Langsung ke konten utama

Yang Melepas dan Menunggu


Dulu waktu anak sulung kami kali pertama mencoba mengendarai motor sendiri ke sekolah, Ibunya melepas di pintu pagar, memandangi hingga hilang di perempatan jalan. Tentu Ibunya tidak hanya melepas begitu saja, namun menyertakan doa untuk keselamatannya dengan keteguhan hati sekaligus perasaan khawatir yang menghantui.

Ketika siang si anak pulang, Ibunya baru merasa plong. Begitu terus setiap hari sepanjang masa si anak menyelesaikan SMA. Kami orang tua berprinsip si anak tidak akan dibelikan dan diperbolehkan mengendarai motor sendiri sebelum mengantongi SIM. Anak kami pun sepertinya paham dengan sendirinya aturan negara tentang itu.

Setelah punya motor rupanya tidak pula keranjingan motoran ke sana kemari. Hari Minggu ya di rumah saja, tidak juga main ke tempat kawannya apalagi kelayapan. Sebelum dibelikan motor, bila hendak kumpul-kumpul bersama teman-temannya di rumah Saga, ia minta diantar dan pulangnya dijemput, waktu itu masih zaman SMS-an.

Hingga lulus SMA dan kuliah di Solo alhamdulillah tidak pernah mengalami kecelakaan apa pun dengan motornya yang juga dibawa serta ke Solo. Ia termasuk irit menggunakan motor dalam aktivitas sehari-hari, dipakai di Solo dari 2012 hingga Surabaya 2021, dikirim pulang karena harus cek fisik di Samsat untuk bayar pajak.

Revo 110 berwarna merah itu sejak dibeli 2011 benar-benar irit di tangannya. Dipakai sejak kelas 2 SMANDA, kuliah 3 tahun 11 bulan di UNS, dan bekerja di Surabaya sejak 2016 hingga dipulangkan ke Lampung Mei 2021, suara mesinnya masih halus dan power-nya masih terasa bertenaga. Kilometernya baru di kisaran angka 41 ribu. Luar biasa.

***

Lain hal dengan adiknya, sewaktu bawa motor sendiri semasa SMA pernah kecelakaan tunggal di Jl. Tamin. Insiden kecil itu lantaran hari hujan dan jalan licin, Mio GT merah tunggangannya ngepor. Alhamdulillah syukur tak ada luka lecet di tubuhnya dan rusak berarti pada motornya. Motor matic dibilang enak, tak keliru tafsiran itu. Jadi kecendrungan untuk tipe pilihan.

Tetapi, kalau  diibaratkan burung, motor matic itu seperti merpati. Tahu kan frasa jinak-jinak merpati. Kalau ibarat cewek, motor matic itu cewek yang baperan. Ngangon orang baperan itu susah. Begini salah begitu salah. Motor matic digas akan lari keceng banget, selip-selip ngepor. Dibawa selow bikin pegel jari karena dipermainkan tuas gas.

Seperti motor Kakaknya, Mio GT merah ikut hijrah ke Jogja setelah si penunggangnya tamat SMA 2016. Dipakai bukan sekadar kuliah-pulang kuliah-pulang (kupu-kupu), melainkan juga dibawa kongkow bersama teman-teman ke warung burjo atau angkringan. Dengan begitu agak besar juga biaya meragatinya, BBM + biaya perawatan rutin.

Insiden di Jl. Tamin ternyata tidak benar-benar tunggal alias satu-satunya kecelakaan yang dialami anak bungsu ini. Di Jogja terulang lagi kecelakaan tunggal. Pemicunya sama, jalan licin diwaktu hujan. Hanya saja, kali ini lumayan parah, ada sembilan jahitan ditanam di dagu sebelah kanannya. Dan ia diam-diam tak mau cerita ke ibunya.

