![]() |
| Aktivis 98 Bandung dan Jakarta berkumpul di Gedung Sate, Bandung dalam memperingati 27 tahun reformasi. Bandung, 21 Mei 2025. (gambar: strategi.id/Bobby san) |
Pada hari ini, 27 tahun lalu, Jendral Besar Soeharto menyatakan berhenti sebagai Presiden RI atas desakan beberapa tokoh, di antaranya Emha Ainun Nadjib, Nurcholis Madjid, dll. setelah gerakan mahasiswa menuntut dilakukan reformasi tak terbendung, dengan puncak didudukinya Gedung DPR/MPR oleh elemen mahasiswa dari berbagai universitas di Jakarta dan juga luar Jakarta.
Beberapa tokoh yang dikomandoi Amien Rais --yang kemudian membuatnya dijuluki Bapak Reformasi-- mendesak Soeharto untuk mundur sebagai presiden. Setelah didesak Harmoko (Ketua DPR), Soeharto pun menyerah lalu menyampaikan pidato. Namun, bukan mundur atau meletakkan jabatan yang jadi narasi dalam pidatonya, melainkan berhenti. Dengan tenang ia mengatakan, "Saya menyatakan berhenti sebagai presiden Republik Indonesia terhitung mulai hari ini."
Pagi menjelang siang pada Kamis (21 Mei 1998) saat Presiden Soeharto menyatakan berhenti itu, saya baru mulai menunggu rumah di BKP lebih kurang 2 bulan. Listrik baru terpasang, air PDAM sedang menunggu proses. Tak ada sarana informasi yang bisa membuat saya mengakses kabar bahwa Soeharto berhenti sebagai presiden pada hari itu. Saya baru tahu setelah sampai di kantor Jl. Sultan Agung, pada sore harinya.
Ada teman yang mencukur gundul rambutnya sebagai ungkapan syukur atas mundurnya Soeharto sebagai presiden. Tindakan sedikit absurd (hahaha... apa urusannya). Saya agak malu ketika mengaku nggak tahu. "Lah, emang Bapak nggak dengar berita?" tanya mereka. Cemmana saya mau dengar berita, radio transistor 2 band pun saya tak punya. Ada radio tape mini compo merk SONY untuk hiburan anak-anak di Pugung Penengahan, Pesisir Utara (kala itu masih Lampung Barat) yang ikut ibunya mengajar di sana.
Malam itu wartawan TAMTAMA (sebagian masih magang, ecak-ecak nak jadi wartawan macam Zahdi Basran & co) berjibaku sibuk mengetik berita, para redaktur menunggu untuk editing. Kami di ruang pracetak, ada yang mulai mendesain tata letak berita untuk desk hiburan yang redakturnya Aan Solihan (almarhum) dan desk Opini yang redakturnya Naim Emel Prahana. Redaktur Politik, Ekonomi, Kriminal, Daerah, Olahraga, dll. sigap meracik menu terbaik tuk suguhan TAMTAMA yang akan terbit esok pagi.
Semua suguhan koran TAMTAMA yang tersaji di pagi esoknya, tak lepas dari kerja tekun dan teliti si Mbak Rumiatun yang memegang jabatan tertinggi sebagai korektor tulisan typo dan kesalahan kapsi (caption) foto. Betapa dia suka terkantuk-kantuk menunggu hasil print out A3 wajah koran untuk dia koreksi/coret-coret sebelum di-print ke kalkir dan di-mounting di meja montage, lalu dikirim ke percetakan untuk di-plated dan dipasang di mesin cetak lantas jadi koran.
Koran harian berwarna pertama di Lampung (tagline yang kami banggakan), itu laku keras di pasaran. Membuat Lampung Post sedikit kelimpungan. Apalagi kami (arek-arek pracetak dan percetakan) ikut terjun langsung ke jalanan, jadi pengecer koran di Terminal Rajabasa. Bawa 25 eksemplar dengan harga 3000. 2000 setor Siti Komariah/Kokom (adm. pemasaran) dan 1000 masuk kantong. Arek-arek semringah dapat seseran 25000 ripis saban hari dari jualan koran.
Sampai-sampai Heru Chandra Nugraha, arek Suroboyo yang dikirim Jawa Pos untuk jadi pracetak berseloroh, "Wah, nek ngene leren ae dadi pracetak." Artinya, di masa itu, krisis moneter (krismon) dan awal mulainya terjadi resesi ekonomi membelit nadi rakyat, oleh duwik 25000 ripis hanya dalam waktu 1 jam mutar-mutar keliling terminal (terseram se-Indonesia) jualan koran 25 eksemplar, sungguh luar biasa. Jika ditotal sebulan (hard work), melebihi gaji sebagai pracetak.
Maka, masuk akal belaka, omongan si Heru Chandra Nugraha yang, sekilas terdengar setengah bercanda, tapi setengah sisanya benar banget. Gaji pracetak yang (ah... malu ngomong) jauh njomplang dibanding hasil jual koran 25 eksemplar per hari selama sebulan. Dan, uniknya, karena naik Damri ke terminal disambi jualan koran, kondektur bus rada sungkan menarik bayaran. Jadi, pas pulang ke mess baru bayar.
Hari ini, setelah 27 tahun reformasi terhanyut masa lalu, yang terjadi "repot nasi" karena harga beras dan sembako naik melulu. Tadi pagi di televisi saya lihat para pencari kerja menyerbu loker di Ternate (Maluku Utara). Ada yang bawa balita. Mesakke Bangsaku. Tiap kali ada job fair, akan disesaki kerumunan job seeker. Mereka barisan korban layoff dan fresh graduate yang lelah memanggul nasib sebagai unemployment.
![]() |
| Para pencari kerja di Ternate, Maluku Utara, membludak memperebutkan peluang kerja, ada yang bawa balita. (CNNIndonesia) |
Simpanlah kenangan dalam bagasi ingatan. Mungkin saat itu, belum sepenuhnya Anda pahami, buat apa. Tapi yakinlah, suatu waktu kelak, di masa mendatang, akan jadi bahan cerita yang menarik. Atau tulislah di blog pribadi lalu lupakan. Ketika tiba masanya Anda terpikirkan untuk mengenangnya, buka link blog itu dan bacalah, Anda akan menemukan deja vu. Di situ Anda baru tersadar, oh, ternyata ini manfaatnya.



Komentar
Posting Komentar