Langsung ke konten utama

Dia Sayang Padamu, Edi

Prosesi pemakaman almarhum Edi di Kelurahan Surabaya, Kedaton. (Rabu, 7/04/2025)

Hanya tiga minggu. Ya, betapa singkat waktu, betapa cepat maut mematut. Pada tahlilan tujuh hari almarhum Effendi, ia masih
semringah pulang menenteng nasi kotak, tawanya yang tipis mengembang dari bibirnya. Badannya memang padat berisi. Karena itu, kolesterolnya tinggi, tensi darah selalu tinggi, jadi pemicu ia stroke.

Ketika jatuh terkulai dan dibawa ke rumah sakit, keesokan harinya ia sudah masuk ICU. Ketika kami rombongan bapak-bapak menengok, kebetulan bakda Isya (di luar jam besuk) otomatis gak bisa masuk ICU. Hanya ngobrol dengan bininya di ruang tunggu keluarga pasien. Beruntung ibu-ibu bisa masuk dan masih dikenalinya satu-satu.

Ketika istrinya memperkenalkan istri saya, ia berkata, “Iya, dia ini yang namanya ada di dalam Al-Quran.” Nah, itu ia dalam kondisi sadar atau gak, wallahu’alam. Karena kenapa ia dirawat intensif di ruang ICU? Karena pembuluh darah di otaknya pecah, maka ketika masih bisa menyinggung perihal nama di Al-Quran itu, subhanallah.

Selasa malam sekira pkl 23 mengembuskan napas terakhir di ICU RSUD Abdul Moeloek dan jenazahnya disemayamkan di rumah ibunya di Kelurahan Surabaya, Kedaton. Dimakamkan pun di sana, tidak jauh dari rumah tempatnya lahir dahulu. Kami melayat ke sana, rumahnya yang di BKP sementara ditinggal, titip tetangga.

Tapi, atas guyub rukun tetangga, kendati rumahnya tinggal, kami tetap mengadakan tahlilan untuk almarhum bakda Isya. Kebetulan ada kakak sepupu istrinya di RT sebelah. Kakak sepupunya itulah yang menjadi tuan rumah menggantikan sahibul musibah. Sementara di kediaman ibunya tahlilan dilaksanakan bakda Magrib.

Di ingatan saya terlintas wajah semringah dan tawa tipis yang ia kembangkan di malam bakda tahlilan tujuh hari almarhum Effendi. Wajah semringah dan tawa yang menyiratkan tak ada beban rasa yang dipikulnya. Artinya, sekilas saya lihat ia sehat-sehat saja. Tapi, ketika ia jatuh terkulai diserang stroke, berarti ada yang tersembunyi.

Kata istrinya, ia memang ngeyel bila disuruh periksa kesehatan. Padahal, mestinya harus rutin memeriksakan tekanan darah dan minum obat penurun darah tinggi. Bekerja sebagai driver ojol berisiko memengaruhi kesehatan terutama tensi darah bila terlalu memorsir diri. Jelang Lebaran, kata istrinya, ia gas poll cari THR untuk anaknya.

Qodarullah… usia siapa yang tahu. Kullu nafsin dzaiqotul maut. Setiap yang berjiwa akan merasakan mati… Usia bukan penentu mati, sakit juga bukan penyebab mati. Mati adalah rahasia yang tak terselami. Kapan dan di mana seseorang akan mati, itu rahasia Ilahi. Selamat jalan, Edi. Allah Maha Penyayang, Dia sayang padamu, Edi.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kursi Roda Ibu Ani

Kursi roda Ibu Ani dan kesetiaan Pak SBY menungguinya di rumah sakit. Bagaimana bisa melahirkan novel yang menceritakan perjuangan penyintas kanker seperti di buku “Seperti Roda Berputar” tanpa mengikuti proses dari mula hingga kini? Pertanyaan itu yang bersarang di pikiranku. Sewaktu mudik ke Pacitan 21 Mei hingga 3 Juni 2024, kami mengeksplor Museum dan Galeri SBY-ANI. Satu foto memperlihatkan kesetiaan Pak SBY menunggui Ibu Ani di National University Hospital Singapura. Foto Ibu Ani duduk di kursi roda sementara Pak SBY duduk di tepi hospital bed yang biasa Ibu Ani tiduri selama dirawat. Kaki Pak SBY menjuntai. Foto menggambarkan keduanya berhadap-hadapan sambil berbincang akrab. Saya sebenarnya penasaran, apakah Pak SBY menulis buku tentang masa-masa Ibu Ani dirawat hingga wafat. Seperti yang dilakukan Pak BJ Habibie, pasca-meninggalnya Ibu Ainun Habibie, Pak Habibie dilanda demam rindu. Guna memadamkan kerinduan kepada Ibu Ainun itu, Pak Habibie mulai menuangkan perasaan...

Sastra Jalan-jalan

Siang baru saja melanjutkan perjalanan menuju barat, setelah istirahat sejenak di waktu zuhur, yang ditandai Matahari tepat di atas kepalanya. Tak lama sekira pukul 14:12 Kakang Paket datang mengantarkan kiriman buku dari Taman Inspirasi Sastra Indonesia. Komunitas sastra disingkat TISI pimpinan Bang Octavianus Masheka, ini baru saja usai merampungkan proses produksi dan terbitnya buku antologi “Bahasa Ibu, Bahasa Darahku” yang merupakan puisi bahasa Indonesia dan bahasa daerah masing-masing penulisnya. Buku-buku yang joss tenan Ada 100 orang penulis puisi dwi bahasa yang terhimpun di dalam buku bersampul merah menyala dengan gambar sampul siluet wajah Ibu yang di wajah, leher, dan dadanya dihiasi taburan wajah penulis puisi yang sengaja di- crop tertinggal bagian dada dan kepala saja. Sebelum buku “Bahasa Ibu, Bahasa Darahku” terlebih dahulu tiba di rumah buku “Zamrud” yaitu antologi puisi Dari Negeri Poci seri ke-15 yang saat datang kebetulan saya sedang tidak berada di rumah ...

Jangan Sakit Deh

“Jangan pernah sakit. Teruslah sehat dan berbahagia. Sakit itu sepi, menyakitkan, dan tentu saja mahal.” (Rusdi Mathari). Demikian terbaca di buku “Seperti Roda Berputar: Catatan di Rumah Sakit.” Buku merangkum catatan Rusdi Mathari yang menderita kanker saat-saat menjalani perawatan dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain. Sebenarnya Rusdi Mathari pengin menulis novel tentang sakit yang ia derita dan bagaimana ia mengupayakan kesembuhan dengan menjalani rangkaian pengobatan secara runtut tahap demi tahap. Dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain silih berganti, ditangani dokter berbagai spesialis yang berkaitan dengan sakit kankernya. Malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih. Rusdi Mathari meninggal di Jumat pagi, 2 Maret 2018. Novel yang ceritanya ia bayangkan akan demikian kompleksitas sekaligus melankolis tidak terwujud. “Seperti Roda Berputar” hanyalah memuat sebagian catatan di rumah sakit yang sempat ia tulis dan terbit di Mojok.co. Pemerintah menghapus kelas 1,...