Langsung ke konten utama

Tungga Sekelik

Berjalan sorangan wae sungguh gak enak, apalagi ini bawa tas. Kalau sekadar tas punggung atau ransel bisa dibawa masuk toilet. Tas seperti di foto gak iso.

Beruntung ketemu suami istri dari Cirebon mau ke Lampung, pak suami asli Muaradua dan istrinya orang Minang. Mereka bermukim di Lubuk Linggau.

Sama-sama menunggu pelayanan loket untuk tiket ke Lampung yang baru dibuka pukul 08:00, maka ngobrollah kami seakrab mungkin. Cawa Lampung.

Jadi, ceritanya tungga sekelik di Gambir. Gak cuma basa Lampung, dio jugo baso Palembang. Mantap. "Ranau itu maju," uji dio. "Iyo, Herman Deru," ujiku.

Nah, kan jadinya saya bisa titip tas sewaktu ke toilet sekalian cari sarapan pagi. Di kapal dini hari saya BAB, jadi lapar pagi-pagi. Gak ada pilihan, KFC bae.

Nah, di bus Damri menuju bandara saya buang angin terus. Ada gejala mau BAB lagi, siasatnya segera drop baggage terus cari toilet terdekat. BAB lagi deh.

Lega rasanya, baru naik ke ruang tunggu di lantai atas. Tapi, kenapa lapar lagi. Ada warung soto, pesan semangkuk soto daging, eh kok dikasih soto ayam.

Segelas air putih hangat sebagai penutup, badan jadi hangat. Cabut, masuk lagi jalur pemeriksaan, mbak-mbak pelayan warung menyorongkan tas bekal.

"Pak, tasnya ketinggalan," ujarnya. "Ya, terima kasih," jawabku. Padahal, di dalamnya bukan cuma roti dan air minum, melainkan ada perlengkapan mandi juga.

Alhamdulillah, tas bekal memang saya taruh di bawah meja karena meja buat menyantap soto lumayan minimalis. Alhamdulillah mbak itu tahu tas tersebut.

Memang repot berjalan sorangan wae, mesti ada hal yang luput dari kecermatan. Kalau sekadar tentengan berisi bekal tak apa, kalau ponsel atau kamera, piye.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kursi Roda Ibu Ani

Kursi roda Ibu Ani dan kesetiaan Pak SBY menungguinya di rumah sakit. Bagaimana bisa melahirkan novel yang menceritakan perjuangan penyintas kanker seperti di buku “Seperti Roda Berputar” tanpa mengikuti proses dari mula hingga kini? Pertanyaan itu yang bersarang di pikiranku. Sewaktu mudik ke Pacitan 21 Mei hingga 3 Juni 2024, kami mengeksplor Museum dan Galeri SBY-ANI. Satu foto memperlihatkan kesetiaan Pak SBY menunggui Ibu Ani di National University Hospital Singapura. Foto Ibu Ani duduk di kursi roda sementara Pak SBY duduk di tepi hospital bed yang biasa Ibu Ani tiduri selama dirawat. Kaki Pak SBY menjuntai. Foto menggambarkan keduanya berhadap-hadapan sambil berbincang akrab. Saya sebenarnya penasaran, apakah Pak SBY menulis buku tentang masa-masa Ibu Ani dirawat hingga wafat. Seperti yang dilakukan Pak BJ Habibie, pasca-meninggalnya Ibu Ainun Habibie, Pak Habibie dilanda demam rindu. Guna memadamkan kerinduan kepada Ibu Ainun itu, Pak Habibie mulai menuangkan perasaan...

Sastra Jalan-jalan

Siang baru saja melanjutkan perjalanan menuju barat, setelah istirahat sejenak di waktu zuhur, yang ditandai Matahari tepat di atas kepalanya. Tak lama sekira pukul 14:12 Kakang Paket datang mengantarkan kiriman buku dari Taman Inspirasi Sastra Indonesia. Komunitas sastra disingkat TISI pimpinan Bang Octavianus Masheka, ini baru saja usai merampungkan proses produksi dan terbitnya buku antologi “Bahasa Ibu, Bahasa Darahku” yang merupakan puisi bahasa Indonesia dan bahasa daerah masing-masing penulisnya. Buku-buku yang joss tenan Ada 100 orang penulis puisi dwi bahasa yang terhimpun di dalam buku bersampul merah menyala dengan gambar sampul siluet wajah Ibu yang di wajah, leher, dan dadanya dihiasi taburan wajah penulis puisi yang sengaja di- crop tertinggal bagian dada dan kepala saja. Sebelum buku “Bahasa Ibu, Bahasa Darahku” terlebih dahulu tiba di rumah buku “Zamrud” yaitu antologi puisi Dari Negeri Poci seri ke-15 yang saat datang kebetulan saya sedang tidak berada di rumah ...

Jangan Sakit Deh

“Jangan pernah sakit. Teruslah sehat dan berbahagia. Sakit itu sepi, menyakitkan, dan tentu saja mahal.” (Rusdi Mathari). Demikian terbaca di buku “Seperti Roda Berputar: Catatan di Rumah Sakit.” Buku merangkum catatan Rusdi Mathari yang menderita kanker saat-saat menjalani perawatan dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain. Sebenarnya Rusdi Mathari pengin menulis novel tentang sakit yang ia derita dan bagaimana ia mengupayakan kesembuhan dengan menjalani rangkaian pengobatan secara runtut tahap demi tahap. Dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain silih berganti, ditangani dokter berbagai spesialis yang berkaitan dengan sakit kankernya. Malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih. Rusdi Mathari meninggal di Jumat pagi, 2 Maret 2018. Novel yang ceritanya ia bayangkan akan demikian kompleksitas sekaligus melankolis tidak terwujud. “Seperti Roda Berputar” hanyalah memuat sebagian catatan di rumah sakit yang sempat ia tulis dan terbit di Mojok.co. Pemerintah menghapus kelas 1,...