Langsung ke konten utama

Valentine’s Gopay

Ilustrasi gambar dari gstatic.com

Momen Valentine’s Day berlalu senyap. Tak ada tagar di Twitter. Hiruk pikuk di medsos juga sepi. Tenggelam oleh kehebohan lain atau kini memang sudah bukan zamannya.

Ngirim ucapan Happy Valentine’s Day zaman baby boomers pakai kartu, itu udah romantis banget. Zaman millennial dan Gen-Z boro-boro kartu, ngucapin via WhatsApp nggak cukup.

Terus gimana? Yaelah masak gak tau, sejak gojek membuat segalanya mudah, kalau sekadar ucapan gak ada artinya apa-apa. Tambah transfer Gopay baru si doi merasa ayem.

Begitupun kalau sekadar menanyakan si ayang beb udah makan belom, gak ada gunanya. Harus ada tambahan kata “aku pesenin makan via gofood, ya” baru berasa diperhatiin.

Di pinggir jalan perumahan kami, lagi booming gerobak penjaja nasi ayam geprek bertarip 8K. Bayangkan modal segitu bisa merayakan keromantisan bersama ayang beb.

Dikemas kotak styrofoam dibawa pulang ke kostan, makan berdua bahkan bisa suap-suapan. Nah, kurang romantis apa coba, hanya modal dua kotak nasi geprek delapan ribuan.

Ilustrasi gambar dari gstatic.com

Makan berdua lebih asyik daripada duitnya harus ditransfer ke Gopay dulu. Sudah kenyang tinggal lanjut merayakan hari kasih sayang, dengan cara apa pun, suka-suka mereka.

Ya, yang ada bukan Valentines Gopay, melainkan Valentines Good Day. Sudah hari kasih sayang tambah lagi hari baik buat sayang-sayangan. Betapa menyenangkan hidup ini.

Sementara gerai geprek di ruko/kios napasnya Senin-Kamis. Kelimpungan memikirkan sewa ruko/kios. Tak ada lagi rombongan mahasiswa atau pegawai datang makan.

Terdampak PSBB di masa pandemi Covid-19, orang kebablasan jarang makan di luar. Akibatnya satu per satu gerai makan tumbang. Menyerah kalah terhadap nasib.

Gofood dan Gopay jadi tumpuan. Orang tinggal pesan makanan kesukaan dan yang diinginkan melalui gojek atau aplikasi lain yang tertanam di pekarangan ponselnya.

Selesai deh segalanya. Gak hanya urusan makan minum, urusan ucapan Valentines Day pun diembel-embeli Gopay. Perjuangan anak millennial dan Gen-Z begitu berat.

Selesai deh segalanya. Gak hanya urusan makan minum, urusan ucapan Valentine’s Day pun diembel-embeli Gopay. Perjuangan anak millennial dan Gen-Z begitu berat.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kursi Roda Ibu Ani

Kursi roda Ibu Ani dan kesetiaan Pak SBY menungguinya di rumah sakit. Bagaimana bisa melahirkan novel yang menceritakan perjuangan penyintas kanker seperti di buku “Seperti Roda Berputar” tanpa mengikuti proses dari mula hingga kini? Pertanyaan itu yang bersarang di pikiranku. Sewaktu mudik ke Pacitan 21 Mei hingga 3 Juni 2024, kami mengeksplor Museum dan Galeri SBY-ANI. Satu foto memperlihatkan kesetiaan Pak SBY menunggui Ibu Ani di National University Hospital Singapura. Foto Ibu Ani duduk di kursi roda sementara Pak SBY duduk di tepi hospital bed yang biasa Ibu Ani tiduri selama dirawat. Kaki Pak SBY menjuntai. Foto menggambarkan keduanya berhadap-hadapan sambil berbincang akrab. Saya sebenarnya penasaran, apakah Pak SBY menulis buku tentang masa-masa Ibu Ani dirawat hingga wafat. Seperti yang dilakukan Pak BJ Habibie, pasca-meninggalnya Ibu Ainun Habibie, Pak Habibie dilanda demam rindu. Guna memadamkan kerinduan kepada Ibu Ainun itu, Pak Habibie mulai menuangkan perasaan...

Sastra Jalan-jalan

Siang baru saja melanjutkan perjalanan menuju barat, setelah istirahat sejenak di waktu zuhur, yang ditandai Matahari tepat di atas kepalanya. Tak lama sekira pukul 14:12 Kakang Paket datang mengantarkan kiriman buku dari Taman Inspirasi Sastra Indonesia. Komunitas sastra disingkat TISI pimpinan Bang Octavianus Masheka, ini baru saja usai merampungkan proses produksi dan terbitnya buku antologi “Bahasa Ibu, Bahasa Darahku” yang merupakan puisi bahasa Indonesia dan bahasa daerah masing-masing penulisnya. Buku-buku yang joss tenan Ada 100 orang penulis puisi dwi bahasa yang terhimpun di dalam buku bersampul merah menyala dengan gambar sampul siluet wajah Ibu yang di wajah, leher, dan dadanya dihiasi taburan wajah penulis puisi yang sengaja di- crop tertinggal bagian dada dan kepala saja. Sebelum buku “Bahasa Ibu, Bahasa Darahku” terlebih dahulu tiba di rumah buku “Zamrud” yaitu antologi puisi Dari Negeri Poci seri ke-15 yang saat datang kebetulan saya sedang tidak berada di rumah ...

Jangan Sakit Deh

“Jangan pernah sakit. Teruslah sehat dan berbahagia. Sakit itu sepi, menyakitkan, dan tentu saja mahal.” (Rusdi Mathari). Demikian terbaca di buku “Seperti Roda Berputar: Catatan di Rumah Sakit.” Buku merangkum catatan Rusdi Mathari yang menderita kanker saat-saat menjalani perawatan dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain. Sebenarnya Rusdi Mathari pengin menulis novel tentang sakit yang ia derita dan bagaimana ia mengupayakan kesembuhan dengan menjalani rangkaian pengobatan secara runtut tahap demi tahap. Dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain silih berganti, ditangani dokter berbagai spesialis yang berkaitan dengan sakit kankernya. Malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih. Rusdi Mathari meninggal di Jumat pagi, 2 Maret 2018. Novel yang ceritanya ia bayangkan akan demikian kompleksitas sekaligus melankolis tidak terwujud. “Seperti Roda Berputar” hanyalah memuat sebagian catatan di rumah sakit yang sempat ia tulis dan terbit di Mojok.co. Pemerintah menghapus kelas 1,...