Perayaan Terbesar Manusia

Hidup Harus Berakhir

“Tidakkah selain kelahiran, salah satu perayaan terbesar manusia adalah kematian?” Ungkapan Rusdi Mathari, dalam buku Laki-Laki Yang Tak Berhenti Menangis, itu selalu saja menyegarkan pikiran bila ada kabar duka dari TOA masjid.

Saya mendapat ibrah melalui i’tibar yang ada di buku berisi kumpulan kisah Islami penyejuk hati dari penerbit Buku Mojok, Yogyakarta, 2019, itu. Kisah-kisah faktual yang ada di dalam buku itu sangat menggelitik dan mencerahkan.

Beliau pensiun 5 tahun lalu, pernah jadi Kepala UPT Dinas Pendidikan. Jabatan terakhir sebelum purna-tugas adalah Sekretaris Camat. Buat mengisi masa pensiun itu, beliau mengimami salat 5 waktu warga Blok P perumahan kami.

Setelah ketua takmir masjid mundur, ia jadi pengganti. Masjid paling besar se-BKP (selain masjid Al-Ansor) itu dirancang akan jadi masjid yang megah karena dibangun dua lantai. Sayangnya, dana tak bisa menyegerakannya.

Di masa Covid-19, beliau seperti kebal hukum. Tidak pernah mau benar-benar tunduk pada aturan memakai masker saat salat Jumat. Jadinya jemaah masjid pun ikut-ikutan enggan menjalankan protokol kesehatan dari pemerintah tersebut.

Sejak 2 tahun belakangan beliau terlihat menderita sakit –yang katanya– jantung. Indikasinya, bengkak pada kedua mata kakinya. Seorang jemaah –teman jalan subuh saya– berpendapat, sebenarnya ginjal beliau yang bermasalah.

Pada mulanya bengkak kecil. Berjalannya waktu menjadi kian besar dan menyulitkan beliau untuk salat. Waktu puasa kemarin, 2 kali beliau jadi imam Salat Tarawih, yaitu pada salat Tarawih pertama dan Tarawih di pengujung puasa.

Salat Id bisa ia ikuti meski dengan duduk di kursi, pun pada salat Jumat pertama sesudah Lebaran (28/4). Pada Jumat kedua (5/5) beliau tidak kelihatan. Jadi, Jumat pertama sesudah Lebaran itu adalah Jumat terakhir ia jumatan.

Waktu seperti cepat berlalu, Sabtu (6/5) beliau berpulang menemui Rab. Padahal, rencananya beliau akan menjalani terapi. Dalam perjalanan ke tempat terapi itu beliau lemas, dibawa ke RS Abdul Moeloek, ternyata sudah meninggal.

Ditegaskan dalam QSAl-Ankabut : 47, Kullu nafsin dza-iqatul maut, tsumma ilaina turja'una ثُمّ  إِلَيْنَا تُرْجَعُونَكُلُّ نَفْسٍ  ذَائِقَةُ الْمَوْتِ  (Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kemudian hanyalah kepada Kami kamu dikembalikan).

Hidup harus berakhir. Kapan berakhir itu, hanya Allah SWT yang Maha Tahu. Sebagai hamba yang awam tentang hal ghaib, awake dewe manungso iki mung biso nyekapke amal ingkang sae kanggo sangu ninggalake alam dunyo.

Memang begitulah yang terjadi pagi ini. Dari TOA masjid yang jemaahnya selalu beliau imami, kata innalillahi wainna ilaihi rojiun dilafalkan diikuti menyebutkan nama beliau, telah berpulang ke Rahmatullah di RS Abdul Moeloek.

Sejak tidak terlihat pada Jumat (5/5), saya sudah tanda tanya, ke mana beliau. Lebih-lebih ketika 2—3 hari sebelum beliau wafat, saya seperti mencium bau pandan di dalam masjid. Nah, firasat saya bekerja, barangkali itu penanda.

Yang mengumumkan baru saja sampai kata innalillahi… spontan saya berkata kepada istri, jangan-jangan Pak Asrori. Dan, ketika betul nama beliau yang disebut, sontak kami berdua kaget. Masygul rasanya. Misteri kehidupan.

Berhamburan kami dan tetangga ke teras rumah, semua menyiratkan kekagetan, tidak menyangka. Baru dua minggu bulan Syawwal berjalan, bulan purnama baru lewat sehari. Betapa cepat waktu berlalu. Takdir tak ada yang tahu.

Warga berdatangan ke rumah duka melayat, menunggu mobil jenazah datang. Setelah mobil jenazah tiba dan jenazahnya dibawa masuk ke ruang tamu rumahnya, saya ngelipir pulang. Hendak kondangan ke Gedung Pramuka.

