Langsung ke konten utama

Kondangan Masa PPKM

gambar sengaja dikaburkan (foto: Busi_28)

Meski diringkus PPKM Level 3 ternyata masih bisa juga menggelar hajatan pesta. Tadi malam suara orang dangdutan diiringi organ terdengar sayup sampai entah di mana lokasinya.

Siang tadi di GSG yang berlokasi di area perkemahan pramuka di Kepayang ada gelaran hajatan pesta resepsi pernikahan. Barangkali mengurus izin sejak lama jadi lolos larangan.

Kami juga menghadiri ijab qabul kolega istri di daerah Kaliawi. Cuman akad dan pesta syukuran saja. kedua mempelai disandingkan di dalam rumah dengan puade yang amat sederhana.

Tak ada terop di halaman karena tahu sendiri daerah Kaliawi itu rumah nyaris berdempet-dempet. Hanya dipisahkan oleh gang-gang kecil di samping kiri kanan dan depan antar-rumah.

Inilah kondangan ketujuh di 2022. Kondangan di masa PPKM. Protokol kesehatan ketat dengan disambut tetesan hand sanitizer ke tangan tetamu. Disediakan masker bagi yang alpa.

Di masa Covid-19 ini masker, cuci tangan, dan jaga jarak adalah prokes standar yang teramat mudah menegakkannya. Prasyaratnya hanya dibutuhkan kesadaran setiap individu.

Akan tetapi orang yang sadar diri, tahu diri, jaga diri semakin minim. Apalagi saat gelombang kedua varian Delta melandai, kesadaran mengenakan masker pun ikut-ikutan melandai.

Saya pribadi sempat 47 pekan alias 47 kali salat jumat tidak mengenakan masker, terhitung dari 12/3/2021 hingga 29/1/2022. Durasi waktu itu hanya tinggal 5 pekan menjadi satu tahun.

Wah lumayan juga menikmati lepas masker hampir satu tahun. Napas yang biasanya ngap menjadi sedikit plong. Sejenak terbebas dari status minoritas di tengah keramaian jemaah.

Ketika Omicron datang, gelombang ketiga jadi momok mengerikan, mau tidak mau kesadaran diri, tahu diri, dan kemauan diri kembali saya sandang. Kembali maskeran saat jumatan.

Tak apa-apa menyandang status minoritas di tengah keramaian jemaah jumatan yang abai prokes. Mau sehat, mau tidak terinfeksi virus corona toh kehendak individu masing-masing.

Keselamatan diri pribadi ada di tangan masing-masing. Kesehatan tubuh kita ya tanggung jawab kita mengupayakannya. Kesadaran menaati prokes untuk kepentingan sendiri.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kursi Roda Ibu Ani

Kursi roda Ibu Ani dan kesetiaan Pak SBY menungguinya di rumah sakit. Bagaimana bisa melahirkan novel yang menceritakan perjuangan penyintas kanker seperti di buku “Seperti Roda Berputar” tanpa mengikuti proses dari mula hingga kini? Pertanyaan itu yang bersarang di pikiranku. Sewaktu mudik ke Pacitan 21 Mei hingga 3 Juni 2024, kami mengeksplor Museum dan Galeri SBY-ANI. Satu foto memperlihatkan kesetiaan Pak SBY menunggui Ibu Ani di National University Hospital Singapura. Foto Ibu Ani duduk di kursi roda sementara Pak SBY duduk di tepi hospital bed yang biasa Ibu Ani tiduri selama dirawat. Kaki Pak SBY menjuntai. Foto menggambarkan keduanya berhadap-hadapan sambil berbincang akrab. Saya sebenarnya penasaran, apakah Pak SBY menulis buku tentang masa-masa Ibu Ani dirawat hingga wafat. Seperti yang dilakukan Pak BJ Habibie, pasca-meninggalnya Ibu Ainun Habibie, Pak Habibie dilanda demam rindu. Guna memadamkan kerinduan kepada Ibu Ainun itu, Pak Habibie mulai menuangkan perasaan...

Sastra Jalan-jalan

Siang baru saja melanjutkan perjalanan menuju barat, setelah istirahat sejenak di waktu zuhur, yang ditandai Matahari tepat di atas kepalanya. Tak lama sekira pukul 14:12 Kakang Paket datang mengantarkan kiriman buku dari Taman Inspirasi Sastra Indonesia. Komunitas sastra disingkat TISI pimpinan Bang Octavianus Masheka, ini baru saja usai merampungkan proses produksi dan terbitnya buku antologi “Bahasa Ibu, Bahasa Darahku” yang merupakan puisi bahasa Indonesia dan bahasa daerah masing-masing penulisnya. Buku-buku yang joss tenan Ada 100 orang penulis puisi dwi bahasa yang terhimpun di dalam buku bersampul merah menyala dengan gambar sampul siluet wajah Ibu yang di wajah, leher, dan dadanya dihiasi taburan wajah penulis puisi yang sengaja di- crop tertinggal bagian dada dan kepala saja. Sebelum buku “Bahasa Ibu, Bahasa Darahku” terlebih dahulu tiba di rumah buku “Zamrud” yaitu antologi puisi Dari Negeri Poci seri ke-15 yang saat datang kebetulan saya sedang tidak berada di rumah ...

Jangan Sakit Deh

“Jangan pernah sakit. Teruslah sehat dan berbahagia. Sakit itu sepi, menyakitkan, dan tentu saja mahal.” (Rusdi Mathari). Demikian terbaca di buku “Seperti Roda Berputar: Catatan di Rumah Sakit.” Buku merangkum catatan Rusdi Mathari yang menderita kanker saat-saat menjalani perawatan dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain. Sebenarnya Rusdi Mathari pengin menulis novel tentang sakit yang ia derita dan bagaimana ia mengupayakan kesembuhan dengan menjalani rangkaian pengobatan secara runtut tahap demi tahap. Dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain silih berganti, ditangani dokter berbagai spesialis yang berkaitan dengan sakit kankernya. Malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih. Rusdi Mathari meninggal di Jumat pagi, 2 Maret 2018. Novel yang ceritanya ia bayangkan akan demikian kompleksitas sekaligus melankolis tidak terwujud. “Seperti Roda Berputar” hanyalah memuat sebagian catatan di rumah sakit yang sempat ia tulis dan terbit di Mojok.co. Pemerintah menghapus kelas 1,...