Di Balik Nikmatnya Rokok
Deja Vu Marlboro
Tadi saat membeli air mineral galon di warung langganan, bertemu dua orang remaja mencari rokok Marlboro kretek. Habis, jawab yang punya warung. Dari gelagat mukanya yang saya lihat, sepertinya mereka sudah keliling ke beberapa warung, belum juga mendapatkan.
Saya pertama melihat Marlboro kretek ketika membeli pulsa. Konter tidak melulu menjual pulsa dan pernak-pernik ponsel, tetapi juga menjual beberapa merek rokok. Ketika kali pertama melihat Marlboro kretek itu, ingatan saya melayang jauh sampai ke Malang.
Rokok terakhir yang saya isap saat kuliah di Malang tahun 86—88 adalah Marlboro asli dari Amerika. Sejak pertama mencicipi rokok Kansas (maling punya Bapak) saat SMP, selanjutnya gonta-ganti saat SMA. DJARUM, FILTRA, GG Surya 16, sesekali DJI SAM SOE.
Dahulu memang banyak rokok impor seperti Commodore, Dunhill, Kansas, Diplomat, Camel, COUNTRY, ARDATH, PALL MALL, MUSTANG, LUCKY STRIKE. Yang pernah saya coba Kansas, Commodore, ARDATH, Dunhill, dan akhirnya menyetiai Marlboro.
Saya bukan maniak rokok. Merokok sekadarnya saja, terutama setelah makan. Entah mengapa sehabis makan mulut rasanya kurang sedap makanya butuh merokok. Pernah juga mencicipi Bentoel-Biru milik teman. Kera Ngalam fanatik benar terhadap Bentoel-Biru.
Pernah juga sudah habis empat batang Surya 16 tapi kok belum puas juga. Masih pengin nyambung, akhirnya disudahi dengan DJI SAM SOE, cukup satu batang. Atau kalau tidak kuat nyedot DJI SAM SOE, paling apes DJARUM 76 yang tarikannya sedikit lebih ringan.
Data World Bank (pusdatin.kemkes.go.id), 38 persen penduduk Indonesia merokok. Mendudukkan Indonesia peringkat ketiga di dunia. Ini menarik perhatian produsen rokok dari negara lain. Mereka dirikan pabrik atau bekerja sama dengan pabrik rokok lokal.
Misalnya rokok Esse dari Korea Tomorrow & Global (KT&G), untuk produksi di Indonesia rokok Esse di bawah kendali PT Mandiri Maha Mulia di Pasuruan, Jawa Timur. Di Jawa Timur memang banyak pabrik rokok. Kediri, Tulungagung, Malang, dan Pasuruan.
Marlboro (impor) yang saya isap waktu itu, tentu berbeda dengan Marlboro yang beredar saat ini. Pasalnya, Marlboro yang beredar saat ini diproduksi oleh Phillip Morris International (PMI) yang sudah mendirikan cabang pabriknya di Karawang, Jawa Barat.
Pendirian pabrik rokok di Karawang ini tidak lepas dari diakuisisinya perusahaan rokok HM Sampoerna oleh Phillip Morris International pada tahun 2005. Sejak ada pabriknya di Karawang, keberadaan rokok Marlboro mudah ditemukan di warung-warung.
Uang Bermuka Dua
Masuknya rokok impor sedikit memanjakan konsumen fanatiknya di Indonesia. Bagi konsumen hal itu sebuah keuntungan, namun bagi industri rokok dalam negeri sebuah ancaman. Rokok lokal barang tentu akan merasa tersaingi oleh rokok dari luar negeri.
Untuk melindungi rokok lokal, pemerintah mengambil langkah menaikkan harga cukai rokok impor dengan menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 152/PMK.010/2019 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau, diberlakukan mulai tanggal 1 Januari 2020.
Efektifkah regulasi yang ditetapkan pemerintah? Sayangnya, upaya tersebut masih belum bisa memberikan dampak yang maksimal karena cukai untuk rokok lokal juga ikut terkerek naik. Per 1 Januari 2022 harga rokok naik. Hadiah tahun baru bagi perokok.
