13 Januari


”11 Januari bertemu / Menjalani kisah cinta ini / Naluri berkata engkaulah / Milikku.” Dari intro musiknya saja sudah bisa ditebak lagu apa yang bakal terdengar. Ya, tak salah lagi, 11 Januari, lagu ciamik milik group band Gigi.

Prasangka dan kenyataan tak pernah sinkron seratus persen. Prasangkaku anak yang sudah sepuluh tahun merantau ini, kelak akan menemukan jodoh dari sirkel pergaulannya di sepanjang jalan yang dilaluinya di perantauan.

Galibnya—secara teoretis—kurang lebih begitu. Banyak fakta jodoh muncul dari sirkel pertemanan di perantauan. Bisa jadi dari lingkup satu kampus, mungkin dari tetangga satu kost atau satu kantor sewaktu sudah bekerja.

Adagium witing tresno jalaran soko kulino tak dimungkiri manakala dari kulino bertemu, kulino berinteraksi, kulino bertukar kerling mata dan menyelami karakter satu sama lain, lama-lama akan menerbitkan perasaan suka bahkan cinta.

Maka tak heran jodoh itu acapkali tumbuh di sekitar meja kerja di kantor. Tak terbatas antar-sesama lajang, antara lajang dan sudah berpasangan pun kerap terjadi. Itulah kenapa ada istilah pelakor. Karena ada ketertarikan satu sama lain.

Akan tetapi, tak sedikit jodoh tumbuh dari penyemaian benih cinta ala Galih dan Ratna dalam film Gita Cinta dari SMA. Artinya, tak sedikit orang pada akhirnya berjodoh karena kuatnya ikatan cinta yang dijalin sejak masa SMA.

Bahkan ada yang berangkat dari masa-masa SMP. Itulah cinta anak baru gede yang penuh ”kisah kasih di sekolah dengan si dia” seperti lagunya Obbie Messakh yang juga populer lewat suara emas Chrisye. Sungguh aneh tapi nyata.

Maka tak heran meski sudah merantau jauh, sekian tahun meninggalkan rumah, ujung-ujungnya ketika tiba waktunya berkelakar dengan orang tua bahwa bakal calon jodohnya, yang ia ceritakan adalah teman yang dulu pernah satu kelas di SMA.

Nah, prasangkaku anak yang sudah sepuluh tahun merantau ini, kelak suatu hari akan bercerita kepada kami orang tuanya, bahwa sudah menemukan bakal calon jodohnya dari sepanjang jalan yang ditempuhnya sekian tahun itu.

Entah dari sudut mana, tikungan ke berapa, pos perhentian mana dari jalan panjang yang selama ini dilaluinya. Ternyata ceritanya persis seperti dikisahkan di atas. Jalan jodoh itu terbentang sepanjang perjalanan rumah—sekolah.

Rasanya tidak penting mencari jawaban, apakah mereka tersihir lagu Obbie Messakh atau bukan. Bukankah dalam lagu ”Misteri Cinta” Nicky Astrea bersenandung, /kala cinta berlabuh di dermaga/ /kutelusuri karang terjal berliku/

Juga tak perlu menelisik terlampau jauh apakah kepastian pilihan itu berdasarkan cinta yang sejak disemai di SMA senantiaasa dirawat ala hubungan jarak jauh yang mengerahkan kekuatan tenaga-dalam buat memegang teguh kesetiaan.

Atau iya betul dulu disemai waktu SMA. Namun, sepanjang merantau itu hubungan mangkrak. Direhabilitasi di akhir-akhir rasa jenuh dan lelah mencari, tetapi tak jua kunjung menemukan yang bersesuaian dengan selera.

Akhirnya jadilah semacam CLBK—cinta lama [yang] belum kelar—kembali disiram dan dipupuk agar tumbuh subur. Dibantu feeling yang ditajam-tajamkan, bahwa cinta yang dulu setengah diabaikan, rasanya inilah yang terbaik.

***

Lagu 11 Januari yang dikutipkan di atas begitu fenomenal. Diciptakan Armand Maulana setelah mendapat acaman akan diceraikan istrinya Dewi Gita karena Armand selalu lupa HUT pernikahan mereka, tanggal 11 Januari.

11 Januari 2023 lalu, mereka rayakan anniversary wedding ke-29. Pasangan artis ini tentu bungah sekali memasuki usia perkawinan 29 tahun. Selama kurun waktu itu tampaknya akur-akur saja. Jauh dari gosip murahan infotainment.

Dua hari berselang dari anniversary Kang Armand Maulana dan Teh Dewi Gita, 13 Januari patut dibukukan sebagai momen spesial. Anak yang sepuluh tahun merantau itu memperkenalkan kepada kami bakal calon jodohnya.

Prasangkaku, ketika tiba waktu menggamitnya untuk rabi, bakal calon jodohnya gadis sekitar gerbangkertosusila akronim dari Gresik-Bangkalan-Mojokerto-Surabaya-Sidoarjo-Lamongan. Termasuk Malang-Madura-Banyuwangi-Jember.

