Langsung ke konten utama

‘Pemudik Sesungguhnya’

ilustrasi, para pemudik memenuhi terminal bus. (Bisnis.com)

Akhirnya hujan ‘mudik’ juga ke kota kami. Menyambut para pemudik sesungguhnya yang datang dari rantau, pulang ke rumah
keprabon tempat mereka lahir dan tumbuh besar sebelum akhirnya menikah dan merantau. Di tanah rantau mereka bekerja membanting tulang memeras keringat.

Ada di antara mereka yang pulang ke rumah keprabon, masih bertemu Ayah, Ibu, dan kerabat yang dituakan. Ada pula yang hanya bertemu cungkup makam mereka. Tentu terdapat perbedaan rasa yang meriasi suasana Lebaran antara yang masih bertemu Ayah dan Ibu dengan yang tidak lagi bertemu.

Kami (saya dan istri) tidak mudik ke kampung saya di Ranau dan kampung istri di Pacitan. Alasannya itu tadi, Ayah Ibu kami sudah tinggal cungkup makamnya saja, begitu pun kerabat yang dituakan sudah pada berpulang. Semakin ke sini semakin ke sana, suasana mudik Lebaran bertambah beda.

Silaturahmi telah berganti melalui jendela virtual. Tidak lagi harus pulang agar bisa bertemu muka dan asyik bercengkerama mengobrolkan masa lalu, sewaktu masih kecil-kecil dan belum merantau. Membincangkan itu semua bisa melalui video call, melalui layar telepon bisa saling melihat wajah,

Ada yang wajahnya begitu-begitu saja, ada yang kok bisa jadi makin gemuk, ada yang loh kok kian kurus. Semua itu dipengaruhi pola makan dan pola hidup plus suasana hati. Yang pola makannya ‘benar’ akan gemuk dan hidupnya enjoy, tidak terlalu banyak pikiran, wajahnya akan terlihat segar.

Sebaliknya yang pola makannya ‘salah’ bisa gemuk bisa juga kurus. ‘Benar’ dan ‘salah’ dalam hal pola makan adalah makanan yang dikonsumsi sehat atau tidak. Yang konsumsi makanan tidak sehat, kandungan gula terlalu berlebih akan cepat membuat gemuk, tapi akan tumbuh biang diabetes.

Biang diabetes itulah yang nantinya akan membuat kurus. Dari sekadar diabetes pada mulanya kemudian lari ke penyakit jantung atau stroke. Yang lebih mengerikan bila makanan ‘salah’ itu menjadi penyebab gagal ginjal lalu harus menjalani cuci darah secara rutin. Sudah tidak ada lagi nikmatnya hidup.

Orang-orang pekerja kantoran yang duduk berlama-lama dan kurang gerak ditambah makan junk food, rentan diginggapi menyakit degeneratif picu diabetes, stroke, hipertensi, jantung koroner, gagal ginjal, dll. Para ahli kesehatan sangat mengkhawatirkan mereka, tak henti-henti ‘menyuntikkan’ edukasi.

Edukasi agar ‘bergerak’ paling tidak jalan kaki sebanyak 1.000 langkah per hari. Di sela-sela bekerja, luangkan waktu 5–10 menit melakukan peregangan sendi-sendi dari kepala hingga tumit agar peredaran darah jadi lancar. Yang paling baik adalah bike to work (berangkat ke kantor dengan sepeda).

Begitulah cara menjaga kesehatan yang sebaiknya agar senantiasa sehat, bisa mudik kapan saja, tidak harus menunggu saat Lebara. ‘Mudik sesungguhnya’ adalah perjalanan pulang kampung yang mengandung makna filosofis dan spiritual. Perjalan mudik bahan edukasi, menjadi saksi mata semua hal.

‘Mudik sesungguhnya’ mengajarkan kita untuk menyadari bahwa kita akan kembali ke kampung halaman dan Sang Pencipta. Makna filosofisnya mengajarkan bahwa kita akan kembali ke titik semula, kapan pun dan ke mana pun kita pergi, pada akhirnya ke Hadirat Ilahi adalah tempat ‘mudik’ sejatinya.

