Langsung ke konten utama

Outsourcing

Zaman baheula ada istilah honda (honorarium daerah) bagi pegawai honor di instansi pemerintah. Setiap daerah diberi keleluasaan merekrut pegawai honor untuk diberdayakan membantu PNS (pegawai negeri sipil) yang ada.

Setelah menjadi pegawai honor beberapa tahun ada yang ketiban berkah diangkat menjadi PNS setelah mengikuti tahapan tes dan lulus. Ada juga yang ketiban sial, meski ikut tes berkali-kali sampai bosan, namun tak kunjung lulus juga.

Yang ketiban berkah tentu senang. Tetapi, yang ketiban sial, akhirnya memang ada yang benar-benar sial. Sepanjang usianya habis untuk mengabdi sebagai pegawai honor hingga usia 35 tahun atau batas usia maksimal diangkat.

Pegawai honor disebut juga PTT (pegawai tidak tetap). 2018 adalah tahun terakhir pengangkatan PTT menjadi PNS khusus tenaga kesehatan. Di tahun itu ditawarkan hanya 238 ribu formasi, sedangkan PNS yang pensiun 220 ribu.

Bukan hanya pengendalian kuantitas, kualitas CPNS pun dijaga. Maka, praktik perjokian, suap-menyuap, dan sogok-menyogok dalam penerimaan PNS dipersempit dengan diberlakukannya sistem CAT (Computer Assisted Test).

Peserta tes mengerjakan soal lewat sistem komputer yang terhubung langsung ke ruang kontrol Panitia Seleksi Nasional. Tidak ada kebocoran soal, karena soal diacak kemudian diunggah ke jaringan sesaat sebelum tes dimulai.

Penilaian juga dilakukan oleh komputer. Sehingga tidak bisa dimanipulasi. Sistem CAT dikembangkan sejak 2010 oleh BKN (Badan Kegegawaian Negara), dan dilaksanakan kali pertama 2013 jelang SBY-Boediono lengser dari jabatan.

Pemerintah Jokowi-JK mengembangkannya lebih lanjut. Bahkan sistem CAT ini berlaku di semua dari 72 kementerian, lembaga dan pemerintah daerah. Faktanya, dalam penerimaan CPNS bisa dijamin kemurniannya.

Dibanding negara tetangga, ratio PNS di Indonesia 1,7% dari jumlah penduduk itu tergolong moderat. Jika di Malaysia rationya 4% dan Myanmar 2,5%. Tetapi, hebatnya Thailand bisa dilayani hanya oleh 0,6% PNS, bahkan Vietnam 0,3%.

Sejak 2020 “kiamat” bagi anak muda yang mendambakan nyamannya menjadi PNS. Jokowi mengubah skema dari honorer jadi P3K (Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja) atau outsourcing (alih daya) atau karyawan kontrak.

Tenaga outsourcing atau karyawan kontrak mesti pandai-pandai membawa diri. Kinerja harus dijaga agar senantiasa tetap bagus karena berkaitan dengan poin penilaian oleh atasan, apakah kontrak kerja bisa dilanjutkan atau putus.

Dalam perpanjangan kontrak kerja berikutnya, karyawan bersangkutan diminta melengkapi dokumen terbaru. Seperti, e-KTP, KK, Akta Kelahiran, Ijazah terakhir, dan lain sebagainya. Misalkan ada dokumen terbaru yang diperoleh,

Tidak enaknya karyawan outsourcing bisa diputus kontrak sewaktu-waktu. Di sini berlaku azas like and dislike. Kontrak akan diperpanjang bila Bos masih butuh dan akan dibuang bila Bos sudah tidak butuh. Suka-suka Bos, gitulah intinya.

Atau perpanjangan kontrak dilakukan dengan cara di luar ketentuan yang berlaku seperti yang telah diatur undang-undang ketenagakerjaan. Misalnya, seperti yang dialami para karyawati di Cikarang dan kasusnya viral di Twitter.

Menurut unggahan di Twitter, para karyawati bila ingin kontrak kerjanya diperpanjang, kudu mau diajak staycation oleh Bos. Yang bersedia "ditiduri" Bos, kontraknya akan diperpanjang dan amanlah posisinya di perusahaan.

Mengapa "para karyawati?" Karena yang mengalami bukan hanya satu orang, melainkan banyak. Kemenaker dan Partai Buruh dibantu Asosiasi Serikat Pekerja (Aspek) sedang menelusuri kebenaran apa yang viral di Twitter tersebut.

