Langsung ke konten utama

Ikhwal Keberkahan Hidup

Sosok Rumini yang tewas berpelukan dengan Ibunya (foto: YouTube diupload oel CNNIndonesia, 9 Desember 2021)

Mahasuci Allah yang di tangan kekuasaanNya-lah segala kerajaan, dan Dia Mahakuasa atas segala sesuatu. Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Mahaperkasa lagi Maha Pengampun.” (QS. Al-Mulk : 1—2)

Kisah Ibu Rumini dan Bapak Wagiman yang mengemuka dari tragedi terjangan lahar dingin erupsi Gunung Semeru, yang viral di media, menyentak pikiran tentang keajaiban-keajaiban. Apa yang terjadi pada mereka, membuka kesadaran tentang hakikat hidup sesungguhnya.

Setelah amuk lahar dingin dan awan panas Semeru reda, Rumini dan Ibunya ditemukan warga di belakang rumah mereka dalam kondisi meninggal dunia. Sewaktu kejadian, si Ibu sudah menyuruh Rumini menyelamatkan diri ke tempat yang lebih aman, Rumini bergeming.

Rumini tetap bertahan bersama Ibunya. Ibunya yang lumpuh tak hendak dia tinggalkan. Rasa cinta dan kasih sayang yang besar, membuat Rumini tidak tega meninggalkan si Ibu sendirian menghadapi situasi buruk dan menerima akibat yang akan terjadi dari erupsi Semeru.

Rumini memilih tetap membersamai Ibunya. Menuntunnya keluar rumah ke arah halaman belakang. Di situ mereka berdua ditemukan warga dalam posisi Rumini memeluk Ibunya. Sontak kejadian yang meninpa mereka viral. Membuat sesiapa tersingkap kesadarannya.

Sadar apa yang dilakukan Rumini terhadap Ibunya adalah iktibar berharga tentang makna cinta kasih dan tanggung jawab. Sebagai wanita yang juga merasakan beratnya mengandung dan membesarkan anak, Rumini sadar bahwa tak pantas meninggalkan Ibunya sendirian.

Rumini dan Ibunya tewas berpelukan. Ceritanya membetot perhatian seluruh penggila media sosial. Pengorbanan seorang anak terhadap orang tua khususnya Ibu yang mengandung, menyusui, dan membesarkan, sebuah fenomena langka di tengah banyaknya kontradiksi.

Kasus anak mengusir orang tua, menggugat orang tua, memenjarakan orang tua, bahkan membunuh orang tua dengan sadis yang banyak terjadi di masa kini, menggambarkan kontradiksi nyata dengan pengorbanan Rumini, yang hal itu mestinya semua anak bisa lakukan.

***

Rumah Pak Wagiman alias Pak Roh (foto: suryamalang.tribunnews.com) dan sosok Pak Roh (foto: penanews.id)

Fenomena lain dari tragedi erupsi Semeru yang lahar dinginnya meluluhlantahkan desa terdekat, adalah rumah Pak Wagiman yang selamat sendirian di antara rumah tetangga yang hancur berantakan atap dan temboknya, serta terendam lahar setinggi 20—35 centimeter.

Rumah Pak Wagiman benar-benar fenomenal. Jangankan roboh bahkan di dalamnya bersih dari debu. Burung love bird piaraannya masih hidup di sangkarnya di depan rumah. 16 ekor kambingnya tak ada yang mati, tetap mengembek di dalam kandangnya.

Sementara tetangga kiri-kanannya, jangankan hewan ternak di kandang belakang rumah, bahkan rumahnya pun roboh tembok dan berantakan gentingnya. Sekian ekor sapi dan kambing mereka tewas terpanggang awan panas. Terkubur timbunan lahar yang tebal.

Diwawancarai Gus Miftah secara virtual di acara ”Ngobrol Bareng Gus Miftah” di iNews TV, Jumat (17/12/2021), ketika Gus Miftah menanyakan amalan apa yang membuat rumah dan hewan ternak Pak Wagiman bisa selamat dari terjangan lahar dingin erupsi Semeru?

Dengan low profile, Pak Wagiman mengatakan, bahwa ia sangat menjaga salat lima waktu. Itu yang pokok dan sedapat mungkin ia pelihara. Kemudian ia rajin baca Surah Ya Sin bakda salat magrib, rajin baca Al-Quran dan juga rajin bersalawat kepada Rasulullah Saw.

