Dari Balik Jendela
Bangsal Perawatan di Rumah Sakit dengan jendela yang lebar. (foto: Pinterest) |
Catatan ini, penutup blogging (aktivitas mengelola blog) tahun 2021. Berupa review buku antologi puisi 62 tahun RSUP Sanglah yang diluncurkan kemarin pada puncak HUT ke-62 rumah sakit di Bali itu.
Puisi saya berjudul ”Fragmen Kecil di Ruang IGD” lolos kurasi oleh Dewan Kurator (Wayan Jengki Sunarta, Made Adnyana Ole, dan Sthiraprana Duarsa), yang bekerja keras menyeleksi 300an judul puisi.
”Undangan Menulis Puisi Se-Indonesia” dalam rangka HUT ke-62 RSUP Sanglah, demikian yang tertangkap mata pada halaman facebook Hari Puisi Indonesia pada 4 Oktober 2021. Wah, perlu ikut, nih, batinku.
Event ini, peserta dari seluruh Indonesia boleh kirim maksimal tiga judul puisi, panjang puisi bebas asalkan bertema rumah sakit. Batas waktu (deadline) pengiriman 5 November 2021 pukul 00.00 WIB.
Sejak 15/10 hingga 31/12/2020 saya tulis 30 puisi bertema kematian, di luar tema yang disyaratkan event ini. Berarti saya harus menulis puisi baru yang ada kesesuaian tema dan ketentuan yang berlaku.
RS dan kematian, dua hal yang berkait. Mengantarkan pasien ke rumah sakit untuk dirawat inap, hanya untuk dua tujuan; kesembuhan atau kematian yang niscaya. Sembuh atau mati, hanya dua itu pilihannya.
Untung saya punya simpanan ingatan tentang teman yang dirawat yang akhirnya wafat. Beranjak dari kejadian itu saya mengkreasi satu puisi. Satu puisi dikreasi dari cerpen, satunya mengkreasi puisi baru.
Simpanan ingatan tentang teman yang dirawat di RS lalu wafat, semula semacam utang. Saya kristalkan dalam puisi yang menyiratkan kesedihan tak bisa memenuhi permintaannya jelang akhir hayatnya.
Agar tidak tersimpan dalam ingatan, tetapi bisa hadir dalam bacaan, saya tulis puisi berjudul ”Utang yang tak Terbayar” terkumpul dalam buku antologi puisi Hari Makin Senja. Mengabadikan persahabatan.
Lengkap tiga judul puisi saya kirim ke panitia pada 19/10 pukul 21.34 WIB. Langsung direspon dengan ucapan terima kasih atas partisipasinya. Saya tak menaruh harap banyak, hanya sekadar berpartisipasi.
Karena tak begitu besar ekspektasi, saya agak telat memantau kabar pengumumannya. Ternyata hasil kurasi atas 300an puisi yang diterima panitia telah diumumkan pada 12 November. Satu puisi saya lolos.
62 puisi dari 51 penyair diabadikan dalam buku ini. 9 penyair yang puisinya lolos 2. 42 penyair puisinya lolos 1. Selain saya, ada 2 penyair asal Liwa yang puisinya lolos tergabung dalam buku yang keren ini.
Dua penyair asal Liwa ini, Putra Niti Galih Prakoso, nomine Sayembara Menulis Puisi Berbahasa Lampung yang ditaja DKL. Dan satunya lagi adalah Q Alsungkawa. Keduanya aktif di Komsas Simalaba.
Komsas Simalaba (Komunitas Sastra Silaturahmi Masyarakat Lampung Barat), komunitas wadah kreasi penyair Lampung Barat yang bermukim di Liwa. Mereka mengelola media https://www.simalaba.net/
Selain media online itu, juga ada facebook simalaba (Silaturahmi Masyarakat Lampung Barat dan Banten), wadah silaturahmi dan komunikasi serta medium mempublikasikan karya sastra anggota facebook.
Buku antologi puisi ini diluncurkan kemarin pada acara puncak HUT ke-62 RS di Bali itu. Buku diberi judul ”SUATU HARI DARI BALIK JENDELA RUMAH SAKIT” Antologi Puisi HUT ke-62 RSUP SANGLAH.
Itulah judul buku yang tercyduk di IG dan facebook RSUP Sanglah. Ada beberapa foto yang diabadikan dalam rangkaian acara puncak HUT ke-62 RSUP Sanglah. Selamat ulang tahun, semoga selalu jaya.
Penasaran sama bukunya? tentu, dong...
Dari Balik Jendela
Selama dibekap pandemi Covid-19 sejak merebak pertama Desember 2019 di Wuhan, Cina dan Maret 2020 di Indonesia, berbagai aturan diterapkan untuk mencegah meluasnya sebaran virus mematikan itu.
Mulai pembatasan sosial berskala besar (PSBB) pada 2020, persebaran virus bukannya berhenti, melainkan justru bertambah luas hingga ke pelosok kampung karena ada pekerja migran yang dipulangkan.
Tak pelak amukan gelombang kedua pada Juni 2021 tak terhindarkan. Covid-19 yang bermutasi menjadi berbagai varian semakin mengancam jiwa. Kian bertambah nyawa terenggut. Kian banyak yatim piatu.
Pengujung tahun 2021 muncul varian Omicron. Bisa tidak-bisa kita harus waspada menghadapinya. Harapan pandemi segera berakhir berganti endemi dengan gencarnya vaksinasi, ternyata belum tercapai.
Mau tidak-mau kita harus banyak membatasi kegiatan di luar rumah. Anak sekolah tetap daring, yang bekerja masih harus terus work from home atau kalaupun harus ngantor dengan kapasitas terbatas.
Yang sehat dan harus di rumah saja maupun yang dirawat di RS, sama-sama hanya bisa merenungkan sampai kapan pandemi ini akan menemani kesehariannya. Sampai kapan akan dirundung derita.
Yang sehat dan sakit, hanya pada jendela memakukan sorot mata, tatap masa depan kelangsungan hidup. Dari jendela angan terbang menempuh pertaruhan apa, nanti setelah pandemi Covid-19 ini berakhir.
Suatu Hari dari Balik Jendela Rumah Sakit, memori kolektif semua pasien yang dirawat. Jendela rumah sakit jadi ruang sakral bagi mereka untuk menatap optimistis secercah harapan, pulang setelah dirawat.
Tetapi, jendela rumah sakit juga jadi ruang berjudi paling spekulatif. Sembuh setelah dirawat atau mati setelah sekarat, keniscayaan yang seimbang takaran beratnya. Fifty-fifty, menang kalah sama peluangnya.
Dalam keseimbangan fifty-fifty itu, paling tidak upaya untuk menang haruslah diperjuangkan. Senantiasa pakai masker dan cepat vaksinasi, adalah kuncinya. Masker dan vaksin, sejoli serasi perlindungan diri.
Komentar
Posting Komentar