Harga rokok naik. Kabar dukakah ini bagi kaum perokok yang kebanyakan masyarakat ekonomi bawah dan ABG umur 12—18 tahun? Barangkali tidak. Selama rokok belum dilarang mereka akan terus merokok. Dan tiap bulan inflasi merambat naik perlahan.
Tingginya konsumsi produk makanan jadi, minuman, rokok, dan tembakau pada tahun 2019 membuat inflasi juga tinggi. Dari rokok saja menyumbang kenaikan inflasi 0,01 persen. Guna menekan kenaikan inflasi itulah, tarif cukai hasil tembakau diterbitkan.
Yup, ”Dilarang Merokok” hanya berlaku di area SPBU. No Smoking dipasang di mana-mana. Di perkantoran, sekolah, kampus, mal, hotel, dan area publik tertentu. Tetapi, di tempat tertentu orang bebas merokok. Di tempat tahlilan atau dalam masjid pun merokok.
Keberadaan Smoking Area di tempat tertentu fasilitas publik, menjadi dewa penolong bagi para pecandu rokok berat. Di mana pun fasilitas publik, ruang yang paling dicari para pecandu rokok adalah Smoking Area. Bila telah mereka temukan, legalah rasanya.
Di Smoking Area, orang dari kelas berbeda berbagi ruang sempit pengap bertirai kabut. Membaur tanpa sekat, atribut apa pun lepas. Sama satu hal, pecandu rokok semua, maniak. Bertukar asap dari bermacam merek rokok. Mereka isap dan embuskan sepenuh ruang.
Mereka perokok ringan dan berat. Sama tanpa pembeda, tiada yang istimewa. Berjas dan berdasi, berkaus dan celana jins. Sama penikmat rokok sejati, pembayar cukai. Berapa tarif cukai, berapa harga rokok, terbeli. Tidak masuk akal? Yah, nyatanya masuk ”anggaran” diakali.
Tak ada perokok yang miskin, tak juga kaya. Perokok yang tak miskin, tak juga kaya. Mayoritas golongan sosial ekonomi rendah. Dalam dompet mereka ada uang bermuka dua, membahagiakan sekaligus mencelakakan. Membeli kenikmatan antara ada dan tiada.
”Simbiosis Mutualisme”
Di balik nikmatnya rokok, ada beberapa penyakit katastropik mengintai perokok aktif. Di antaranya jantung, kanker, gagal ginjal, dan stroke. Penyakit-penyakit tersebut butuh biaya tinggi dalam pengobatannya dan memiliki komplikasi yang dapat mengancam jiwa.
Bila salah satu saja penyakit katastropik diderita perokok, pengobatannya akan membutuhkan biaya yang tinggi. Bila beberapa penyakit diderita bersama sebagai komplikasi, akibatnya akan menjadi pembunuh. Lambat tapi pasti, ujung-ujungnya si perokok akan mati.
Ironisnya, perokok aktif kebanyakan dari kelas ekonomi bawah. Seperti buruh bangunan, pebecak, dan sopir yang bergantung pada penghasilan harian. Atau kalangan anak usia 12—18 tahun yang masih menadahkan tangan ke orang tua untuk mendapat uang jajan.
Kenikmatan semu di balik nikmatnya rokok, memang tidak bisa dijelaskan dengan teori apa pun. Para perokoklah yang bisa merasakan kenikmatan ”antara ada dan tiada” itu, dengan cara mereka sendiri, yaitu nikmati saja. Tidak perlu dijelaskan dengan kata-kata.
Karena tidak perlu dijelaskan dengan kata-kata, barangkali jadi hal mendasar mengapa pesan peringatan pada kemasan rokok, tidak memberi pengaruh berarti dalam mensugesti atau mempersuasi agar perokok berhenti atau minimal membatasi konsumsi rokok.
Pesan peringatan pada kemasan rokok menegaskan, ”Merokok dapat menyebabkan kanker, serangan jantung, impotensi, dan gangguan kehamilan dan janin.” Disertai pula dengan visual akibat langsung dari merokok, berupa paru-paru yang penuh nikotin.
Sayangnya pesan peringatan pada kemasan rokok tak memberi pengaruh berarti. Tingkat konsumsi rokok tinggi. Penderita penyakit katastropik terus bertambah, pengobatannya ditanggung BPJS Kesehatan. Akibat tak kuat menanggung, BPJS defisit anggaran.
