Langsung ke konten utama

Siapa (tak) Peduli

Angkot yang bertahan meniti zaman. Bemper kopong, plat nomor mbuh, knalpot racing. 

Di sebuah obrolan via video call pada suatu malam, anak kami yang jadi pekerja perantau di Surabaya, bertanya apakah masih ada angkot di Bandar Lampung, kota yang ditinggalkannya setamat SMA tahun 2012 karena kuliah di Solo dan ke Surabaya tahun 2016.

”Ada satu dua,” jawabku. ”Apakah masih ada penumpangnya,” lanjutnya. ”Masih ada, sih, dari berbagai kalangan,” jelasku. Saya jawab ada itu karena faktanya memang masih sering melihatnya terseok-seok menyusuri jalan ZA. Pagaralam, Teuku Umar, dan Imam Bonjol.

Sehabis mengantar istri ke rumah mbak Sas di dekat SMA Gajahmada, karena mereka hendak pulang ke Pacitan sehubungan Ibunda yang berpulang ke Rahmatullah, Rabu pagi kemarin, jadinya mereka akan pulang bersama-sama satu mobil, berangkat sekira pukul 11.06 WIB.

Pulang dari sana, menyusuri Jalan Kiyai Maja, motor saya mengiring beberapa angkot trayek Way Kandis—Terminal Pasar Bawah. Angkot yang warna catnya sudah kusam sehingga tidak jelas bagaimana mengatakannya. Kuning bukan, Cream juga tidak, Putih jauh.

Bukan hanya warna catnya yang sudah tidak jelas, melainkan ”nyawa” pajaknya pun sudah lama mati. Mati yang permanen, bukan sekadar mati suri. Ada yang bertanda tahun 17, 18, 19, dan 20. Yang berarti ada di antara angkot itu sudah mati pajak sejak tahun 2017.

Selain warna catnya kusam dan mati pajak, ada yang kaca lampunya pecah bahkan bohlamnya tak ada. Ada juga yang bempernya sudah tidak terpasang. Belum lagi bopeng di sana sini tanpa didempul agar kembali mulus. Pokoknya sedih dan serbamemprihatinkan.

Padahal, di masa jayanya dulu, tahun 1990an hingga 2010an, angkot bersaing dan berlomba-lomba menghias diri dengan asesoris yang cantik serta pemutar musik dengan pelantang suara yang menggelegar. Suara bass berdebum-debum menarik perhatian khalayak.

Sejak gojek merintis cikal bakal moda transportasi online pada tahun 2011, taksi konvensional, angkutan kota, dan bus DAMRI mulai sakit-sakitan. Setelah diluncurkannya aplikasi gojek di ponsel android dan iOS pada tahun 2015, lahirlah sebuah fenomena.

Fenomena baru di mana seseorang (user) bisa memesan ojek secara online. Cukup menunggu di titik penjemputan, driver ojek online akan segera tiba menghampiri dan kemudian siap mengantar ke titik tujuan. Sejak saat itu terasa begitu mudah dan simplenya cara bepergian.

Fenomena bus rapid transit (BRT) a la TransJakarta menggejala juga di daerah mana pun. Ada Trans Jogja di Yogyakarta. Kota Bandar Lampung seperti tak mau ketinggalan, lalu diluncurkan Trans Bandarlampung, menggusur keberadaan bus DAMRI.

Ujungnya yang terjadi kemudian, bus Trans Bandarlampung lenyap dari jalanan. Kalah pamor dengan moda transportasi online. Taksi argometer rintisan HERODIZA pun kolaps, taksi milik Puspa Jaya sekarat. Yang masih lumayan kuat adalah Taksi Bandara.

Perihal kusamnya warna cat dan mati pajak di atas, siapa peduli dan siapa tak peduli? Pemilik angkot barangkali berpikir buat apa bayar pajak toh penghasilan angkot tak sebanding dengan rupiah yang disetor ke loket Samsat/Bapenda, untuk sekadar agar pajak angkot hidup.

Sopir angkot juga apa pedulinya. Baginya yang penting ada SIM terselip di dompet sudah cukup untuk meninggikan keberanian membawa angkot bodong berpetualang mengais rezeki. Polantas yang berjaga di pinggir jalan, barangkali juga cuek bebek. Masa bodoh.

Percumah juga menyetop angkot mati pajak. Sang sopir pasti berkilah hanya iseng-iseng berpetualang mencari recehan. Mau ditilang dengan menyita STNK, toh mati. Mau menyita SIM, sang sopir ogah menyerahkan barang sakral itu, mending berdebat. Sama sia-sianya. 

