Langsung ke konten utama

Anekdot Hari Raya


Lebaran hari ke 5 terjadi penumpukan baju kotor di keranjang cucian menuju mesin cuci, begitu juga dari arah jemuran menuju ruang setrikaan padat merayap. Daerah-daerah yang sepi antara lain; dompet, saku celana, tas belanja. Bahkan bisa dikatakan lengang.

Uang pecahan nominal 10K, 5K, dan 2K yang mengilap karena baru keluar dari percetakan uang Perum Peruri hasil penukaran di bank yang disediakan istri untuk THR bagi anak-anak komplek yang keliling dari rumah ke rumah, hanya tinggal sisa amplopnya saja.

Ada sih pecahan 2K yang lusuh dan koin 500-an kembalian dari bayar pakir, tapi nanti akan dikembalikan juga ke juru parkir. Peredaran uang itu berputar-putar dari mereka untuk mereka. Tidak pernah benar-benar menetap di saku celana apalagi dalam dompet.

Di hari raya, seperti biasa, ruang tamu rumah kami yang sempit selalu penuh jiran tetangga yang berdatangan. Obrolan macam-macam berloncatan. Apalagi ngobrolin anak karena anak kami seuisa dan bareng dari TK hingga SD, SMP dan SMA berpisah, mencar.

Kendati di masjid saat salat tarawih biasa saling berinteraksi dan bersalam-salaman, dipungkasi saat salat Id, tetap saja bersalaman dan bermaaf-maafan di hari raya lebih afdal. Tahun ini tak ada kue nastar di meja, rasanya kian jenuh saja dengan kue legendaris itu.

Gelak tawa mewarnai ketika ada yang berkata, “Pagi-pagi aku ke ATM hendak narik duit… eh ATM malah minta maaf. Kata ‘ATM maaf saldo Anda tidak mencukupi’” Ditimpali yang lain, “Iya, saya menelepon, operator menjawab ‘maaf pulsa Anda tidak mencukupi’”

Itulah ‘anekdot hari raya’ yang mewarnai suasana Lebaran. Saling memaafkan termasuk memaafkan ATM dan telepon adalah hal ihwal tanpa kecuali, dengan penuh kesadaran dan kerendahhatian kita mesti membuka diri memaafkan dan tangan saling berjabatan.

Nah, ini masih ‘anekdot hari raya’ di samping penuh kata maaf, suasana Lebaran juga penuh ‘kehangatan.’ Rendang dihangatkan, sambel goreng ati-kentang-buncis dihangatkan, opor ayam pun dihangatkan. Yang dingin dua botol minuman bersoda dan es batu di kulkas.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kursi Roda Ibu Ani

Kursi roda Ibu Ani dan kesetiaan Pak SBY menungguinya di rumah sakit. Bagaimana bisa melahirkan novel yang menceritakan perjuangan penyintas kanker seperti di buku “Seperti Roda Berputar” tanpa mengikuti proses dari mula hingga kini? Pertanyaan itu yang bersarang di pikiranku. Sewaktu mudik ke Pacitan 21 Mei hingga 3 Juni 2024, kami mengeksplor Museum dan Galeri SBY-ANI. Satu foto memperlihatkan kesetiaan Pak SBY menunggui Ibu Ani di National University Hospital Singapura. Foto Ibu Ani duduk di kursi roda sementara Pak SBY duduk di tepi hospital bed yang biasa Ibu Ani tiduri selama dirawat. Kaki Pak SBY menjuntai. Foto menggambarkan keduanya berhadap-hadapan sambil berbincang akrab. Saya sebenarnya penasaran, apakah Pak SBY menulis buku tentang masa-masa Ibu Ani dirawat hingga wafat. Seperti yang dilakukan Pak BJ Habibie, pasca-meninggalnya Ibu Ainun Habibie, Pak Habibie dilanda demam rindu. Guna memadamkan kerinduan kepada Ibu Ainun itu, Pak Habibie mulai menuangkan perasaan...

Sastra Jalan-jalan

Siang baru saja melanjutkan perjalanan menuju barat, setelah istirahat sejenak di waktu zuhur, yang ditandai Matahari tepat di atas kepalanya. Tak lama sekira pukul 14:12 Kakang Paket datang mengantarkan kiriman buku dari Taman Inspirasi Sastra Indonesia. Komunitas sastra disingkat TISI pimpinan Bang Octavianus Masheka, ini baru saja usai merampungkan proses produksi dan terbitnya buku antologi “Bahasa Ibu, Bahasa Darahku” yang merupakan puisi bahasa Indonesia dan bahasa daerah masing-masing penulisnya. Buku-buku yang joss tenan Ada 100 orang penulis puisi dwi bahasa yang terhimpun di dalam buku bersampul merah menyala dengan gambar sampul siluet wajah Ibu yang di wajah, leher, dan dadanya dihiasi taburan wajah penulis puisi yang sengaja di- crop tertinggal bagian dada dan kepala saja. Sebelum buku “Bahasa Ibu, Bahasa Darahku” terlebih dahulu tiba di rumah buku “Zamrud” yaitu antologi puisi Dari Negeri Poci seri ke-15 yang saat datang kebetulan saya sedang tidak berada di rumah ...

Jangan Sakit Deh

“Jangan pernah sakit. Teruslah sehat dan berbahagia. Sakit itu sepi, menyakitkan, dan tentu saja mahal.” (Rusdi Mathari). Demikian terbaca di buku “Seperti Roda Berputar: Catatan di Rumah Sakit.” Buku merangkum catatan Rusdi Mathari yang menderita kanker saat-saat menjalani perawatan dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain. Sebenarnya Rusdi Mathari pengin menulis novel tentang sakit yang ia derita dan bagaimana ia mengupayakan kesembuhan dengan menjalani rangkaian pengobatan secara runtut tahap demi tahap. Dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain silih berganti, ditangani dokter berbagai spesialis yang berkaitan dengan sakit kankernya. Malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih. Rusdi Mathari meninggal di Jumat pagi, 2 Maret 2018. Novel yang ceritanya ia bayangkan akan demikian kompleksitas sekaligus melankolis tidak terwujud. “Seperti Roda Berputar” hanyalah memuat sebagian catatan di rumah sakit yang sempat ia tulis dan terbit di Mojok.co. Pemerintah menghapus kelas 1,...