Ibunya baru tahu ketika ia pulang. Ibunya melihat ada yang lain dari biasanya pada dagu si anak lalu menanyakan. Diceritakanlah olehnya kronologi kejadian hingga ia dibawa teman-temannya ke rumah sakit untuk P3K. ”Kok nggak cerita,” tanya ibunya. Dijawab olehnya, ”Nanti kalau cerita bisa jadi malah kelojot-kelojot pingsan.”

***

Begitulah seorang ibu. Di halaman kalbunya tumbuh ranum sebatang pohon cinta, yang dahan dan rantingnya menjuntai menaungkan rasa teduh ke semua anaknya. Dari ranting-ranting itu bersemi buah kasih sayang yang lezatnya tak ada tandingan. Semua anak kebagian merasakannya, tak dibedakan antara satu dengan lainnya.

Begitulah seorang ibu. Di kedalaman lubuk pikirannya terbenam sebongkah rasa. Bongkahan itu bisa terpecah-pecah menjadi serpihan berbagai rasa, bergantung pada situasi dan kondisinya sendiri-sendiri. Kecerdikan seorang ibu membungkus berbagai rasa itu membuat tak seorang pun mengetahui, termasuk anak-anaknya sekalipun.

Selelah apa pun, sestres apa pun, setidak nyaman apa pun, sekalut apa pun seorang ibu tak akan memperlihatkan muka murung di hadapan anaknya. Semua serpihan rasa itu dibungkusnya dengan rapi agar tersembunyi dari penglihatan anaknya atau siapa pun. Ibu memang serbabisa memainkan peran dalam drama kehidupan.

Mengapa seorang ibu bisa menabiri kesedihan di wajahnya? Tentu bukan karena wajahnya rajin dibaluri tabir surya, melainkan karena pandainya dia menyamarkan perasaan. Apalagi kalau dia penganut aliran ora menak garis keras, tentu yang ada dalam perasaannya ora menak selalu. Mau memanggungkan rasa sedih, kan ora menak, tho.

Alhasil tak sedikit ibu-ibu tersiksa sendiri menanggung lara dirudapaksa perasaan. Mengapa tak sedikit juga ibu-ibu yang wajahnya lebih tua dari usianya? Karena sampah yang mengotori pikiran tak dibuang. Padahal, membuangnya gampang, curhatlah ke suami. Suami tentu tak keberatan dijadikan tong sampah oleh istrinya.

***

Istri saya rajin sekali video call-an dengan anak di Surabaya. Juga dengan yang di Jogja, dulu. Sekarang yang di Jogja sudah setengah tahun ini WFH di Lampung. Telepon atau vc itu sebagai tombo kangen ibunya, menanyakan bagaimana kabar, sehat selalukah, pekerjaannya lancarkah. Apakah dampak erupsi Semeru (4/12) sampai di Surabaya?

Kangen sedikit tebasuh dengan melihat wajah anak di layar hp. Bagaimana tidak kangen, kali terakhir bertemu saat mantenan Adi & Dita di Mojokerto, Desember 2019. Sesudah itu muncul momok menakutkan bernama Covid-19 yang kemudian membersamai kita sebagai pandemi. Praktis orang tak boleh mudik atau pulang kampung.

Teleponan atau vc sama anak bujangnya, bagi istri merupakan salah satu cara menghibur diri dari kepenatan sepulang bekerja. Bekerja sebagai guru dengan metode pembelajaran daring dan tatap muka terbatas, tentu banyak hal yang bisa membuat penat tidak saja raga tapi juga jiwa. Kepenatan yang tidak dihibur akan tertimbun jadi emosi.

Emosi adalah sampah yang dihasilkan pikiran dan perasaan. Semakin buruk pikiran dan tidak nyaman perasaan akan membuat emosi bertumpuk. Semakin tinggi tumpukan emosi semakin berbahaya bagi psikis. Ujungnya fisik juga akan ikut menderita sakit. Karena itu, jangan sekali-sekali menumpuk emosi, cepat buang ke tempatnya.

