Keterkejutan
Hari Bahasa Ibu
Internasional (21 Februari), setiap tahun akan ada keterkejutan tentang
punahnya beberapa bahasa Ibu. Tidak terlampau mengejutkan sebenarnya. Semakin
jarang orang menjadikannya bahasa percakapan.
Kajian vitalitas bahasa
daerah di Indonesia menunjukkan ada bahasa yang dikategorikan punah, berstatus
kritis, terancam punah, mengalami kemunduran, dalam kondisi rentan (stabil
tetapi terancam punah), berstatus aman.
Hasil kajian itu saya
kutip dari tweet Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa (21/2/2023). “Ketika
benteng pertahanan di keluarga tak terjaga, nasib bahasa Ibu tinggal menunggu
kepunahan” (E. Aminuddin Aziz, Kepala BPPB).
Berdasar data
Ethnolugea, Indonesia yang terdiri kepulauan memiliki bahasa derah terbanyak
kedua di dunia. Data bahasa daerah selalu diperbaharui setiap bulan Oktober
karena di bulan ini kita memperingati Soempah Pemoeda.
Berakar pada ikrar
Soempah Pemoeda 28 Oktober 1928 itu setiap tahun diiringi dengan perayaan Bulan
Bahasa. Biasanya Balai Bahasa daerah kabupaten/kota/provinsi menggelar aneka
lomba bagi anak-anak sekolah.
Setiap tahun data
berubah, disesuaikan menurut data terkini karena akan ada bahasa daerah yang
punah. Bahasa yang berstatus kritis dan terancam punah, lambat laun akan
benar-benar punah karena mengalami kemunduran.
Menurut data 5 Oktober
2017, jumlah bahasa daerah di Indonesia ada 646. Data Agustus 2018 ada 668
bahasa. Pada tahun 2019 ada 50 bahasa baru diidentifikasi. Jadi, jumlahnya
menjadi 718 bahasa, valid hingga tahun 2023.
Berita ada 50 bahasa
baru teridentifikasi itu termasuk keterkejutan. Keterkejutan yang positif, yang
tentu menggembirakan. Berarti sejauh ini belum ada berita bahasa mana yang
punah? Tidak seperti itu kenyataannya.
Masih mengutip tweet
BPPB. Menurutnya, hasil kajian vitalitas bahasa-bahasa di Indonesia pada tahun
2021 (8 bahasa punah), (5 kritis), (24 terancam punah), (12 mengalami
kemunduran), (24 rentan), (12 berstatus aman).
Nah, faktanya di
samping ada 50 bahasa baru teridentifikasi ternyata ada 8 bahasa yang
dikategorikan punah. Tetapi, menurut Kemendikbud Ristek ada 11 bahasa yang
punah. Nah, kan. Daerah mana saja yang punah tersebut?
Yang punah adalah;
bahasa Tandia (Papua Barat), Mawes (Papua), Ternateno (Maluku Utara). Kemudian
ada 8 bahasa dari daerah Maluku, yaitu Kajeli/Kayeli, Piru, Moksela, Palumata,
Hukumina, Hoti, Serua, dan bahasa Nila.
Sekali lagi saya akan
menuliskan quote saya, yang sudah saya tulis di blog ini beberapa waktu lalu.
Quote ini begitu mengena di hati saya. Terutama setelah saya menerima
keterkejutan meraih hadiah sastera Rancagé 2023.
Tepatnya postingan
berjudul: Continued History, yaitu, “Melestarikan bahasa daerah dengan membuat
karya sastra bergenre apa pun, adalah puncak tertinggi dari sebuah kepedulian.”
Jika tak peduli, bahasa akan punah.
Tidak cukup sampai di
situ, “Menemukan orang yang peduli tersebut, adalah puncak tertinggi dari
sebuah kegembiraan. Bukan ganjaran hadiah apa pun.” Hadiah sastera Rancagé
diberikan kepada penulis karya sastra bahasa daerah.
Hadiah sastera Rancagé
diberikan oleh Yayasan Kebudayaan Rancagé wujud kepeduliannya terhadap upaya
pelestarian bahasa daerah. Namun, tahun 2023 ini dari 7 daerah hanya 5 daerah
yang mengirimkan karyanya.
Kelima daerah yang
mengirim karya sastra adalah Sunda (10 judul), Jawa (23 judul), Bali (10 judul),
Batak (6 judul), dan Lampung (4 judul). Madura kurang dari 3 judul, tidak
penuhi syarat. Banjar tidak menghasilkan satu judul pun.
Dari 718 bahasa daerah
(bahasa Ibu) yang ada di Indonesia, yang terbanyak adalah di Papua disusul NTT,
Maluku, Maluku Utara. Secara alfabetis, nomor 1 bahasa Aabinomin dan nomor 718
bahasa Yuafeta. Keduanya ada di Papua.
Bahan verifikasi data dari:
1.
https://www.google.com/search?q=indonesia+memiliki+bahasa+daerah+terbanyak+di+dunia
3.
https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2019/10/28/persebaran-668-bahasa-daerah-di-indonesia
4.
https://indonesiabaik.id/infografis/indonesia-kaya-bahasa-daerah
Komentar
Posting Komentar