Pikir saya, yang berpulang namanya sudah garisan takdir. Kewajiban yang masih hidup melayat dan menyempurnakan jenazahnya. Memandikan, mengkafani, menyalatkan, dan mengantar ke pemakaman, tempat peristirahatan terakhir.

Mobil jenazah RSUD-AM tiba di rumah duka pukul 10:20

Silaturahim Harus Dijaga

Ada yang lahir, ada yang meninggal. Ada yang datang, ada yang pergi. Begitulah kegaliban. Dualitas kehidupan itu silih berganti, saling menegaskan bahwa Allah SWT menakdirkan hamba-Nya lahir dan mati, datang dan pergi. Bergiliran.

Hidup harus berakhir, itu pasti. Tetapi, sebelum hidup itu berakhir, senyampang masih hidup silaturahim harus dijaga. Dalam urusan menjaga silaturahim itulah, saya tinggalkan rumah duka untuk pergi kondangan. Sebuah perayaan juga.

Musibah kematian dan walimatul ursy. Kedua-duanya sama-sama perayaan terbesar manusia. Yang satu “merayakan” kekalahan terhadap takdir kematian, sedang yang lainnya “merayakan” kemenangan terhadap takdir perjodohan.

Kurang dari pukul 11 saya dan istri berangkat ke gedung. Jarak tempuh dari rumah hanya 2 Km. Tiba di gedung tidak langsung dapat akses ke meja buku tamu. Rupanya kedua pengantin baru mau memasuki tempat dipersandingkan.

Setelah proses mengisi buku tamu selesai langsung masuk gedung mencari tempat duduk. Istri bertemu rekan kerjanya yang sudah pensiun, bersepakat untuk duduk berdekat-dekatan. Obrolan dibuka. Asyik sendiri. Acara berlanjut.

Di kejauhan tampak mantan kepala sekolah mereka berdiri. Dipanggil, beliau mendekat, kami bersalaman lalu beliau duduk di sebelah saya dan kami mengobrol. Acara agak kesiangan ternyata. Pukul 11:12, saya membuat postingan.

Setelah sambutan-sambutan dan doa penutup usai, kami merangsek ke meja prasmanan. Untung kursi-kursi masih ada yang kosong sehingga bisa menikmati makan dengan duduk nyaman. Habis menu di piring, saya ambil es krim.

Usai ngemil es krim kami antre untuk bersalaman dengan pengantin. Foto-foto sejenak mengabadikan “perayaan besar” lainnya, para guru aktif dan yang sudah pensiun bertemu kembali dengan mantan kepala sekolah mereka.

Senyampang bertemu, jalinan silaturahim disiratkan lagi. Apalagi ada legacy yang ditinggalkan mantan kepala sekolah. Pak Hutasoit membuat kenangan mereka indah. Kalau tidak Pak Huta, tidak mungkin mereka sampai Bali.

Senyampang berkumpul, saya bidikkan kamera ponsel ke arah mereka, mereka merapikan posisi masing-masing. Ceklik, ceklik, dua jepretan mengenai tubuh mereka. Pak Huta terlihat semringah. Beliau memang hobby difoto.

Dekorasi ruang dalam gedung begitu sederhana, tidak sesak dengan ornamen kembang seperti biasanya. Justru setting dekor seperti itu yang saya suka. Entah vendor dari mana yang dipakai oleh yang punya gawe. Kelak diobrolkan.

Latar puade dan kursi pengantin serta pendamping juga dibiarkan polos. Ada hiasan kembang sedikit di punggung kursi pengantin sehingga terkesan bersih. Pandangan bisa lepas dari atas panggung ke bagian belakang ruang.

Pun sebaliknya, dari bagian belakang ruang gedung bisa lepas memandang pasangan raja dan ratu sehari itu bersanding. Tidak banyak ornamen kembang membuat pemanfaatan ruang untuk kursi tamu demikian efisien.

Dari segi menu hidangan, bisa diponten 8. Vendornya Ibu Rubiah Katering beralamat Telukbetung Timur. Bola-bola daging, sejak kali pertama mencicipinya di rumah Mbak Sas, saya jadi terhipnotis, wah... ini menu recommended.

Ya, seperti pada postingan YPSBW, bahwa menikah itu yang penting sah bukan wah. Berapa budget yang dikeluarkan keluarga dalam menyelenggarakan pesta Eshy dan Firman? Barangkali rahasia dapur mereka yang bisa dikorek sikit.

Tetapi, mengamati dekor, katering, musik, MC, dan WO yang mengorganisasinya, rasanya tidak mahal amat. Konsep hajatan simpel dan murah itu bukanlah sesuatu yang tidak mungkin. Ego dan gengsi yang membuatnya jadi mahal.

Para ibu guru berfoto bareng Pak Hutasoit, mantan kepala sekolah mereka.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kursi Roda Ibu Ani

Angin Laut Pantura

Rumah 60 Ribuan