Langsung ke konten utama

Diare Day

Sore ke klinik, periksa lalu dikasih obat

Membuka-buka diary lama, 14 Februari gini tatkala orang-orang merayakan Valentine’s Day. Saling berkirim kartu ucapan, memberi buket bunga, dan berbagi cokelat. Saya dan kekasih pun ikut-ikutan. Dulu sekali, tahun 80—90an.

Itu salah satu legacy para baby boomers. Merayakan hari kasih sayang, masih di era kartu ucapan dikirim via pos menggunakan prangko. Kencan bernuansa naik oplet, metro mini, kopaja, angkot, bemo, diselingi jalan kaki gandengan.

Kini, masihkah Valentines Day disakralkan? Di era serba permisif, serba boleh. Siapa pun boleh lancang berkata-kata, menghujat (bully), mencibir suka-suka di media sosial. Sepertinya kasih sayang sudah kehilangan makna.

Atau sudah dianggap profan sehingga tidak begitu dielu-elukan lagi. Valentines Day datang, ya, datang aja sebagaimana datangnya hari-hari lainnya. Tidak begitu istimewa bila dikaitkan dengan kesengsaraan sehari-hari.

Atau dengan kata lain, tanggal 14 Februari datang, ya, datang aja sebagaimana tanggal 14 di bulan lainnya. Tidak istimewa bila ada kekhawatiran, datangnya pertengahan bulan begitu bisakah logistik cukup sampai akhir bulan?

Bila yang dialami adalah kekerasan atau kekejaman dari hari ke hari, masihkah 14 Februari perlu dirayakan sebagai hari kasih sayang? Situasi dan kondisi kehidupan serta suasana hati yang akan merumuskan signifikansinya.

Kondisi orang-orang yang pasca-wisuda jadi pengangguran terdidik, yang terkena layoff di masa pandemi hingga kini jobless, yang baru saja diputus pacar. Tentu tak terpikir oleh mereka buat merayakan hari kasih sayang. Apalagi jomlo.

Saya dan istri pun tak lagi mengenal Valentines Day. Sejak menikah, bagi kami semua hari baik, semua tanggal baik. Bahkan HWA pun tak dirayakan dengan cara berlebihan. Cukup saling mengingatkan dan berpelukan mesra.

Hari ini saya gundah. Istri saya terkena diare sejak kemarin sore. Seharian hanya rebahan di sofa depan TV, istirahat dari pekerjaan rutinnya mencerdaskan anak bangsa. Baginya, hari ini adalah Diare Day, tak lebih daripada itu.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kursi Roda Ibu Ani

Kursi roda Ibu Ani dan kesetiaan Pak SBY menungguinya di rumah sakit. Bagaimana bisa melahirkan novel yang menceritakan perjuangan penyintas kanker seperti di buku “Seperti Roda Berputar” tanpa mengikuti proses dari mula hingga kini? Pertanyaan itu yang bersarang di pikiranku. Sewaktu mudik ke Pacitan 21 Mei hingga 3 Juni 2024, kami mengeksplor Museum dan Galeri SBY-ANI. Satu foto memperlihatkan kesetiaan Pak SBY menunggui Ibu Ani di National University Hospital Singapura. Foto Ibu Ani duduk di kursi roda sementara Pak SBY duduk di tepi hospital bed yang biasa Ibu Ani tiduri selama dirawat. Kaki Pak SBY menjuntai. Foto menggambarkan keduanya berhadap-hadapan sambil berbincang akrab. Saya sebenarnya penasaran, apakah Pak SBY menulis buku tentang masa-masa Ibu Ani dirawat hingga wafat. Seperti yang dilakukan Pak BJ Habibie, pasca-meninggalnya Ibu Ainun Habibie, Pak Habibie dilanda demam rindu. Guna memadamkan kerinduan kepada Ibu Ainun itu, Pak Habibie mulai menuangkan perasaan...

Sastra Jalan-jalan

Siang baru saja melanjutkan perjalanan menuju barat, setelah istirahat sejenak di waktu zuhur, yang ditandai Matahari tepat di atas kepalanya. Tak lama sekira pukul 14:12 Kakang Paket datang mengantarkan kiriman buku dari Taman Inspirasi Sastra Indonesia. Komunitas sastra disingkat TISI pimpinan Bang Octavianus Masheka, ini baru saja usai merampungkan proses produksi dan terbitnya buku antologi “Bahasa Ibu, Bahasa Darahku” yang merupakan puisi bahasa Indonesia dan bahasa daerah masing-masing penulisnya. Buku-buku yang joss tenan Ada 100 orang penulis puisi dwi bahasa yang terhimpun di dalam buku bersampul merah menyala dengan gambar sampul siluet wajah Ibu yang di wajah, leher, dan dadanya dihiasi taburan wajah penulis puisi yang sengaja di- crop tertinggal bagian dada dan kepala saja. Sebelum buku “Bahasa Ibu, Bahasa Darahku” terlebih dahulu tiba di rumah buku “Zamrud” yaitu antologi puisi Dari Negeri Poci seri ke-15 yang saat datang kebetulan saya sedang tidak berada di rumah ...

Jangan Sakit Deh

“Jangan pernah sakit. Teruslah sehat dan berbahagia. Sakit itu sepi, menyakitkan, dan tentu saja mahal.” (Rusdi Mathari). Demikian terbaca di buku “Seperti Roda Berputar: Catatan di Rumah Sakit.” Buku merangkum catatan Rusdi Mathari yang menderita kanker saat-saat menjalani perawatan dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain. Sebenarnya Rusdi Mathari pengin menulis novel tentang sakit yang ia derita dan bagaimana ia mengupayakan kesembuhan dengan menjalani rangkaian pengobatan secara runtut tahap demi tahap. Dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain silih berganti, ditangani dokter berbagai spesialis yang berkaitan dengan sakit kankernya. Malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih. Rusdi Mathari meninggal di Jumat pagi, 2 Maret 2018. Novel yang ceritanya ia bayangkan akan demikian kompleksitas sekaligus melankolis tidak terwujud. “Seperti Roda Berputar” hanyalah memuat sebagian catatan di rumah sakit yang sempat ia tulis dan terbit di Mojok.co. Pemerintah menghapus kelas 1,...