Rupanya balik kandang juga. Tetapi, film Gita Cinta dari SMA, prasangkaku hanya populer di masa aku SMA di Jogja tahun ’80an. Ternyata sisa-sisa daya pukaunya masih mampu membius anak-anak milenial yang lebih kenal film AADC.

AADC yang melambungkan nama Cinta dan Rangga tahun 2002 sepertinya semula hanya akan dibuat satu seri saja. Namun, karena jadi film dengan penonton terbanyak di masa itu, akhirnya 2016 dibuat seri lanjutannya, AADC 2.

Semua tak lepas dari daya sihir. Cinta lama yang dibengkalaikan, karena daya sihir jua akhirnya menggerakkan semangat untuk menyiram dan memupuknya agar tumbuh subur dan ranum, berkembang dan berbuah lebat.

Daya sihir itu jua yang aku tangkap dari attitude yang menonjol pada diri yang bersangkutan. Dia dengan santun meminta maaf atas kehadirannya ke rumah bila mengganggu. ”Maaf, ya, Yah, Bu, kalau mengganggu istirahatnya.”

Sungguh character building yang fondasinya dipancangkan kedua orang tuanya, telah membentuk sosok bangunan kepribadian yang unggul. Karakter unggul ini tentu jadi bahan pertimbangan setiap orang dalam menentukan pilihan.

Dalam filosofi orang Jawa bibit, bebet, dan bobot dijadikan alat kalibrasi dalam mencari calon menantu. Bibit (garis keturunan), bebet (status sosial ekonomi), bobot (kepribadian dan pendidikan). Ini dipakai turun temurun di masa lalu.

Apakah ketiga kriteria itu masih relevan di zaman now? Di era digital ini orang lebih mengedepankan perspektif mengenai kriteria pasangan. Kedua pihak, baik calon pasangan maupun keluarga bisa menemukan keselarasan pilihan.

Sebagian orang Jawa ada yang masih memegang teguh kriteria di atas. Namun, tak sedikit juga yang sudah tidak begitu menjadikannya prinsip dalam menentukan pilihan. Tentunya bagi yang sudah berpikiran maju dan terbuka.

Ada pergeseran paham pada sebagian calon pasangan di masa kini. Lebih mengedepankan kecocokan chemistry secara interpersonal, pola pikir yang luas, visi dan misi yang sejalan. Dan yang utama adalah memegang komitmen.

Yang dikenalkan si perantau ini, lebih dari memadai. Walau belum sepenuhnya terselami dalam segala hal, paling tidak attitude-nya sudah terbaca. Sepertinya wajar saja, dari sepanjang perjalanan dicegat gamang, akhirnya balik kandang.

***

Misteri angka 13. Sebagian orang mempercayai bahwa 13 adalah angka sial. Maka orang enggan memasangkannya sebagai nomor rumah. Sehabis No.12 biasanya akan ada No.12-A atau No.12-B, Tak mau No.13 takut ketiban sial. Benarkah?

Saya kutip dari tirto.id - 2 Februari 2023, Pramudya Ananta Toer menikah dengan Arvah Ilyas pada Jumat Legi, 13 Januari 1950. Pram menapaki jenjang kehidupan barunya menjelang usianya 25 tahun. Wah, tanggal 13 menyejarah, jadinya.

Usai menikah Pram mengalami kesulitan keuangan karena belum mempunyai pekerjaan tetap. Meski banyak tawaran pekerjaan, tetapi ia menolaknya. Alasannya, gaji yang ditawarkan lebih rendah daripada honor sebuah cerpen yang ia buat.

Beruntung empat bulan kemudian, sejak 1 Mei 1950 Pram diterima menjadi redaktur sastra Indonesia moderen di Balai Pustaka. Saat itu Balai Pustaka sedang jaya-jayanya sebagai penerbit terkemuka dan buku yang diterbitkannya disukai peminat sastra.

Akan tetapi, belum sepenuhnya menekuni tugasnya, Pram mendapat kabar dari kampungnya di Blora. Ayahnya sakit keras akibat TBC dan Pamannya meminta Pram pulang. Pram pun pulang, tetapi usaha pengobatan tidak menyembuhkan ayahnya.

Pram merawat ayahnya dengan mengerahkan dana yang tak seberapa banyak dan segenap kasih sayang yang ia miliki. Meski membayar mahal biaya pengobatan, Pram tidak mampu menolong sang ayah, Mastoer Imam Badjoeri, wafat 25 Mei 1950.

Sang ayah sakit TBC dan si anak disuruh pulang. Bisa dibaca dalam novel Bukan Pasar Malam. Dalam novel ini, sepertinya Pram mengisahkan kegetiran peristiwa yang ia alami. Kesulitan keuangan membuat Pram dan Arvah jadi sering bertengkar. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kursi Roda Ibu Ani

Angin Laut Pantura

Rumah 60 Ribuan