Langsung ke konten utama

Plazaku “Malang”

Kali pertama menginjakkan kaki di Kota Malang pada medio 1986. Awal perjalanan dari Jogya naik kereta malam, tiba di Surabaya pagi. Setelah nunut mandi di stasiun, petualangan pun dimulai ke daerah Tandes mengantar kawan mendaftar calon mahasiswa di ITATS. Ia memang berminat ke Teknik.

Waktu itu tuh, moda transportasi andalan adalah angkot (angkutan kota). Selesai urusan mendaftar, meluncur ke Terminal Joyoboyo untuk naik bus menuju Malang. Sampai Malang sudah agak sore, dari Terminal Pattimura langsung menuju kota dengan Bemo. Bah, di Malang ada Bemo juga.

Kirain di Jakarta doang ada Bemo. Ternyata semua Bemo tujuan kota dari mana pun berhenti di depan Kantor Pos. Bersama kawan tadi, berjalan kaki menuju Hotel Santosa. Letaknya strategis, tidak jauh dari alun-alun. Bersebelahan dengan Malang Plaza dan Mitra Plaza. Wah, ada plaza, cuy.

Di Jogya cuman ada Gardena. Setelah mandi dan ngaso (isoma), malamnya nonton film RAMBO II-nya Sylvester Stallone di Bioskop Mandala yang ada di lantai 3 Malang Plaza. Keesokan harinya kami bertualang ke Blimbing, saya menyelesaikan proses pendaftaran guna melanjutkan S1.

Kelar urusan saya di kampus UWG, lagi-lagi dengan Bemo, kami meluncur ke Dinoyo, kawan hendak mendaftar di ITN. Dari Blimbing harus ke Malang kota terlebih dahulu baru nyambung Bemo tujuan Dinoyo. Akses ke kampus ITN ini gak pake njelimet. Turun dari Bemo langsung gerbangnya.

Walhasil, saya dan kawan itu jadi warga Malangkuçeçwara. Hingga saya cabut dari Malang setelah selesai studi S1 di tahun 1988, kawan itu masih menyelesaikan kuliahnya di ITN. Ganti haluan, saya bertualang di Jakarta. Setelah Bemo Malang, mencoba dahulu bisingnya knalpot Bemo Jakarta.

Potret jadul Malang Plaza antara tahun 1987--1988 yang diarsipkan oleh pemerhati sejarah Kota Malang. Terlihat saat itu Malang Plaza menjadi salah satu bangunan termegah di kawasan Jalan H Agus Salim Kota Malang. Foto: istimewa (dari detikjatim)

***

Sahdan, Malang Plaza kebakaran pada Selasa (2/5/2023) dini hari. Tetapi, saya baru membaca beritanya pagi ini tadi. Kebakaran terjadi sekira pukul 01.00 WIB. Petugas damkar kewalahan selama enam jam berjibaku menjinakkan api. Api baru benar-benar bisa padam pada pukul 06:30 pagi.

Alangkah lama saya belum pernah kembali ke Malang. Baca berita tentang Malang Plaza, salah satu mal tertua di Kota Malang yang didirikan pada 1985, itu terbakar membuat hati saya sedih. Betapa mal pertama yang punya eskalator di Kota Malang, mampu melahirkan sebuah euforia kala itu.

Mal yang terletak di Jalan KH. Agus Salim No.26 diapit oleh Hotel Santosa di sebelah kirinya dan pertokoan di sebelah kanannya. Pada tahun lalu mal ini berganti wajah dengan konsep art, heritage, and vintage. Terutama di bagian pagar, dipoles sehingga tampak lebih cantik dari sebelumnya. 

Semula, sejak awal berdiri dan diresmikan Gubernur Jatim Wahono pada 11 Mei 1985, mal ini adalah pusat fashion. Menjadi pusat belanja pakaian bagi warga Malang. Sejak booming telepon seluler, Malang Plaza bertransformasi menjadi pusat jual/beli dan servis gawai serta asesorisnya.

Ah, plazaku “malang” sungguh kau membangkitkan nostalgia. Meski nasibmu “malang”, namun tidak begitu menyedihkan warga Malangkuçeçwara karena masih ada mal lainnya. Ada sembilan mal terpopuler di Malang. Cyber Mal berdiri 1990, MTS (Malang Town Square) berdiri 2005.

