“Mudik ke Kampung Akhirat”
Urip mung mampir ngombe. Seperti yang mengapung dari yang saya tulis kemarin, bahwa ‘pemudik sesungguhnya’ adalah orang yang pulang ke “kampung akhirat.” Nah, tadi malam tersiar dari TOA masjid, tetangga di gang belakang yang beberapa bulan lalu ditinggal istrinya, akhirnya ia pun menyusul pulang ke Haribaan-Nya.
Si Bapak ini, sebelum
istrinya meninggal, ternyata memang sudang menderita sakit. Apa nama
penyakitnya saya tidak tahu persis. Tapi, dari omon-omon dengan Pak RT, hatinya
mengalami pembengkakan. “Liver,” kata saya. “Bukan. Liver kan semacam ada
infeksi di hati. Itu lebih dari sekadar infeksi, sudah tergolong kanker hatinya,”
kata Pak RT.
“Menurut dokter, paling
bertahan enam bulan. Kalaupun dioperasi percumah,” lanjut Pak RT. Hati saya
berdenyut mendengar keterangan Pak RT tersebut. Pikiran saya membayang, akankah
waktu enam bulan itu menjadi jarak kepulangannya dengan istri tidak begitu
panjang rentangnya. Kekecualian dari mantan Pak RT kami yang lama dahulu.
Pak RT lama kami
menyusul berpulang setelah satu tahun ditinggal istrinya. Pernah saya tulis di blog ini. Perihal menahan kesendirian, perihal
menjanda atau menduda, antara laki-laki dan perempuan njomplang tingkat daya tahannya. Menjanda lebih kuat daripada
menduda. Begitu inintinya. Maka, Pak RT lama kami sakit-sakitan ditinggal
istri.
Menahan kesendirian
tanpa ada orang yang biasa memperhatikan, menyayangi, dan meladeni setiap
detik, menimbulkan tekanan psikologis yang tak kuat ia tanggung. Sakit-sakitan,
bolak balik masuk keluar rumah sakit dan akhirnya berpulang menyusul istrinya. Akan
halnya yang meninggal tadi malam, memang ada penyakit sebelum istrinya wafat.
Berpulang setelah puasa
berlalu terjadi pada imam masjid kami beberapa tahun silam. Hanya dua pekan setelah
Idulfitri. Jumat pertama setelah Idulfitri beliau masih salat jumatan, giliran
Jumat kedua sudah tak terlihat dan esok harinya berpulang. Yang
berpulang di bulan Ramadan ini juga banyak, seperti disinggung takmir Masjid
Al-Anshor.
Saat salat jumatan terakhir bulan Ramadan, Ketua Takmir Masjid Al-Anshor sempat tersendat menyampaikan pengumuman, menyinggung saudaranya yang berpulang di hari Jumat itu. “Ini ada saudara kita, bagus sekali, meninggal di hari Jumat di bulan Ramadan. Hari yang baik di bulan baik pula. Mudah-mudahan husnul khatimah,” katanya.
Begitulah, malam takbir kemarin, menurut hitungan tetangga, adalah 100 hari istrinya berpulang. Tadi malam ia menyusul, maka benar belaka rentang jarak kepulangan kedua suami istri itu begitu pendek, hanya 100 hari. Benar-benar pendek, ibarat kata makam sang istri masih basah, ia menyusul dimakamkan. Kebetulan makam mereka bisa didekatkan.
Komentar
Posting Komentar