Biarkan Tagar Berlalu

Seorang pelajar, DHP (16), dibacok gerombolan remaja di Jalan Kaliurang Km 9, Senin (27/12/2021) sekira pukul 01.30 WIB.

Gerombolan remaja seperti yang disebutkan berita Sindonews.com, 29/12/2021 di atas, diduga adalah anggota geng klitih.

Apa itu klitih? Mulanya klitih bermakna positif karena merupakan aktivitas untuk mengisi waktu luang, keliling naik motor. JJS (nyore).

Sayangnya aktivitas positif klitih ditelikung menjadi aktivitas yang mengarah aksi kriminal, menyerang korban secara sadis.

Pelaku klitih motoran keliling membawa sajam mencari sasaran untuk diserang. Korbannya bisa menyasar pada siapa saja.

Sajam yang dibawa tidak main-main. Clurit, gergaji, klewang, pedang, bahkan sekadar pecahan botol pun dianggap cukup.

Mereka bacok korbannya secara acak. Tak dibatasi jender dan usia, tak peduli suku, ras, dan agama. Siapa saja pokoknya.

Laki-laki maupun perempuan, anak-anak maupun dewasa sama. Hanya sekadar melukai, tak merampas motor atau benda.

Lantas pertanyaan yang terlintas di benak saya, maunya mereka apa? Karuan sekalian membegal motor atau harta benda.

***

Semasa SMA di Jogja tahun 80an, marak penertiban preman yang dinamai GALI mengerahkan penembak misterius (petrus).

Di timur Jalan Gondosuli (d.h. Jalan Sanggrahan) masih persawahan dan kebun tebu. Sering ada ceceran darah di jalan itu.

Kami bersama beberapa kawan sering melewati jalan di pinggir kebun tebu itu, tak asing dengan ceceran dan amis darah.

Kami sudah mafhum, pasti ada GALI yang ”diselesaikan” di situ. Tetapi, mana mayatnya kok kami tidak pernah menemukan.

Harusnya dicoba mengatasi aksi biadab klitih dengan pola yang sama seperti GALI. Jika GALI bisa dibasmi mengapa klitih tidak.

Apa harus menunggu sampai jatuh banyak korban? Apa harus masyarakat yang geram yang bergerak menumpasnya sendiri?

Masyarakat yang jengah terhadap cueknya polisi. Kapolres Bantul kok menganggap tagar Yogya tidak aman adalah tidak benar.

Jangan Malioboro dan Parangtritis yang jadi tolok ukur. Klitih tidak beraksi di situ, namun di jalan sepi dan waktu malam hari.

Malioboro dan Parangtristis yang merupakan magnetnya destinasi wisata kok jadi bandingan. Sangat  tidak imbang. Ramasok.

***

Benarkah polisi cuek? Sepertinya tidak juga. Faktanya, bulan lalu dalam seminggu, kepolisian Bantul mengamankan 23 pelaku klitih.

Itu hasil operasi satu minggu dan ter-cover media massa. Yang tidak ter-cover media tentu ada. Berapa jumlahnya? Tanya polisi.

Artinya, pelaku klitih yang diamankan dalam satu bulan sebanyak itu, bagaimana kalau sepanjang tahun, tentu banyak sekali.

’Banyak sekali’ untuk pengertian sebuah kejahatan jalanan seperti klitih, bukanlah frasa yang sedap untuk kita dengar atau baca.

Banyak sekali untuk pengertian positif, misal jumlah wisatawan yang tumplek blek di Malioboro pada malam pergantian tahun.

Atau banyak sekali pedagang di Jalan Malioboro ketiban berkah, penjualan mulai pulih setelah terkontraksi selama pandemi.

Kalau banyak sekali untuk pelaku klitih yang sulit dikenali identitasnya dalam keadaan tidak beraksi, ini sebisanya jangan viral.

Mengingat pelaku klitih setelah menyerang dan korbannya lumpuh, langsung kabur. Perilaku ini kan bikin jirih warga masyarakat.

Warga masyarakat yang mana? Semua warga Jogja tentunya. Baik pendatang (anak kost) maupun penduduk asli kota Gudeg ini.

***

Sebahagian usia saya sempat tercecer di sudut-sudut kota Jogja sedari SMA sampai kuliah kurun masa 80an hingga 86an.

Orang luar Jogja menganggap Jogja itu istimewa, tiap sudutnya menyimpan kenang-kenangan, saya pribadi sulit menyangkal.

Kalau ada yang mengatakan Jogja ngangeni, saya tak kuasa menyanggahnya. Faktanya, saya selalu rindu mengunjungi Jogja.

Sama seperti rindu ingin pulang ke kampung halaman, tempat ari-ari dipendam. Kalau kata KLa Project, ”pulang ke kotamu.”

Tidak berlebihan jika penyair Joko Pinurbo dalam satu puisinya menyebut, ”Jogja terbuat dari rindu, pulang dan angkringan.”

Memang ada korelasi antara ngangeni dan ingin pulang, memiuh waktu sekadar ngopi di angkringan agar kangen itu terobati.

Tetapi, tagar #YogyaTidakAman yang trending topik di Twitter, seperti menjungkir-balikkan angan hayalan dan fakta kenyataan.

Jogja itu istimewa, ngangeni, dan ’berhati nyaman’, itu berlaku bagi orang luar Jogja. Bagi warganya, klitih bagaikan silent killer.

Mudah-mudahan setelah tagar #YogyaTidakAman trending topik, ada kemauan aparat keamanan membasmi sampai tuntas.

***

Trendingnya tagar #YogyaTidakAman gegara klitih. Berbagai stempel dicapkan ke nama Jogja. Menandingi puisi Joko Pinurbo.

”Jogja itu terbuat dari UMR murah, hotel penyedot air tanah, dan klitih,” kata Prabu Yudianto dalam opininya di Mojok.

Ada benarnya juga, kali. Ketiga-tiganya (UMR, air tanah, dan klitih) adalah fakta nyata. Sumur galian warga banyak yang kering.

Penyebabnya masifnya pembangunan hotel di Kota Jogja. Warga dibantu aktivis berdemo memprotes keringnya sumur mereka.

Saya pernah menonton aksi teatrikal mereka seolah sedang mandi. Namun, bukan menggunakan air, melainkan dengan pasir.

Aksi ekstrem mandi pasir sudi mereka lakukan lantaran saking kesalnya karena manajemen hotel yang diprotes tak ambil peduli.

Menonton aksi demo mereka di YouTube, seolah mandi menggunakan pasir. Saya bukannya jijik, melainkan ikut merasa kesal.

Kesal yang bangkit dari keprihatinan mendalam. Waktu sekolah di Jogja, kami pernah mengalami sulit air karena kemarau tujuh bulan.

Biarkan tagar berlalu. Tagar yang sungguh tidak ada gunanya ditanam dalam ingatan. Tahun 2022 besok, buatlah hal yang baik-baik.

Selamat menyambut Tahun Baru, 2022!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kursi Roda Ibu Ani

Angin Laut Pantura

Rumah 60 Ribuan