Lalu, Plaza Araya, Gajah Mada Plaza, Mal Dinoyo City, Sarinah Mal, Transmart MX Mal, Mal Olympic Garden, Lippo Plaza Batu. Nah, itulah mal-mal yang masih bisa menjadi tempat belanja, jalan-jalan atau rekreasi (window shoping), atau sekadar pengin menikmati kuliner khas Kota Malang.

Plaza Malang sebelum luluhlantak dilalap si jago merah (foto milik tugumalang.id dari wikimapia.org)


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kursi Roda Ibu Ani

Kursi roda Ibu Ani dan kesetiaan Pak SBY menungguinya di rumah sakit. Bagaimana bisa melahirkan novel yang menceritakan perjuangan penyintas kanker seperti di buku “Seperti Roda Berputar” tanpa mengikuti proses dari mula hingga kini? Pertanyaan itu yang bersarang di pikiranku. Sewaktu mudik ke Pacitan 21 Mei hingga 3 Juni 2024, kami mengeksplor Museum dan Galeri SBY-ANI. Satu foto memperlihatkan kesetiaan Pak SBY menunggui Ibu Ani di National University Hospital Singapura. Foto Ibu Ani duduk di kursi roda sementara Pak SBY duduk di tepi hospital bed yang biasa Ibu Ani tiduri selama dirawat. Kaki Pak SBY menjuntai. Foto menggambarkan keduanya berhadap-hadapan sambil berbincang akrab. Saya sebenarnya penasaran, apakah Pak SBY menulis buku tentang masa-masa Ibu Ani dirawat hingga wafat. Seperti yang dilakukan Pak BJ Habibie, pasca-meninggalnya Ibu Ainun Habibie, Pak Habibie dilanda demam rindu. Guna memadamkan kerinduan kepada Ibu Ainun itu, Pak Habibie mulai menuangkan perasaan...

Sastra Jalan-jalan

Siang baru saja melanjutkan perjalanan menuju barat, setelah istirahat sejenak di waktu zuhur, yang ditandai Matahari tepat di atas kepalanya. Tak lama sekira pukul 14:12 Kakang Paket datang mengantarkan kiriman buku dari Taman Inspirasi Sastra Indonesia. Komunitas sastra disingkat TISI pimpinan Bang Octavianus Masheka, ini baru saja usai merampungkan proses produksi dan terbitnya buku antologi “Bahasa Ibu, Bahasa Darahku” yang merupakan puisi bahasa Indonesia dan bahasa daerah masing-masing penulisnya. Buku-buku yang joss tenan Ada 100 orang penulis puisi dwi bahasa yang terhimpun di dalam buku bersampul merah menyala dengan gambar sampul siluet wajah Ibu yang di wajah, leher, dan dadanya dihiasi taburan wajah penulis puisi yang sengaja di- crop tertinggal bagian dada dan kepala saja. Sebelum buku “Bahasa Ibu, Bahasa Darahku” terlebih dahulu tiba di rumah buku “Zamrud” yaitu antologi puisi Dari Negeri Poci seri ke-15 yang saat datang kebetulan saya sedang tidak berada di rumah ...

Jangan Sakit Deh

“Jangan pernah sakit. Teruslah sehat dan berbahagia. Sakit itu sepi, menyakitkan, dan tentu saja mahal.” (Rusdi Mathari). Demikian terbaca di buku “Seperti Roda Berputar: Catatan di Rumah Sakit.” Buku merangkum catatan Rusdi Mathari yang menderita kanker saat-saat menjalani perawatan dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain. Sebenarnya Rusdi Mathari pengin menulis novel tentang sakit yang ia derita dan bagaimana ia mengupayakan kesembuhan dengan menjalani rangkaian pengobatan secara runtut tahap demi tahap. Dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain silih berganti, ditangani dokter berbagai spesialis yang berkaitan dengan sakit kankernya. Malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih. Rusdi Mathari meninggal di Jumat pagi, 2 Maret 2018. Novel yang ceritanya ia bayangkan akan demikian kompleksitas sekaligus melankolis tidak terwujud. “Seperti Roda Berputar” hanyalah memuat sebagian catatan di rumah sakit yang sempat ia tulis dan terbit di Mojok.co. Pemerintah menghapus kelas 1,...