Partai Buruh memiliki Posko Orange, yang anggotanya serikat-serikat buruh. Mereka mendapat laporan dari Pimpinan Cabang Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI), tetapi belum mengetahui siapa korbannya. 

Anak lanang ragil yang di Jaksel, ceritenye, kemarin minta dikirim beberapa dokumen untuk melengkapi pembaharuan perjanjian kerja. Ini untuk kali kesekian ia memperbaharui perjanjian kerja. Syukur Alhamdulillah. Jaga attitude, ya.

foto milik shutterstock dari id.hrnote.asia


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kursi Roda Ibu Ani

Kursi roda Ibu Ani dan kesetiaan Pak SBY menungguinya di rumah sakit. Bagaimana bisa melahirkan novel yang menceritakan perjuangan penyintas kanker seperti di buku “Seperti Roda Berputar” tanpa mengikuti proses dari mula hingga kini? Pertanyaan itu yang bersarang di pikiranku. Sewaktu mudik ke Pacitan 21 Mei hingga 3 Juni 2024, kami mengeksplor Museum dan Galeri SBY-ANI. Satu foto memperlihatkan kesetiaan Pak SBY menunggui Ibu Ani di National University Hospital Singapura. Foto Ibu Ani duduk di kursi roda sementara Pak SBY duduk di tepi hospital bed yang biasa Ibu Ani tiduri selama dirawat. Kaki Pak SBY menjuntai. Foto menggambarkan keduanya berhadap-hadapan sambil berbincang akrab. Saya sebenarnya penasaran, apakah Pak SBY menulis buku tentang masa-masa Ibu Ani dirawat hingga wafat. Seperti yang dilakukan Pak BJ Habibie, pasca-meninggalnya Ibu Ainun Habibie, Pak Habibie dilanda demam rindu. Guna memadamkan kerinduan kepada Ibu Ainun itu, Pak Habibie mulai menuangkan perasaan...

Sastra Jalan-jalan

Siang baru saja melanjutkan perjalanan menuju barat, setelah istirahat sejenak di waktu zuhur, yang ditandai Matahari tepat di atas kepalanya. Tak lama sekira pukul 14:12 Kakang Paket datang mengantarkan kiriman buku dari Taman Inspirasi Sastra Indonesia. Komunitas sastra disingkat TISI pimpinan Bang Octavianus Masheka, ini baru saja usai merampungkan proses produksi dan terbitnya buku antologi “Bahasa Ibu, Bahasa Darahku” yang merupakan puisi bahasa Indonesia dan bahasa daerah masing-masing penulisnya. Buku-buku yang joss tenan Ada 100 orang penulis puisi dwi bahasa yang terhimpun di dalam buku bersampul merah menyala dengan gambar sampul siluet wajah Ibu yang di wajah, leher, dan dadanya dihiasi taburan wajah penulis puisi yang sengaja di- crop tertinggal bagian dada dan kepala saja. Sebelum buku “Bahasa Ibu, Bahasa Darahku” terlebih dahulu tiba di rumah buku “Zamrud” yaitu antologi puisi Dari Negeri Poci seri ke-15 yang saat datang kebetulan saya sedang tidak berada di rumah ...

Jangan Sakit Deh

“Jangan pernah sakit. Teruslah sehat dan berbahagia. Sakit itu sepi, menyakitkan, dan tentu saja mahal.” (Rusdi Mathari). Demikian terbaca di buku “Seperti Roda Berputar: Catatan di Rumah Sakit.” Buku merangkum catatan Rusdi Mathari yang menderita kanker saat-saat menjalani perawatan dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain. Sebenarnya Rusdi Mathari pengin menulis novel tentang sakit yang ia derita dan bagaimana ia mengupayakan kesembuhan dengan menjalani rangkaian pengobatan secara runtut tahap demi tahap. Dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain silih berganti, ditangani dokter berbagai spesialis yang berkaitan dengan sakit kankernya. Malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih. Rusdi Mathari meninggal di Jumat pagi, 2 Maret 2018. Novel yang ceritanya ia bayangkan akan demikian kompleksitas sekaligus melankolis tidak terwujud. “Seperti Roda Berputar” hanyalah memuat sebagian catatan di rumah sakit yang sempat ia tulis dan terbit di Mojok.co. Pemerintah menghapus kelas 1,...