Langsung ke konten utama

Sego Tempong Negoro

Jadi juga kulineran di sini

Akhirnya jadi juga kulineran di Sego Tempong Negoro milik Vicky Nitinegoro. Mak jauhnya dari Kemang ke Jagakarsa. Saya berseloroh ke istri, "Makan jauh-jauh ke sini, pulang nyampe hotel lapar lagi." Istri ketawa ngakak mendengarnya.

Kendati digoda kantuk kena siram ac grab car, saya paksakan melek agar tahu ke mana saja lanu arah perjalanan. Lewat Ciganjur, bonbin Ragunan, dll. Wah, di Jagakarsa ini kan rumah kediaman Gus Dur. Kalau gak salah Ibu Mega juga tinggal di sini.

Hari ini May Day, "hari raya" para buruh. Agar tidak tertinggal bus, dari Kemang ke Gambir mesti agak dipercepat. Pasti banyak komunitas buruh yang akan berdemo, menghambat laju perjalanan. Pusat demo biasanya seputar Monas.

Seperti dibincangkan di kasisolusi, sego tempong negoro memang enak. Sambal tempong yang nyut menggigit lidah, bikin saya kepedasan. Waktu makan sego tempong di tempat aslinya --Banyuwangi sana, sambalnya tidak sepedas di negoro.

Maka, ketika nyoba yang di negoro, kendati rasa pedas sambalnya sudah disinggung Deriyansha di siniar, tak urung saya tetap terperanjat. Luar biasa pedas, luar biasa enak. Jadi, wajarlah Deri sampai habis dua besek saking nikmat tiada tara.

Volume nasi yang disajikan sama kayak ukuran nasi ayam geprek pinggir jalan. Sekilas sebelum makan menduga bakal nggak kenyang. Istri sudah kasih kode untuk pesan lagi dibawa ke hotel. Dipikirkan sambil makan, baru ketahuan kenyang apa nggak.

Ternyata setelah mulai menyantapnya, perlahan masuk ke lambung, sedikit-sedikit eh jadi bukit. Selesai makan kemudian rasa pedas dihibur dengan teh manis, tambah padat nasi di usus setelah tersiram air. Gak jadi pesan dibawa pulang ke hotel.

Komentar anak ragil, "Sesuailah meski jauh, gak mengecewakan." Saya dan istri lalu membanding-bandingkan dengan bebek yang kami coba di Bebek Sinjay di Madura dan Bebek Carok di Kemang, bebek  Tempong Negoro tak kalah bersaing soal rasa.

Tentu saja. Kreator Bebek Carok dan Sego Tempong itu satu orangnya, yaitu King Abdi. Di tangan chef yang sama, apa pun nama masakannya asalkan bahan-bahannya sama, tentu rasanya takkan lari ke mana. Apalagi King Abdi chef jebolan "Master Chef."


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kursi Roda Ibu Ani

Kursi roda Ibu Ani dan kesetiaan Pak SBY menungguinya di rumah sakit. Bagaimana bisa melahirkan novel yang menceritakan perjuangan penyintas kanker seperti di buku “Seperti Roda Berputar” tanpa mengikuti proses dari mula hingga kini? Pertanyaan itu yang bersarang di pikiranku. Sewaktu mudik ke Pacitan 21 Mei hingga 3 Juni 2024, kami mengeksplor Museum dan Galeri SBY-ANI. Satu foto memperlihatkan kesetiaan Pak SBY menunggui Ibu Ani di National University Hospital Singapura. Foto Ibu Ani duduk di kursi roda sementara Pak SBY duduk di tepi hospital bed yang biasa Ibu Ani tiduri selama dirawat. Kaki Pak SBY menjuntai. Foto menggambarkan keduanya berhadap-hadapan sambil berbincang akrab. Saya sebenarnya penasaran, apakah Pak SBY menulis buku tentang masa-masa Ibu Ani dirawat hingga wafat. Seperti yang dilakukan Pak BJ Habibie, pasca-meninggalnya Ibu Ainun Habibie, Pak Habibie dilanda demam rindu. Guna memadamkan kerinduan kepada Ibu Ainun itu, Pak Habibie mulai menuangkan perasaan...

Sastra Jalan-jalan

Siang baru saja melanjutkan perjalanan menuju barat, setelah istirahat sejenak di waktu zuhur, yang ditandai Matahari tepat di atas kepalanya. Tak lama sekira pukul 14:12 Kakang Paket datang mengantarkan kiriman buku dari Taman Inspirasi Sastra Indonesia. Komunitas sastra disingkat TISI pimpinan Bang Octavianus Masheka, ini baru saja usai merampungkan proses produksi dan terbitnya buku antologi “Bahasa Ibu, Bahasa Darahku” yang merupakan puisi bahasa Indonesia dan bahasa daerah masing-masing penulisnya. Buku-buku yang joss tenan Ada 100 orang penulis puisi dwi bahasa yang terhimpun di dalam buku bersampul merah menyala dengan gambar sampul siluet wajah Ibu yang di wajah, leher, dan dadanya dihiasi taburan wajah penulis puisi yang sengaja di- crop tertinggal bagian dada dan kepala saja. Sebelum buku “Bahasa Ibu, Bahasa Darahku” terlebih dahulu tiba di rumah buku “Zamrud” yaitu antologi puisi Dari Negeri Poci seri ke-15 yang saat datang kebetulan saya sedang tidak berada di rumah ...

Jangan Sakit Deh

“Jangan pernah sakit. Teruslah sehat dan berbahagia. Sakit itu sepi, menyakitkan, dan tentu saja mahal.” (Rusdi Mathari). Demikian terbaca di buku “Seperti Roda Berputar: Catatan di Rumah Sakit.” Buku merangkum catatan Rusdi Mathari yang menderita kanker saat-saat menjalani perawatan dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain. Sebenarnya Rusdi Mathari pengin menulis novel tentang sakit yang ia derita dan bagaimana ia mengupayakan kesembuhan dengan menjalani rangkaian pengobatan secara runtut tahap demi tahap. Dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain silih berganti, ditangani dokter berbagai spesialis yang berkaitan dengan sakit kankernya. Malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih. Rusdi Mathari meninggal di Jumat pagi, 2 Maret 2018. Novel yang ceritanya ia bayangkan akan demikian kompleksitas sekaligus melankolis tidak terwujud. “Seperti Roda Berputar” hanyalah memuat sebagian catatan di rumah sakit yang sempat ia tulis dan terbit di Mojok.co. Pemerintah menghapus kelas 1,...