Langsung ke konten utama

Keren atau Aman

Rumah di mulut jalan masuk yang atapnya somplak dihajar angin kemarin (foto: feri indra)

Kemarin sore hujan pake angin melintasi perumahan kami. Tumben kok pake angin segala. Kan jadi ngeri-ngeri sedap.

Di lorong jalan kami, dua rumah sudah ganti atap dari asbes ke spandek. Satu rumah di ujung atau mulut jalan masuk.

 Satu lainnya di ujung jalan mentok (buntu). Rumah lain tepat di hadapan kami agak ke kiri, atap kanopinya yang spandek.

 Secara kualitas memang spandek lebih bagus daripada asbes. Tetapi, secara keamanan belum tentu signifikan.

 Banyak kasus atap terbang dibawa angin puyuh atau puting beliung. Terutama yang menggunakan rangka baja ringan.

Atap yang somplak nyaris runtuh menutupi jalan di samping rumah (foto: feri indra)

Bahkan, rangka dari kayu pun tak menjamin keamanannya. Buktinya rumah di mulut gang kemarin atapnya somplak.

Padahal, sudah memperhitungkan keamanan maka pakai rangka kayu dan menggunakan paku khusus untuk asbes.

Artinya, spandek tidak serta merta membuat tampilan rumah menjadi keren, kalau memasangnya asal-asalan.

Sama sekali tidak memenuhi standard. Maksudnya pemasangan yang teruji keamanannya dari tiupan angin.

Nah, pilih keren atau aman? Pilih keren dan aman, dong! Tentu keren dan aman terbaik dan semua orang inginkan.

Karena itu, pilih tukang yang paham standard keamanan saat memasang atap spandek. Tukang pegang peranan.

Suasana hujan yang saya abadikan dari teras rumah (foto: koleksi pribadi)

Pastikan tukang yang memasang atap spandek di rumah kalian profesional, berpengalaman dan bertanggung jawab.

Dan tentunya yang bisa memberikan garansi jaminan mutu. Dikonfirmasi dulu contoh hasil kerjanya dalam bentuk foto.

Di masa kini segala sesuatu bisa ditunjukkan melalui foto sebagai bukti autentik. Jadi jaminan brand dan mutu.

Ada harga ada barang. Intinya demi penampilan rumah yang keren dan aman, pilihan terbaik, ya, kudu spandek dong.

Dari segi harga, spandek menyedot budget. Tetapi, dari segi hasil pasti akan membuat penampilan rumah keren abis.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kursi Roda Ibu Ani

Kursi roda Ibu Ani dan kesetiaan Pak SBY menungguinya di rumah sakit. Bagaimana bisa melahirkan novel yang menceritakan perjuangan penyintas kanker seperti di buku “Seperti Roda Berputar” tanpa mengikuti proses dari mula hingga kini? Pertanyaan itu yang bersarang di pikiranku. Sewaktu mudik ke Pacitan 21 Mei hingga 3 Juni 2024, kami mengeksplor Museum dan Galeri SBY-ANI. Satu foto memperlihatkan kesetiaan Pak SBY menunggui Ibu Ani di National University Hospital Singapura. Foto Ibu Ani duduk di kursi roda sementara Pak SBY duduk di tepi hospital bed yang biasa Ibu Ani tiduri selama dirawat. Kaki Pak SBY menjuntai. Foto menggambarkan keduanya berhadap-hadapan sambil berbincang akrab. Saya sebenarnya penasaran, apakah Pak SBY menulis buku tentang masa-masa Ibu Ani dirawat hingga wafat. Seperti yang dilakukan Pak BJ Habibie, pasca-meninggalnya Ibu Ainun Habibie, Pak Habibie dilanda demam rindu. Guna memadamkan kerinduan kepada Ibu Ainun itu, Pak Habibie mulai menuangkan perasaan...

Sastra Jalan-jalan

Siang baru saja melanjutkan perjalanan menuju barat, setelah istirahat sejenak di waktu zuhur, yang ditandai Matahari tepat di atas kepalanya. Tak lama sekira pukul 14:12 Kakang Paket datang mengantarkan kiriman buku dari Taman Inspirasi Sastra Indonesia. Komunitas sastra disingkat TISI pimpinan Bang Octavianus Masheka, ini baru saja usai merampungkan proses produksi dan terbitnya buku antologi “Bahasa Ibu, Bahasa Darahku” yang merupakan puisi bahasa Indonesia dan bahasa daerah masing-masing penulisnya. Buku-buku yang joss tenan Ada 100 orang penulis puisi dwi bahasa yang terhimpun di dalam buku bersampul merah menyala dengan gambar sampul siluet wajah Ibu yang di wajah, leher, dan dadanya dihiasi taburan wajah penulis puisi yang sengaja di- crop tertinggal bagian dada dan kepala saja. Sebelum buku “Bahasa Ibu, Bahasa Darahku” terlebih dahulu tiba di rumah buku “Zamrud” yaitu antologi puisi Dari Negeri Poci seri ke-15 yang saat datang kebetulan saya sedang tidak berada di rumah ...

Jangan Sakit Deh

“Jangan pernah sakit. Teruslah sehat dan berbahagia. Sakit itu sepi, menyakitkan, dan tentu saja mahal.” (Rusdi Mathari). Demikian terbaca di buku “Seperti Roda Berputar: Catatan di Rumah Sakit.” Buku merangkum catatan Rusdi Mathari yang menderita kanker saat-saat menjalani perawatan dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain. Sebenarnya Rusdi Mathari pengin menulis novel tentang sakit yang ia derita dan bagaimana ia mengupayakan kesembuhan dengan menjalani rangkaian pengobatan secara runtut tahap demi tahap. Dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain silih berganti, ditangani dokter berbagai spesialis yang berkaitan dengan sakit kankernya. Malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih. Rusdi Mathari meninggal di Jumat pagi, 2 Maret 2018. Novel yang ceritanya ia bayangkan akan demikian kompleksitas sekaligus melankolis tidak terwujud. “Seperti Roda Berputar” hanyalah memuat sebagian catatan di rumah sakit yang sempat ia tulis dan terbit di Mojok.co. Pemerintah menghapus kelas 1,...