Patangpuluhan

Tahlil bagi orang yang sudah meninggal dunia, 3 hari (niga), 7 hari (nujuh), 40 hari (patangpuluh), itu adalah budaya. Mayoritas umat muslim di Indonesia dan Malaysia mengadakan tahlil.

Arwah orang yang meninggal dunia masih ada selama 40 hari, itu adalah ungkapan. Ungkapan untuk menggambarkan suasana selama 40 hari itu seolah ia/dia masih ada di sekitar keluarga.

Tidak ada larangan untuk menggelar tahlilan. Pun tidak pula ada anjuran untuk melakukannya. Dalam hal ini ada kontroversi memang, sering terjadi kesalahpahaman dalam menyikapinya.

Ada sebagian mengatakan, karena Rasulullah SAW tidak mengamalkan tidak usah diamalkan. Pendapat lain, apa yang tidak diamalkan Rasulullah SAW tidak harus ditinggalkan.

Kalau berpedomani kepada ajaran Rasulullah SAW yang tidak pernah melakukannya, diambil jalan tengah bagi yang hendak melakukan silahkan, yang tidak mau pun silahkan.

Jalan tengah itulah yang berkembang menjadi budaya di kalangan umat muslim. Bagi warga NU, biasa menggelar tahlilan. Sedangkan warga Muhammadiyah, tahlilan tidak lazim.

Pro kontra tahlilan dan kenduren bagi orang yang meninggal seringkali memicu perdebatan yang tidak produktif. Memunculkan tuduhan sebagai perbuatan bid’ah dan syirik.

Ibunda kami yang wafat di Pacitan 1 Desember (40 hari lalu), di tempat tinggal Mbak yang selama ini merawatnya, hanya ditahlilkan selama dua hari. Hari kedua dianggap niga.

Meski sempat ada tahlilan nujuh hari, namun tidak ada tahlilan patangpuluhan hari. Oleh Mbak disatukan dengan acara persaudaraan haji, yang waktunya di sepuluh hari Ibu wafat.

Tidak runutnya tahlilan itu karena di tempat mereka tinggal itu termasuk tidak umum orang menggelar tahlilan. Artinya, meski Pacitan itu Jawa Timur, nuansa ke-NU-an tidak kental.

Lain halnya daerah Jombang ke timur, nuasa ke-NU-annya begitu kental. Yang namanya tahlilan bagi orang yang meninggal lumrah dilakukan, 3 hari, 7 hari, 40 hari, dan 100 hari.

Bahkan haul bagi orang yang sudah lama meninggal. Misal peringatan 1 tahun, 2 tahun atau sekian tahun kepungkur bagi seorang kiai, sangat umum dilakukan para santri.

Para santri begitu menghormati kiai karena itu bila ada kiai meninggal dunia, para santri akan memanjatkan doa dalam ritual tahlilan. Baca Quran 30 juz atau hanya Surah Ya Sin dan zikir.

Orang Jawa memandang kematian sama dengan kehidupan. Urip iki mung mampir ngombe atau urip iki mung sakdermo nglakoni. Ada juga pandangan nrima ing pandhum.

Cara pandang di atas sejalur lurus dengan keimanan kepada qada dan qadar. Setiap manusia menjalani hidup sesuai garis takdirnya. Baik atau buruk, senang atau susah.

Atau takdir lainnya kudu diterima dengan sikap legawa. Sikap legawa tak lain adalah cerminan sikap nrima ing pandhum, menerima segala karunia Ilahi apa pun bentuknya.

Karena sudah digariskan takdir Ilahi, baik atau buruk membuat manusia memiliki karakter baik sekali atau buruk sekali. Atau seimbang di antara baik banget ataupun buruk banget.

Menyikapi kemungkinan si mayit kebak kalepatan, bermandikan khilaf, salah, dan dosa. Ahli musibah menggelar tahlilan 3 hari, 7 hari, 40 hari, atau 100 hari, untuk mendoakannya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kursi Roda Ibu Ani

Angin Laut Pantura

Rumah 60 Ribuan