Langsung ke konten utama

Aplikator Jodoh

Halal Pair, salah satu aplikasi jodoh, periksa App Store - Apple.

“Cari Jodoh Memang Sulit.” Judul feature Kompas, Minggu, 4 Mei 2025, menggelitik mata saya ketika membaca versi digital pada platform Kompas.id. Saya tidak bisa mengakses untuk membacanya karena itu web versi berlangganan, beda dengan Kompas.com yang bisa dibaca secara gratis. Buat menebus rasa penasaran, saya pergi ke agen koran langganan di dekat Pasar Tamin.

Saya tanya masih ada Kompas kemarin, Alhamdulillah masih ada satu eksemplar. Saya dulu langganan khusus untuk hari Sabtu dan Minggu. Ketika hal itu saya singgung, si ibu pemilik agency berkata, “Iya, pikirku ke mana ini si Bapak, kok berhenti berlangganan.” Saya beli juga yang terbitan hari Senin. Ketika saya keluarkan uang 10K dua lembar, kata si Ibu sekarang harganya 12K.

Terakhir saat berlangganan itu harga Kompas 6,5K. Harga sekarang jika 24K per minggu lebih pilih langgana versi digital dong. Gencar tawaran harga promo 50K per bulan bisa mengakses setiap hari. Tapi, entah kenapa saya belum juga mengeksekusi berlangganan. Barangkali faktor mindset saya yang lebih senang membaca koran fisik ketimbang melalui aplikasi di smart phone.

Bisa membawa pulang koran yang ada feature itu, tertebus deh rasa penasaran. Terbaca di feature itu, ada 8 miliar orang di muka Bumi saat ini, tetapi menemukan satu orang untuk disebut jodoh bukan berarti perkara mudah. Membuat keputusan menjadi makin sulit. Mencari pasangan di era ini –yang mestinya dimudahkan teknologi– jadi perjalanan berliku yang penuh harap.

Minggu, 27 April 2025 sore, ada 20 pasangan lajang dipertemukan oleh sebuah aplikasi pernikahan dari Inggris untuk Muslim. Selama setahun ini perwakilan aplikator itu di Indonesia rutin menggelar pertemuan luring untuk para lajang pengguna aplikasi ‘pencari jodoh’ tersebut. Pertemuan yang ditaja itu niatnya untuk meluaskan pertemanan, syukur-syukur bila ada yang menemukan jodoh.

“Pengguna aplikasi difasilitasi agar bisa berkenalan dengan orang baru sembari belajar hal baru, syukur-syukur jika bertemu jodoh,” kata Adisti Anggayasti, Marketing Specialist Lead Muzz Indonesia. Dari total pengguna, sebanyak 4,61 persen berhasil menikah. “Ada 13 juta pengguna Muzz secara global. Sebanyak 600 di antaranya pasangan yang berhasil menikah,” imbuh Adisti.

Di era AI saat ini orang cari jodoh tidak lagi dibantu makcomblang, tapi memanfaatkan bantuan aplikator jodoh. Hasilnya lebih bisa diandalkan karena dibantu oleh tim psikologi yang akan membimbing bagaimana caranya menyamakan persepsi tentang pernikahan. Mulai dari tujuan pernikahan sampai problem solving bila di tengah jalan menemukan rintangan yang akan mengganggu.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kursi Roda Ibu Ani

Kursi roda Ibu Ani dan kesetiaan Pak SBY menungguinya di rumah sakit. Bagaimana bisa melahirkan novel yang menceritakan perjuangan penyintas kanker seperti di buku “Seperti Roda Berputar” tanpa mengikuti proses dari mula hingga kini? Pertanyaan itu yang bersarang di pikiranku. Sewaktu mudik ke Pacitan 21 Mei hingga 3 Juni 2024, kami mengeksplor Museum dan Galeri SBY-ANI. Satu foto memperlihatkan kesetiaan Pak SBY menunggui Ibu Ani di National University Hospital Singapura. Foto Ibu Ani duduk di kursi roda sementara Pak SBY duduk di tepi hospital bed yang biasa Ibu Ani tiduri selama dirawat. Kaki Pak SBY menjuntai. Foto menggambarkan keduanya berhadap-hadapan sambil berbincang akrab. Saya sebenarnya penasaran, apakah Pak SBY menulis buku tentang masa-masa Ibu Ani dirawat hingga wafat. Seperti yang dilakukan Pak BJ Habibie, pasca-meninggalnya Ibu Ainun Habibie, Pak Habibie dilanda demam rindu. Guna memadamkan kerinduan kepada Ibu Ainun itu, Pak Habibie mulai menuangkan perasaan...

Sastra Jalan-jalan

Siang baru saja melanjutkan perjalanan menuju barat, setelah istirahat sejenak di waktu zuhur, yang ditandai Matahari tepat di atas kepalanya. Tak lama sekira pukul 14:12 Kakang Paket datang mengantarkan kiriman buku dari Taman Inspirasi Sastra Indonesia. Komunitas sastra disingkat TISI pimpinan Bang Octavianus Masheka, ini baru saja usai merampungkan proses produksi dan terbitnya buku antologi “Bahasa Ibu, Bahasa Darahku” yang merupakan puisi bahasa Indonesia dan bahasa daerah masing-masing penulisnya. Buku-buku yang joss tenan Ada 100 orang penulis puisi dwi bahasa yang terhimpun di dalam buku bersampul merah menyala dengan gambar sampul siluet wajah Ibu yang di wajah, leher, dan dadanya dihiasi taburan wajah penulis puisi yang sengaja di- crop tertinggal bagian dada dan kepala saja. Sebelum buku “Bahasa Ibu, Bahasa Darahku” terlebih dahulu tiba di rumah buku “Zamrud” yaitu antologi puisi Dari Negeri Poci seri ke-15 yang saat datang kebetulan saya sedang tidak berada di rumah ...

Jangan Sakit Deh

“Jangan pernah sakit. Teruslah sehat dan berbahagia. Sakit itu sepi, menyakitkan, dan tentu saja mahal.” (Rusdi Mathari). Demikian terbaca di buku “Seperti Roda Berputar: Catatan di Rumah Sakit.” Buku merangkum catatan Rusdi Mathari yang menderita kanker saat-saat menjalani perawatan dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain. Sebenarnya Rusdi Mathari pengin menulis novel tentang sakit yang ia derita dan bagaimana ia mengupayakan kesembuhan dengan menjalani rangkaian pengobatan secara runtut tahap demi tahap. Dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain silih berganti, ditangani dokter berbagai spesialis yang berkaitan dengan sakit kankernya. Malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih. Rusdi Mathari meninggal di Jumat pagi, 2 Maret 2018. Novel yang ceritanya ia bayangkan akan demikian kompleksitas sekaligus melankolis tidak terwujud. “Seperti Roda Berputar” hanyalah memuat sebagian catatan di rumah sakit yang sempat ia tulis dan terbit di Mojok.co. Pemerintah menghapus kelas 1,...