Langsung ke konten utama

Mampir Ngguyu

Ini tadi kondangan kedua di 2022. Hajat mantu kolega istri. Dihelat di gang depan rumahnya. Simple. Lagu Andahmu nongol.

Hajatan murah yang nggak murah-murah amat, tentu. Tak ada hajatan yang benar-benar murah. Di rumah sekalipun.

Di jalan depan rumah cukup sewa terop dan pernak pernik penghiasnya berikut puade. Katering dan menu pondokan, tentu.

As simple as that.

Bila sewa gedung butuh kocek yang banyak nolnya, merogoh kantong lebih dalam. Menguras tabungan, ada kalanya.

Terus habis pesta, kedua mempelai keluar dari rumah orang tua. Boyongan ke rumah kontrakan, sementara.

Walau tak bulan madu ke mana, gitu. Menjalani hari-hari penuh madu di rumah kontrakan, terasa manis juga.

Senyampang habis dapat saweran dari tetamu undangan, cukuplah buat bekal menata (bakal) keluarga kecil bahagia.

Ada pula pasangan pengantin memutuskan tetap tinggal bersama dengan orang tua. Tinggal di pondok mertua indah, PMI.

Pondok mertua indah itu cuman istilah belaka. Banyak faktor jadi sebab pasangan pengantin tetap tinggal bersama orang tua.

Barangkali karena memang orang tua yang menghendaki agar mempelai berdua tetap membersamai mereka.

Misal, karena salah satu dari mempelai adalah anak ragil di keluarga sehingga tak duperbolehkan keluar dari rumah.

Atau anak sulung yang di pundaknya mau tidak mau dibebani tanggung jawab merawat serta meragati kedua orang tua.

Beban seperti itu tentu wajib dipikul oleh anak. Apalagi kalau orang tua hanya tinggal satu, Ibu atau Ayah, beranjak menua.

Berjodoh dan menikah, kan bukan semata menautkan sepasang mempelai, melainkan menyatukan keluarga kedua belah pihak.

Keluarga yang mungkin berbeda suku, ras, etnis, budaya, agama bahkan bangsa. Menjadi padu padan dan harmonis.

Karena itu, perkara tempat tinggal setelah menikah, misal di pondok mertua indah, bukan hal memalukan. Ojo patek dipikir.

PMI, pada orang tua mempelai lelaki atau  perempuan, sama baiknya. Kasih sayang dan memuliakan, itu yang jadi landasannya.

Apakah rumah kontrakan atau PMI, kan hanya sementara. Tentu pasangan pengantin punya rencana besar untuk masa depan mereka.

Mewujudkan masa depan itu dibutuhkan kolaborasi keduanya menata jalan yang lempang, menyingkirkan onak yang merintangi.

Waktu berjalan, datang masalah bertubi. Suatu keniscayaan yang tak mungkin dimungkiri. Anggap saja mencandai, bukan ngrusuhi.

Sebab hidup yang singkat di dunia fana, apa pun persoalan sangat mungkin terjadi. Menjadi batu uji bagi karakter diri setiap manusia.

Menggelitik rasa kamanungsan, kemanusiaan. Rasa untuk menempatkan diri bermanfaat bagi sesama. Seperti pohon yang berbuah.

Kamanungsan, perikemanusiaan, itulah kunci agar kebecikan, perikebaikan, selalu menyimbur dalam kehidupan kita. Kudu diopeni.

Ya, urip nang dunyo ora mung mampir ngombe. Perlu juga dimaknai sebagai mampir bercanda. Mampir ngguyu. Agar selalu gembira.

Mari ngguyu


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kursi Roda Ibu Ani

Kursi roda Ibu Ani dan kesetiaan Pak SBY menungguinya di rumah sakit. Bagaimana bisa melahirkan novel yang menceritakan perjuangan penyintas kanker seperti di buku “Seperti Roda Berputar” tanpa mengikuti proses dari mula hingga kini? Pertanyaan itu yang bersarang di pikiranku. Sewaktu mudik ke Pacitan 21 Mei hingga 3 Juni 2024, kami mengeksplor Museum dan Galeri SBY-ANI. Satu foto memperlihatkan kesetiaan Pak SBY menunggui Ibu Ani di National University Hospital Singapura. Foto Ibu Ani duduk di kursi roda sementara Pak SBY duduk di tepi hospital bed yang biasa Ibu Ani tiduri selama dirawat. Kaki Pak SBY menjuntai. Foto menggambarkan keduanya berhadap-hadapan sambil berbincang akrab. Saya sebenarnya penasaran, apakah Pak SBY menulis buku tentang masa-masa Ibu Ani dirawat hingga wafat. Seperti yang dilakukan Pak BJ Habibie, pasca-meninggalnya Ibu Ainun Habibie, Pak Habibie dilanda demam rindu. Guna memadamkan kerinduan kepada Ibu Ainun itu, Pak Habibie mulai menuangkan perasaan...

Sastra Jalan-jalan

Siang baru saja melanjutkan perjalanan menuju barat, setelah istirahat sejenak di waktu zuhur, yang ditandai Matahari tepat di atas kepalanya. Tak lama sekira pukul 14:12 Kakang Paket datang mengantarkan kiriman buku dari Taman Inspirasi Sastra Indonesia. Komunitas sastra disingkat TISI pimpinan Bang Octavianus Masheka, ini baru saja usai merampungkan proses produksi dan terbitnya buku antologi “Bahasa Ibu, Bahasa Darahku” yang merupakan puisi bahasa Indonesia dan bahasa daerah masing-masing penulisnya. Buku-buku yang joss tenan Ada 100 orang penulis puisi dwi bahasa yang terhimpun di dalam buku bersampul merah menyala dengan gambar sampul siluet wajah Ibu yang di wajah, leher, dan dadanya dihiasi taburan wajah penulis puisi yang sengaja di- crop tertinggal bagian dada dan kepala saja. Sebelum buku “Bahasa Ibu, Bahasa Darahku” terlebih dahulu tiba di rumah buku “Zamrud” yaitu antologi puisi Dari Negeri Poci seri ke-15 yang saat datang kebetulan saya sedang tidak berada di rumah ...

Jangan Sakit Deh

“Jangan pernah sakit. Teruslah sehat dan berbahagia. Sakit itu sepi, menyakitkan, dan tentu saja mahal.” (Rusdi Mathari). Demikian terbaca di buku “Seperti Roda Berputar: Catatan di Rumah Sakit.” Buku merangkum catatan Rusdi Mathari yang menderita kanker saat-saat menjalani perawatan dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain. Sebenarnya Rusdi Mathari pengin menulis novel tentang sakit yang ia derita dan bagaimana ia mengupayakan kesembuhan dengan menjalani rangkaian pengobatan secara runtut tahap demi tahap. Dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain silih berganti, ditangani dokter berbagai spesialis yang berkaitan dengan sakit kankernya. Malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih. Rusdi Mathari meninggal di Jumat pagi, 2 Maret 2018. Novel yang ceritanya ia bayangkan akan demikian kompleksitas sekaligus melankolis tidak terwujud. “Seperti Roda Berputar” hanyalah memuat sebagian catatan di rumah sakit yang sempat ia tulis dan terbit di Mojok.co. Pemerintah menghapus kelas 1,...