Defisit BPJS Kesehatan dari tahun ke tahun, membuat operasional rumah sakit dan fasilitas kesehatan hampir berhenti. Sebagai solusi, Presiden Jokowi menandatangani Perpres tentang pemanfaatan cukai rokok untuk menutup defisit anggaran tersebut.
Rokok yang selama ini divonis sebagai zat berbahaya dan diharamkan fatwa MUI, justru jadi penyelamat nyawa pasien BPJS Kesehatan melalui cukai rokok yang diinjeksikan ke BPJS Kesehatan mampu menggerakkan lagi operasional rumah sakit yang hampir berhenti.
Jadi, antara keduanya (cukai rokok dan BPJS Kesehatan) ada simbiosis mutualisme. Cukai rokok dan hasil tembakau disuntikkan ke BPJS Kesehatan sehingga bangkit dari defisit anggaran. BPJS Kesehatan bisa setor ke rumah sakit sehingga operasionalnya berjalan normal.
Tidak Cukup Betadin
Mengapa BPJS Kesehatan bisa defisit anggaran dari tahun ke tahun? Satu, tidak patuhnya peserta BPJS Kesehatan membayar iuran secara rutin setiap bulan. Dua, tiada kesesuaian antara kelas peserta dan besarnya iuran. Tiga, perubahan pola penyakit di masyarakat.
Subsidi cukai rokok kepada BPJS Kesehatan tidak menyelesaikan masalah secara permanen. Ibarat mengobati luka lecet pascakecelakaan, subsidi cukai rokok hanyalah ibarat Betadin. Luka tusukan benda tajam, untuk menutup kucuran darah tidak cukup Betadin.
Obat mustajab bagi penyakit katastropik adalah dengan tindakan preventif. Jika penyakit itu dipicu rokok, maka tindakan preventifnya adalah berhenti merokok. Obat mujarab bagi defisit anggaran BPJS Kesehatan adalah menaikkan iuran BPJS ke nilai premi yang pas.
Nilai premi yang pas adalah yang besarnya sama dengan nilai sesungguhnya seperti yang dibutuhkan untuk biaya saat berobat ke rumah sakit. Jangan terjadi iuran yang dibayarkan sebesar 200 ribu, sementara saat berobat BPJS Kesehatan menanggung 300 ribu.
Ketidaksesuaian besarnya iuran peserta BPJS Kesehatan dengan iuran yang dibutuhkan BPJS Kesehatan meng-cover biaya pengobatan pasien di rumah sakit, menyebabkan BPJS Kesehatan menderita rugi terus menerus dan akhirnya defisit anggaran.
Di masa pandemi Covid-19 yang tak kunjung usai bahkan kian menjadi-jadi dengan berbagai varian, penyakit katastropik dikategorikan sebagai komorbid bagi pasien Covid-19. Rokok ditengarai sebagai salah satu pemicu kerusakan paru-paru penyintas Covid-19.
Paru-paru yang kadung rusak oleh paparan nikotin rokok, menjadi sebab pasien Covid-19 mengalami sesak napas atau sulit bernapas sama sekali. Untuk mengatasinya harus dibantu dengan ventilator (alat bantu napas) dengan perlakuan khusus di ruang IGD.
Penggunaan ventilator adalah hal yang memiliki risiko, namun bisa tidak-bisa harus dijadikan pilihan jalan agar bisa bertahan hidup. Bisa bertahan hidup dengan bantuan ventilator adalah mukjizat. Faktanya, banyak yang kritis dan akhirnya mati.
Apa pun –jangankan ventilator– pada dasarnya memiliki risiko. Di balik nikmatnya rokok ternyata banyak hal yang akhirnya membuat sengsara. Kena Covid-19 hingga sesak napas bukankah itu risiko di balik nikmatnya rokok yang baru disadari kemudian.
Covid-19 varian Omicron sedang gandrung menyerang. Edan, tho. Biar tak jadi edan, cara menghindarinya dengan segera suntik vaksin Covid-19 bila belum, tetap patuh prokes 5M, meningkatkan kewaspadaan dengan pikiran yang tenang, sedia obat yang bukan sekadar Betadin.
Gitu, deh...
Komentar
Posting Komentar