Lanskap Media
![]() |
Delapan konglomerat media yang pernah dan masih merajai media cetak, media online, dan televisi di Indonesia. (foto: tirto.id) |
Disitat dari tirto.id, ada delapan konglomerat Indonesia mengisi ceruk bisnis media. Mereka Chairul Tanjung (CT Corp), Hary Tanoesoedibjo (Global Mediacom), Eddy Kusnadi Sariaatmadja (EMTEK), Bakrie (Visi Media Asia), Surya Paloh (Media Group), Jakoeb Oetama (Kompas Gramedia).
Keluarga Riady (Lippo Group) pernah kuasai saham Beritasatu Media Holding, lalu 80 persen saham dilepas kepada Enggartiasto Lukita dan Berita Satu TV bersalin nama menjadi BTV di bawah B-Universe. Dahlan Iskan pernah membesarkan Jawa Pos di bawah JPNN Group menjadi group koran terbesar.
Setelah mundur dari JP, naluri bisnis media dan kultur jurnalisme yang mendarah daging dalam dirinya tak serta merta padam. Dahlan Iskan kembali bergelut lewat Harian Disway dan tunjukkan taring, kembali merangkul media-media yang dulu dinaungi Jawa Pos Group ke dalam disway.id Group.
Menurut Jurnal Dewan Pers (November, 2018), jumlah media massa di Indonesia mencapai 47.000 terdiri media cetak, radio, televisi, dan online. Tahun 2014 ada 2.000 media cetak, namun hanya 567 media yang masuk kategori profesional. Tahun 2015 jumlahnya menyusut jadi 321 media cetak.
Ke 567 media profesional di atas terdiri atas 312 media cetak harian, 173 media cetak mingguan, dan 82 media cetak bulanan. Dicatat juga, jumlah media radio 1.166 dan televisi 394. Pada tahun 2015 media radio menyusut menjadi 674 media sedangkan televisi ada penambahan menjadi 523 media.
Sementara media online atau siber media 43.300. Akan tetapi yang lolos verifikasi pada 2014 hanya 211 media online dan menyusut menjadi hanya 168 saja pada tahun 2015. Kemudian radio dan televisi berkisar 2.000 sampai 3.000 media. Tak terbayang betapa pesatnya pertumbuhan media online.
Dari sekian banyak media cetak itu, begitu masuk tahun 2015 mulai ada yang kolaps dan terpaksa memutuskan berhenti terbit, seiring masifnya pertumbuhan media online. Keberadaan internet dan pertumbuhan teknologi digital jadi pintu gerbang masuknya media online ke gelanggang persaingan.
Tak bisa dimungkiri memang, perubahan lanskap media niscaya terjadi. Generasi milenial dan zilenial lebih akrab dengan gawai di genggaman. Mau tidak-mau medium dalam mengakses informasi pun turut berubah, dari semula koran cetak menjadi e-paper yang bisa dibaca di layar gawai.
Media radio pun perlahan ditinggalkan pendengar. Untuk menyiasati sepinya pendengar konvensional membuat owner radio memutar otak untuk tetap bisa senantiasa didengar. Mau tidak mau mereka membuat siaran streaming yang bisa didengar di berbagai platform media sosial yang ada.
Senja kala media telah tiba, begitu narasinya. Sebenarnya sejak tahun 2010an masa depan media cetak sudah bisa diprediksi mau sampai kapan batas usianya. Faktanya, satu per satu koran bertumbangan. Semula hanya mengurangi jumlah halaman demi efisiensi biaya cetak dan distribusi.
Apa lacur, ketika pandemi COVID-19 melanda, orang tak bisa ke mana-mana praktis membuat distribusi koran jadi terhambat. Untuk mendistribusikan koran dari Jakarta ke luar Pulau Jawa yang biasa menggunakan pesawat, ketika penerbangan disetop otomatis napas koran megap-megap.
Jangankan ke luar Pulau Jawa wong sesama di Pulau Jawa bahkan di kota tempat suatu koran terbit saja distribusinya terkendala oleh program pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) yang terus diperpanjang—diperpanjang terus. Tak mungkin dong koran terus terbit tapi tak terdistribusi.
Daripada terus cetak tapi tak terdistribusi dan akhirnya jadi ”sampah” tentu perusahaan koran lebih pilih berhenti terbit sama sekali. Ternyata berhenti terbit tidak hanya sebatas masa pandemi COVID-19 saja, tak sedikit berhenti permanen karena kesulitan keuangan karena tak ada pemasukan.
Kesulitan keuangan karena susutnya pendapatan dari sektor iklan dialami hampir semua industri koran, ini problem krusial. Para pemasang iklan lebih cenderung memilih media televisi yang jangkauannya lebih luas. Sementara komponen biaya produksi untuk sekali cetak koran sungguh besar.
Pendapatan minim, pengeluaran tak bisa dihindari tak urung membuat koran lebih pilih berhenti terbit saja. Jauh sebelum pandemi COVID-19 pun sudah terjadi. Sinar Harapan, koran legendaris yang didirikan Hendrikus Gerardus Rorimpandey berhenti terbit 1 Januari 2016 lantaran kesulitan keuangan.
Terbit sejak 27 April 1961, Sinar Harapan dibredel pemerintah Orde Baru pada 1986. Tahun 2001, dengan sisa-sisa idealisme kembali diterbitkan, namun hanya bertahan lima tahun. Terbitan edisi hari Kamis, 31 Desember 2015 adalah kemunculannya terakhir di hadapan pembaca setianya.
Harian Berita Nasional (Bernas) didirikan Menteri Penerangan pertama RI, Mr. Soemanang. Bertahan terbit selama 71 tahun sejak 15 November 1946, harus menyerah dan pamit kepada pembaca setianya sejak 1 Maret 2018. Sebagai tombo kangen, pembaca setia bisa mengunjungi website bernas.id.
bernas.id dibuat demi mempertahankan nama yang legend dan menjadi sebuah heritage, tentu saja juga kepentingan membidik pangsa pasar pembaca milenial dan zilenial, menerbitkan media dalam format digital di era sekarang ini adalah keniscayaan di tengah kegandrungan mereka pada gawai.
Imbas pandemi COVID-19 terhadap keberlangsungan media massa kian terasa ketika pandemi memasuki tahun kedua 2021. Macetnya distribusi koran karena terkendala PPKM, tak urung membuat tiga koran terpaksa gulung tikar tahun 2021, yaitu Suara Pembaruan, Koran TEMPO, dan INDOPOS.
Komentar
Posting Komentar