Ya, angkot mati pajak itu tak lebih dari sekadar iseng mencari peruntungan nasib. Menangguk rupiah kecil-kecil dari penumpang ”kapiran” dengan jarak tempuh yang pendek. Sekalipun jarak tempuhnya panjang, yang diterima sopir tetap segitu. Karena tarif jauh—dekat sama.

Lagi pula menilang angkot atau kendara apa pun yang mati pajak itu adalah wewenang DLLAJR. Maka, untuk menertibkan kedisiplinan warga masyarakat berlalu lintas, acapkali digelar operasi gabungan antara aparat kepolisian dan DLLAJR secara berkala.

Begitulah cerita tentang angkot di Kota Bandar Lampung, tak lekang disepuh zaman. Tetap bertahan di tengah kepungan moda transpotasi online (gojek, Grab, maxim, tuda). Saking banyaknya, tak semua driver panen rezeki. Tak selalu untung, ada buntungnya juga.            

Cerita seputar angkot lainnya, sila baca di sini: https://www.blogger.com/blog/post/edit/681727707186423256/3371074464106958903

Uhuhuhu

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kursi Roda Ibu Ani

Kursi roda Ibu Ani dan kesetiaan Pak SBY menungguinya di rumah sakit. Bagaimana bisa melahirkan novel yang menceritakan perjuangan penyintas kanker seperti di buku “Seperti Roda Berputar” tanpa mengikuti proses dari mula hingga kini? Pertanyaan itu yang bersarang di pikiranku. Sewaktu mudik ke Pacitan 21 Mei hingga 3 Juni 2024, kami mengeksplor Museum dan Galeri SBY-ANI. Satu foto memperlihatkan kesetiaan Pak SBY menunggui Ibu Ani di National University Hospital Singapura. Foto Ibu Ani duduk di kursi roda sementara Pak SBY duduk di tepi hospital bed yang biasa Ibu Ani tiduri selama dirawat. Kaki Pak SBY menjuntai. Foto menggambarkan keduanya berhadap-hadapan sambil berbincang akrab. Saya sebenarnya penasaran, apakah Pak SBY menulis buku tentang masa-masa Ibu Ani dirawat hingga wafat. Seperti yang dilakukan Pak BJ Habibie, pasca-meninggalnya Ibu Ainun Habibie, Pak Habibie dilanda demam rindu. Guna memadamkan kerinduan kepada Ibu Ainun itu, Pak Habibie mulai menuangkan perasaan...

Jangan Sakit Deh

“Jangan pernah sakit. Teruslah sehat dan berbahagia. Sakit itu sepi, menyakitkan, dan tentu saja mahal.” (Rusdi Mathari). Demikian terbaca di buku “Seperti Roda Berputar: Catatan di Rumah Sakit.” Buku merangkum catatan Rusdi Mathari yang menderita kanker saat-saat menjalani perawatan dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain. Sebenarnya Rusdi Mathari pengin menulis novel tentang sakit yang ia derita dan bagaimana ia mengupayakan kesembuhan dengan menjalani rangkaian pengobatan secara runtut tahap demi tahap. Dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain silih berganti, ditangani dokter berbagai spesialis yang berkaitan dengan sakit kankernya. Malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih. Rusdi Mathari meninggal di Jumat pagi, 2 Maret 2018. Novel yang ceritanya ia bayangkan akan demikian kompleksitas sekaligus melankolis tidak terwujud. “Seperti Roda Berputar” hanyalah memuat sebagian catatan di rumah sakit yang sempat ia tulis dan terbit di Mojok.co. Pemerintah menghapus kelas 1,...

JULI

Bulan Juli lingsir ke ujung cakrawala, banyak momen penting yang ditinggalkannya. 23 Juli 2025 Perpustakaan Nasional Press (Perpusnas Press) RI merayakan HUT ke-6 bareng dengan peringatan Hari Anak Nasional. Di negara kita, HAN tanggal itu. Hari Anak diselenggarakan berbeda-beda di berbagai tempat di seluruh dunia. Ada Hari Anak Internasional diperingati setiap tanggal 1 Juni. Ada pula Hari Anak Universal, diperingati setiap tanggal 20 November. Negara lain pun memiliki hari anak sendiri-sendiri. Ilustrasi, kalender meja (picture: IStock) Pemerintah melalui Menteri Kebudayaan Republik Indonesia, Fadli Zon, akhirnya  menetapkan 26 Juli sebagai Hari Puisi Indonesia. 13 tahun sastrawan dan seniman berjuang meraih pengakuan atau legalitas itu sejak kali pertama dideklarasikan di Pekanbaru. Adalah Presiden Penyair Indonesia Sutardji Calzoum Bachri yang menginisiasi deklarasi HPI bersama 40 sastrawan, seniman, dan budayawan dari berbagai daerah Indonesia. Deklarasi hari puisi Indonesia ...