Langsung ke konten utama

Momen Mengharu Biru

Ilustrasi (gambar: IG Forum TBM)

Dua hari lalu tahlilan 40 hari Effendi disusul tadi malam tahlilan 7 hari Edi. Kendati ditingkah hujan sejak Magrib hingga selepas Isya, namun tak mengurangi antusiasme bapak-bapak jemaah masjid untuk hadir. Demikian juga ibu-ibu perumahan dan majlis taklim. Di bawah ricih gerimis, doa bagi Edi dilangitkan. Momen mengharu biru.

Setelah tepat di pukul 9:17 kemarin pagi saya larungkan tiga puisi ke alamat e-mail yang diterakan di flyer nubar antologi Peace Poet, pada pukul 9:45 saya dimasukkan WAG. Saya periksa, 100 orang tergabung dalam WAG termasuk 3 admin. Dari 2 admin di WAG ini, 1 merupakan admin di nubar bertema “Pagar Laut.” Ibu Tuti, yang habis kecelakaan.

1 adalah admin nubar bertema “Si Binatang Jalang” yang waktu malam puncak perayaan Hari Puisi Nasional mendampingi pembacaan “Deklarasi Kembali Hari Puisi Nasional” di Teater Kecil Taman Ismail Marzuki. Sebuah momen mengharu biru (juga) ketika saya dipanggil naik panggung untuk menerima secara simbolis buku “Si Binatang Jalang.”

Momen mengharu biru (lainnya) adalah ketika seorang ibu yang dahulu merupakan warga Blok P lalu pindah entah ke mana berkata, “Ah, nyesal juga saya pindah dari sini. Di sini warga pada kompak banget, guyub rukun membantu sahibul musibah.” Nah, sebenarnya nggak musibah doang. Jika ada hajat mantu, ibu-ibu hebring banget nyanyi joget-joget.

Pengumuman hasil kurasi puisi Buitenzorg bertema Bogor, masih belum muncul hingga pagi ini. Ini juga momen mengharu biru bagi para peserta nubar. Riuh di WAG komen mereka. Ada yang menulis komen, “Tetaplah Putus Asa Jangan Semangat” dan komen sarkas lainnya. Ada yang menyemangati, hal sebaliknya, menyuruh bersabar.

Yang menyuruh bersabar, alasannya karena masih ada tiga even lagi yang bisa diikuti dan barangkali saja seandainya gak lolos di even Buitenzorg bisa ketiban bejo di even lainnya itu. Tiga even yang (bisa) membuka peluang menambah buku antologi itu, sangat mungkin akan menghadirkan momen mengharu biru lainnya. Teruslah menggali inspirasi.

Dari tiga even yang dijadikan kawan untuk menyemangati itu, tinggal satu even yang belum saya buat puisinya. Deadline masih akhir Juni mendatang. Masih sempat Lebaran Haji dulu kita. Sebelumnya, puasa Arafah dulu ngalap berkah pahala. Persembahkan hewan kurban dulu sebelum korban perasaan karena nubar puisi gak lolos kurasi.

Nah, Iduladha dan berkurban (sapi atau kambing) adalah momen penting (bukan mengharu biru) sebagai ibrah meneladani ketakwaan Nabi Ibrahim dan keikhlasan Nabi Ismail dalam menaati perintah Allah SWT. Yang berangkat menunaikan ibadah haji, selamat jalan. Mudah-mudahan sehat walafiat pergi dan pulang, jadi haji yang mabrur.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kursi Roda Ibu Ani

Kursi roda Ibu Ani dan kesetiaan Pak SBY menungguinya di rumah sakit. Bagaimana bisa melahirkan novel yang menceritakan perjuangan penyintas kanker seperti di buku “Seperti Roda Berputar” tanpa mengikuti proses dari mula hingga kini? Pertanyaan itu yang bersarang di pikiranku. Sewaktu mudik ke Pacitan 21 Mei hingga 3 Juni 2024, kami mengeksplor Museum dan Galeri SBY-ANI. Satu foto memperlihatkan kesetiaan Pak SBY menunggui Ibu Ani di National University Hospital Singapura. Foto Ibu Ani duduk di kursi roda sementara Pak SBY duduk di tepi hospital bed yang biasa Ibu Ani tiduri selama dirawat. Kaki Pak SBY menjuntai. Foto menggambarkan keduanya berhadap-hadapan sambil berbincang akrab. Saya sebenarnya penasaran, apakah Pak SBY menulis buku tentang masa-masa Ibu Ani dirawat hingga wafat. Seperti yang dilakukan Pak BJ Habibie, pasca-meninggalnya Ibu Ainun Habibie, Pak Habibie dilanda demam rindu. Guna memadamkan kerinduan kepada Ibu Ainun itu, Pak Habibie mulai menuangkan perasaan...

Sastra Jalan-jalan

Siang baru saja melanjutkan perjalanan menuju barat, setelah istirahat sejenak di waktu zuhur, yang ditandai Matahari tepat di atas kepalanya. Tak lama sekira pukul 14:12 Kakang Paket datang mengantarkan kiriman buku dari Taman Inspirasi Sastra Indonesia. Komunitas sastra disingkat TISI pimpinan Bang Octavianus Masheka, ini baru saja usai merampungkan proses produksi dan terbitnya buku antologi “Bahasa Ibu, Bahasa Darahku” yang merupakan puisi bahasa Indonesia dan bahasa daerah masing-masing penulisnya. Buku-buku yang joss tenan Ada 100 orang penulis puisi dwi bahasa yang terhimpun di dalam buku bersampul merah menyala dengan gambar sampul siluet wajah Ibu yang di wajah, leher, dan dadanya dihiasi taburan wajah penulis puisi yang sengaja di- crop tertinggal bagian dada dan kepala saja. Sebelum buku “Bahasa Ibu, Bahasa Darahku” terlebih dahulu tiba di rumah buku “Zamrud” yaitu antologi puisi Dari Negeri Poci seri ke-15 yang saat datang kebetulan saya sedang tidak berada di rumah ...

Jangan Sakit Deh

“Jangan pernah sakit. Teruslah sehat dan berbahagia. Sakit itu sepi, menyakitkan, dan tentu saja mahal.” (Rusdi Mathari). Demikian terbaca di buku “Seperti Roda Berputar: Catatan di Rumah Sakit.” Buku merangkum catatan Rusdi Mathari yang menderita kanker saat-saat menjalani perawatan dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain. Sebenarnya Rusdi Mathari pengin menulis novel tentang sakit yang ia derita dan bagaimana ia mengupayakan kesembuhan dengan menjalani rangkaian pengobatan secara runtut tahap demi tahap. Dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain silih berganti, ditangani dokter berbagai spesialis yang berkaitan dengan sakit kankernya. Malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih. Rusdi Mathari meninggal di Jumat pagi, 2 Maret 2018. Novel yang ceritanya ia bayangkan akan demikian kompleksitas sekaligus melankolis tidak terwujud. “Seperti Roda Berputar” hanyalah memuat sebagian catatan di rumah sakit yang sempat ia tulis dan terbit di Mojok.co. Pemerintah menghapus kelas 1,...