, jauh dari nada humor.
Humor
dalam dunia politik bukan sesuatu yang baru, melainkan sangat jarang mengemuka.
Kritik sarkas yang oleh pembuatnya dianggap humor, seringkali oleh aparat
keamanan diterjemahkan sebagai mencemarkan nama baik, sehingga layak dibawa ke
ranah hukum. Sudah banyak pembuat kritik sarkas diseret ke hadapan majelis
hakim pengadilan dan divonis penjara.

Komentar
Posting Komentar