Busyet, Butet


”Kalau ada buku yang dibuat untuk memperingati hari ulang tahun dan kekaryaan Sang Tokoh, mungkin ini salah satu buku terbaik yang pernah dibuat di Indonesia. Terbaik dan tertebal. Terbaik, karena di dalamnya ada tulisan para maestro seni berbagai bidang, yang bertestimoni tentang Pak Butet Kartaredjasa. Justru karena itu, buku ini memiliki dimensi sosial yang luas karena hampir semua tokoh hebat mau tidak mau menceritakan dunia yang mempertautkan mereka dengan Pak Butet. Padahal kita tahu, Pak Butet adalah orang yang berkecimpung dalam beragam medium berkesenian, mulai dari teater (termasuk di dalamnya adalah monolog), film, senirupa, acara televisi, dll.”

Demikian utas di akun Twitter Buku Mojok (@BukuMojok), 7 Januari 2022. Mencermati cover buku saja saya langsung tertarik dan pengin mendapatkannya, tentu. Di batin bertanya, berapa mahar untuk mendapatkannya. Setelah scroll utas tweet di atas, ketemulah perkiraan harga jualnya sekitar Rp300 ribu, sebab tebal buku ini lebih dari 600 halaman. Terang saja orang akan mikir panjaaaang untuk memutuskan membeli apa tidak.

Masih menurut utas @BukuMojok, ”Terbitan pertama buku ini (November 2021), memang tidak diperjualbelikan. Khusus untuk acara ulang tahun ke-60 Pak Butet. Namun, mungkin karena eksposur media, dan testimoni para pembaca awal, membuat buku ini diburu banyak orang. Banyak orang bertanya, di mana bisa membeli buku ini, dan berapa harganya?  Untuk membantu daya beli orang yang menginginkannya, diputuskan ada ’subsidi’.

Cetakan kedua buku ini (Januari 2022), setelah disubsidi Buku Mojok dan Pak Butet, dibandrol harga Rp150 ribu, dibuka pre sale 7—16 Januari dengan harga Rp120 ribu. Buku Mojok hanya mencetak 1000 eksemplar saja, siapa cepat, tentu dia dapat. Ada 14 toko buku online yang melayani penjualannya. Saya pilih Buku Maneka di Jakarta Timur. Berhubung bukunya belum datang dari Jogja, ditawarkan opsi pengiriman langsung dari Jogja. Saya, sih, yes.

Saya tak mau buang-buang waktu. Akad sepakat, cusssssss. Saya transfer mahar plus ongkir tanggal 8 Januari dan mengabarai Buku Maneka esok harinya. Tanggal 13 Januari paket buku saya terima. Busyet, Butet. Buku untuk merayakan ulang tahun ke-60-mu ini luar biasa tebal. Satu setengah kali lebih tebal dari buku persembahan untuk Ashadi Siregar (saat berulang tahun ke-65 sekaligus pensiun sebagai Dosen Ilmu Komunikasi UGM, tahun 2010.

Membaca buku Ashadi Siregar: Penjaga Akal Sehat dari Kampus Biru saja saya terbuncah pencerahan dari berbagai penulis yang pernah terhubung dengannya, apalagi membaca buku Urip Mung Mampir Ngguyu untuk merayakan ulang tahun Butet Kartaredjasa yang tebal dan full color ini. Meminjam tagline Majalah TEMPO; enak dibaca dan perlu, buku Urip Mung Mampir Ngguyu ini juga enak tenan. Apalagi kalau sambil kulineran di Warung Bu Ageng.

Warung Bu Ageng, 20-6-2021 (foto: koleksi pribadi)

Bu Ageng adalah panggilan kesayangan Butet Kartaredjasa terhadap istrinya Rulyani Isfihana. Lalu dijadikan nama warung makan di jalan Tirtodipuran, Jogja. Warung, alih-alih Rumah Makan seperti yang biasa dipakai pedagang menu khas Minang. Warung Bu Ageng dengan bangunan kental arsitektur Jawa, tak ubahnya hunian masyarakat Jawa pada umumnya. Ada sumur seperti galibnya. Yang menarik adalah deretan pigura-pigura foto di dinding.

Wajah-wajah orang yang terekam di pigura-pigura foto itu adalah figur-figur para tokoh kesenian yang sudah almarhum dan almarhumah. Tentu saja yang paling menonjol adalah Bagong Kussudiardja, guru seni tari yang adalah Bapaknya Butet Kertaredjasa. Ada juga foto almarhum Djaduk Ferianto, adiknya Butet. Pimpinan kelompok musik Kua Etnika dan Orkes Keroncong Sinten Remen, ini meninggal karena serangan jantung pada 13 November 2019.

Djaduk Ferianto di masa hidupnya satu paket dengan Butet. Bukan sekadar paket biasa, melainkan paket komplit dalam dunia seni pertunjukan. Djaduk pemusik andal dan Butet pemain teater mumpuni. Dalam setiap penampilan Butet bersama Teater Gandrik, Djaduk mampu menghidupkan suasana melalui musiknya. Komedi satir Sentilan Sentilun yang diperankan Butet dan Slamet Rahardjo di Metro TV, selalu segar bila ditingkahi musiknya Djaduk.

Meski sudah lima keping ring ditanam di jantungnya, dengan dipersembahkannya buku Urip Mung Mampir Ngguyu, ini mudah-mudahan justru akan menambah panjang usia Pak Butet Kartaredjasa. Pascaoperasi syaraf di bagian tulang belakang, ia tampak berangsur pulih meski berjalan masih dipandu alat bantu jalan (kruk). Rindu nonton pertunjukan monolognya yang rasanya tiada duanya. Karena itu, YB Mangunwijaya menjulukinya Raja Monolog.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kursi Roda Ibu Ani

Angin Laut Pantura

Rumah 60 Ribuan