Terangilah rumah-rumahmu dengan salat dan membaca Al-Quran.” (HR. Baihaqi)      

Fenomena yang terjadi pada Pak Wagiman, tampaknya bukanlah kebetulan belaka. Rajin membaca Al-Quran dan bersalawat kepada Rasul secara berkesinambungan, telah banyak bukti keajaibannya. Dan yang terjadi pada Pak Wagiman adalah sebagian dari keajaiban itu.

Barang siapa yang membaca satu huruf dari Al-Quran, baginya satu pahala dan akan dilipatgandakan menjadi sepuluh kali lipat. ‘Alif laam miimitu bukan satu huruf, namun alif satu huruf, laam satu huruf dan miim satu huruf.” (HR. Tirmidzi)

Apa yang terjadi pada Ibu Rumini dan Pak Wagiman adalah keberkahan hidup. Keberkahan hidup akan hadir pada seseorang sebagai impact dari amalan-amalan dan perbuatan baik yang dilakukannya secara istikomah. Juga bersedekah dan menolong secara tulus ikhlas.

Subhanallah.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kursi Roda Ibu Ani

Kursi roda Ibu Ani dan kesetiaan Pak SBY menungguinya di rumah sakit. Bagaimana bisa melahirkan novel yang menceritakan perjuangan penyintas kanker seperti di buku “Seperti Roda Berputar” tanpa mengikuti proses dari mula hingga kini? Pertanyaan itu yang bersarang di pikiranku. Sewaktu mudik ke Pacitan 21 Mei hingga 3 Juni 2024, kami mengeksplor Museum dan Galeri SBY-ANI. Satu foto memperlihatkan kesetiaan Pak SBY menunggui Ibu Ani di National University Hospital Singapura. Foto Ibu Ani duduk di kursi roda sementara Pak SBY duduk di tepi hospital bed yang biasa Ibu Ani tiduri selama dirawat. Kaki Pak SBY menjuntai. Foto menggambarkan keduanya berhadap-hadapan sambil berbincang akrab. Saya sebenarnya penasaran, apakah Pak SBY menulis buku tentang masa-masa Ibu Ani dirawat hingga wafat. Seperti yang dilakukan Pak BJ Habibie, pasca-meninggalnya Ibu Ainun Habibie, Pak Habibie dilanda demam rindu. Guna memadamkan kerinduan kepada Ibu Ainun itu, Pak Habibie mulai menuangkan perasaan...

Sastra Jalan-jalan

Siang baru saja melanjutkan perjalanan menuju barat, setelah istirahat sejenak di waktu zuhur, yang ditandai Matahari tepat di atas kepalanya. Tak lama sekira pukul 14:12 Kakang Paket datang mengantarkan kiriman buku dari Taman Inspirasi Sastra Indonesia. Komunitas sastra disingkat TISI pimpinan Bang Octavianus Masheka, ini baru saja usai merampungkan proses produksi dan terbitnya buku antologi “Bahasa Ibu, Bahasa Darahku” yang merupakan puisi bahasa Indonesia dan bahasa daerah masing-masing penulisnya. Buku-buku yang joss tenan Ada 100 orang penulis puisi dwi bahasa yang terhimpun di dalam buku bersampul merah menyala dengan gambar sampul siluet wajah Ibu yang di wajah, leher, dan dadanya dihiasi taburan wajah penulis puisi yang sengaja di- crop tertinggal bagian dada dan kepala saja. Sebelum buku “Bahasa Ibu, Bahasa Darahku” terlebih dahulu tiba di rumah buku “Zamrud” yaitu antologi puisi Dari Negeri Poci seri ke-15 yang saat datang kebetulan saya sedang tidak berada di rumah ...

Jangan Sakit Deh

“Jangan pernah sakit. Teruslah sehat dan berbahagia. Sakit itu sepi, menyakitkan, dan tentu saja mahal.” (Rusdi Mathari). Demikian terbaca di buku “Seperti Roda Berputar: Catatan di Rumah Sakit.” Buku merangkum catatan Rusdi Mathari yang menderita kanker saat-saat menjalani perawatan dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain. Sebenarnya Rusdi Mathari pengin menulis novel tentang sakit yang ia derita dan bagaimana ia mengupayakan kesembuhan dengan menjalani rangkaian pengobatan secara runtut tahap demi tahap. Dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain silih berganti, ditangani dokter berbagai spesialis yang berkaitan dengan sakit kankernya. Malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih. Rusdi Mathari meninggal di Jumat pagi, 2 Maret 2018. Novel yang ceritanya ia bayangkan akan demikian kompleksitas sekaligus melankolis tidak terwujud. “Seperti Roda Berputar” hanyalah memuat sebagian catatan di rumah sakit yang sempat ia tulis dan terbit di Mojok.co. Pemerintah menghapus kelas 1,...