Mudik juga mengajarkan bahwa kita memiliki kerinduan akan kampung halaman tempat kita lahir dan dibesarkan dengan siraman kasih sayang Ayah dan Ibu. Kampung tempat masa kecil kita menghabiskan masa bermain-main. Di dunia mung mampir ngombe. Mudik sesungguynnya ke “kampung akherat”.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kursi Roda Ibu Ani

Kursi roda Ibu Ani dan kesetiaan Pak SBY menungguinya di rumah sakit. Bagaimana bisa melahirkan novel yang menceritakan perjuangan penyintas kanker seperti di buku “Seperti Roda Berputar” tanpa mengikuti proses dari mula hingga kini? Pertanyaan itu yang bersarang di pikiranku. Sewaktu mudik ke Pacitan 21 Mei hingga 3 Juni 2024, kami mengeksplor Museum dan Galeri SBY-ANI. Satu foto memperlihatkan kesetiaan Pak SBY menunggui Ibu Ani di National University Hospital Singapura. Foto Ibu Ani duduk di kursi roda sementara Pak SBY duduk di tepi hospital bed yang biasa Ibu Ani tiduri selama dirawat. Kaki Pak SBY menjuntai. Foto menggambarkan keduanya berhadap-hadapan sambil berbincang akrab. Saya sebenarnya penasaran, apakah Pak SBY menulis buku tentang masa-masa Ibu Ani dirawat hingga wafat. Seperti yang dilakukan Pak BJ Habibie, pasca-meninggalnya Ibu Ainun Habibie, Pak Habibie dilanda demam rindu. Guna memadamkan kerinduan kepada Ibu Ainun itu, Pak Habibie mulai menuangkan perasaan...

Sastra Jalan-jalan

Siang baru saja melanjutkan perjalanan menuju barat, setelah istirahat sejenak di waktu zuhur, yang ditandai Matahari tepat di atas kepalanya. Tak lama sekira pukul 14:12 Kakang Paket datang mengantarkan kiriman buku dari Taman Inspirasi Sastra Indonesia. Komunitas sastra disingkat TISI pimpinan Bang Octavianus Masheka, ini baru saja usai merampungkan proses produksi dan terbitnya buku antologi “Bahasa Ibu, Bahasa Darahku” yang merupakan puisi bahasa Indonesia dan bahasa daerah masing-masing penulisnya. Buku-buku yang joss tenan Ada 100 orang penulis puisi dwi bahasa yang terhimpun di dalam buku bersampul merah menyala dengan gambar sampul siluet wajah Ibu yang di wajah, leher, dan dadanya dihiasi taburan wajah penulis puisi yang sengaja di- crop tertinggal bagian dada dan kepala saja. Sebelum buku “Bahasa Ibu, Bahasa Darahku” terlebih dahulu tiba di rumah buku “Zamrud” yaitu antologi puisi Dari Negeri Poci seri ke-15 yang saat datang kebetulan saya sedang tidak berada di rumah ...

Jangan Sakit Deh

“Jangan pernah sakit. Teruslah sehat dan berbahagia. Sakit itu sepi, menyakitkan, dan tentu saja mahal.” (Rusdi Mathari). Demikian terbaca di buku “Seperti Roda Berputar: Catatan di Rumah Sakit.” Buku merangkum catatan Rusdi Mathari yang menderita kanker saat-saat menjalani perawatan dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain. Sebenarnya Rusdi Mathari pengin menulis novel tentang sakit yang ia derita dan bagaimana ia mengupayakan kesembuhan dengan menjalani rangkaian pengobatan secara runtut tahap demi tahap. Dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain silih berganti, ditangani dokter berbagai spesialis yang berkaitan dengan sakit kankernya. Malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih. Rusdi Mathari meninggal di Jumat pagi, 2 Maret 2018. Novel yang ceritanya ia bayangkan akan demikian kompleksitas sekaligus melankolis tidak terwujud. “Seperti Roda Berputar” hanyalah memuat sebagian catatan di rumah sakit yang sempat ia tulis dan terbit di Mojok.co. Pemerintah menghapus kelas 1,...