Di mana tempat membuang emosi? Tidak ada tempat. Tidak memaksakan diri untuk membuangnya, emosi akan hilang dengan sendirinya. Artinya, berdamai dengan pikiran dan perasaan itu sendiri. Lepaskan keinginan menghilangkan emosi, emosi akan hilang dengan sendirinya. Berhenti mencari bahagia, bahagia datang dengan sendiri.  

SELAMAT HARI IBU

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kursi Roda Ibu Ani

Kursi roda Ibu Ani dan kesetiaan Pak SBY menungguinya di rumah sakit. Bagaimana bisa melahirkan novel yang menceritakan perjuangan penyintas kanker seperti di buku “Seperti Roda Berputar” tanpa mengikuti proses dari mula hingga kini? Pertanyaan itu yang bersarang di pikiranku. Sewaktu mudik ke Pacitan 21 Mei hingga 3 Juni 2024, kami mengeksplor Museum dan Galeri SBY-ANI. Satu foto memperlihatkan kesetiaan Pak SBY menunggui Ibu Ani di National University Hospital Singapura. Foto Ibu Ani duduk di kursi roda sementara Pak SBY duduk di tepi hospital bed yang biasa Ibu Ani tiduri selama dirawat. Kaki Pak SBY menjuntai. Foto menggambarkan keduanya berhadap-hadapan sambil berbincang akrab. Saya sebenarnya penasaran, apakah Pak SBY menulis buku tentang masa-masa Ibu Ani dirawat hingga wafat. Seperti yang dilakukan Pak BJ Habibie, pasca-meninggalnya Ibu Ainun Habibie, Pak Habibie dilanda demam rindu. Guna memadamkan kerinduan kepada Ibu Ainun itu, Pak Habibie mulai menuangkan perasaan...

Sastra Jalan-jalan

Siang baru saja melanjutkan perjalanan menuju barat, setelah istirahat sejenak di waktu zuhur, yang ditandai Matahari tepat di atas kepalanya. Tak lama sekira pukul 14:12 Kakang Paket datang mengantarkan kiriman buku dari Taman Inspirasi Sastra Indonesia. Komunitas sastra disingkat TISI pimpinan Bang Octavianus Masheka, ini baru saja usai merampungkan proses produksi dan terbitnya buku antologi “Bahasa Ibu, Bahasa Darahku” yang merupakan puisi bahasa Indonesia dan bahasa daerah masing-masing penulisnya. Buku-buku yang joss tenan Ada 100 orang penulis puisi dwi bahasa yang terhimpun di dalam buku bersampul merah menyala dengan gambar sampul siluet wajah Ibu yang di wajah, leher, dan dadanya dihiasi taburan wajah penulis puisi yang sengaja di- crop tertinggal bagian dada dan kepala saja. Sebelum buku “Bahasa Ibu, Bahasa Darahku” terlebih dahulu tiba di rumah buku “Zamrud” yaitu antologi puisi Dari Negeri Poci seri ke-15 yang saat datang kebetulan saya sedang tidak berada di rumah ...

Jangan Sakit Deh

“Jangan pernah sakit. Teruslah sehat dan berbahagia. Sakit itu sepi, menyakitkan, dan tentu saja mahal.” (Rusdi Mathari). Demikian terbaca di buku “Seperti Roda Berputar: Catatan di Rumah Sakit.” Buku merangkum catatan Rusdi Mathari yang menderita kanker saat-saat menjalani perawatan dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain. Sebenarnya Rusdi Mathari pengin menulis novel tentang sakit yang ia derita dan bagaimana ia mengupayakan kesembuhan dengan menjalani rangkaian pengobatan secara runtut tahap demi tahap. Dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain silih berganti, ditangani dokter berbagai spesialis yang berkaitan dengan sakit kankernya. Malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih. Rusdi Mathari meninggal di Jumat pagi, 2 Maret 2018. Novel yang ceritanya ia bayangkan akan demikian kompleksitas sekaligus melankolis tidak terwujud. “Seperti Roda Berputar” hanyalah memuat sebagian catatan di rumah sakit yang sempat ia tulis dan terbit di Mojok.co. Pemerintah menghapus kelas 1,...