Langsung ke konten utama

Resmi Gelombang Ketiga

Ilustrasi gambar Indonesia masuk gelombang ketiga Covid-19. (foto: iNews.id, 1 Februari 2022)

Padahal, usai gelombang kedua imbas varian Delta melandai akhir 2021, eh pada Kamis (16/12/2021) Pemerintah mengumumkan varian Omicron (B.1.1529) resmi masuk Indonesia. 1 Februari lalu IDI mengklaim Indonesia sudah memasuki gelombang ketiga.

Disitat cnnindonesia.com (31/1/2022), Ketua Satgas Covid-19 PB IDI Zubairi Djoerban menganggap gelombang ketiga lonjakan kasus virus corona sudah terjadi di Indonesia. Mengacu positivity rate serta keterisian rumah sakit kian meninggi sejak pertengahan Januari.

Dengan rata-rata kasus harian tembus 16 ribu layak jadi tonggak Indonesia resmi masuk gelombang ketiga. Ini pertanda masih lama lagi kita akan mematuhi prokes 3M –memakai masker, mencuci tangan, menjaga jarak–. Sementara di luar sana sudah bebas masker.

Pengin iri sama mereka, tapi cam mana. Wong mereka layak lepas masker karena vaksinasi bukan hanya dua dosis, melainkan juga boosternya. Sementara kita vaksinasi dosis lengkap saja belum tuntas, tentu tak mudah melakukan hal-hal di luar standard.

Jadi, janganlah baper melihat Inggris, Denmark, dan Prancis yang rakyatnya bebas dari masker per 2/2/2022. Mereka memang siap sepenuhnya hidup berdampingan dengan Covid-19. Omicron tidak begitu menakutkan bagi mereka yang vaksin lengkap berikut booster.

Setidaknya baru tiga negara itu yang berani bebas masker. Amerika Serikat belum berani. Bagi AS varian Omicron bukanlah hal sepele, rata-rata kasus harian 799.000. Padahal, saat varian Delta jadi gelombang kedua, kasus rata-rata harian tertinggi berkisar 164.000.

Angka rata-rata harian pasien masuk rumah sakit di AS karena varian Delta 12.000, sementara masuk rumah sakit yang disebabkan oleh varian Omicron 22.000. Meski gejalanya terbilang ringan, namun tingkat penyebaran Omicron lebih cepat daripada varian Delta.

Secara persentase pasien yang dirawat di rumah sakit AS karena varian Delta memang lebih tinggi dibanding Omicron. Namun, secara jumlah keseluruhan nyatanya lebih banyak pasien varian Omicron yang kini butuh dirawat dibanding saat varian Delta memuncak dulu.

Artinya, varian Omicron ini benar-benar tak boleh disepelekan. Harus ekstra waspada, kita sudah resmi memasuki gelombang ketiga. Dari hanya 174 kasus pada 2/1/2022 melonjak jadi 17.895 pada 2/2/2022. Angka ini akan terus bertambah. Ikuti update hariannya.

Demikian juga pasien meninggal, dari hanya 1 orang pada tanggal 2/1/2022 melonjak jadi 25 orang pada tanggal 2/2/2022. Fakta ini kian menegasikan bahwa varian Omicron memberi andil penambahan kasus harian orang positif Covid-19 dan pasien meninggal dunia.

Kembali Jadi Minoritas

Jumatan pekan lalu, si Wendy, tetangga sebelah yang advokat saya lihat kembali mengenakan masker. Fakta melonjaknya rata-rata kasus harian yang terus meninggi sejak awal Januari hingga awal Februari ini, memuaikan kesadaran diri untuk kembali mengenakan masker.

Tak apa kembali jadi minoritas di masjid demi kemaslahatan bersama, tak hanya untuk kepentingan keselamatan diri pribadi, namun juga untuk memberi perlindungan kepada orang lain. Bukankah ”maskerku untuk melindungimu dan maskermu untuk melindungiku”.

Nah, tujuan untuk proteksi diri sendiri dan memberi keamanan bagi orang lain itulah, maka salat jumatan siang tadi saya putuskan kembali mengenakan masker. Kembali membersamai segelintir orang yang masih bertahan. Para minoritas yang setia senantiasa taat prokes.

Saat berangkat menuju masjid, di jalan dekat masjid saya bertemu Muharto, tetangga yang saya ceritakan di postingan (Bebas Masker, 3/12/2021). Masih keenakan menikmati masa-masa bebas masker. Entah juga jumatan pekan depan. Atau akan selamanya bebas. Tuman.

Saya iseng-iseng menghitung sejak coba melepas masker pada Jumat (3/12/2021), ternyata baru berdurasi 9 pekan alias 9 kali jumatan. Praktis hanya dua bulan. Durasi dua bulan belum puas betul rasanya terbebas dari ngapéh ada Omicron. Kudu maskeran menéh.

Selama pandemi Covid-19 ini belum benar-benar punah dari muka bumi ini, selama itu pula manusia di belahan bumi mana pun akan senatiasa dihadapkan pada kemungkinan yang serba mungkin, dugaan yang serba tak terduga, serta kejutan yang serba mengejutkan.

Sekadar menyegarkan ingatan, dikutip berbagai media pada 9 Agustus 2021, Menko Marves Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan, ”Kemungkinan besar masyarkat akan terus memakai masker selama bertahun-tahun.” Ya, sudahlah, kalau memang begitu. Terserahlah.

Karena ”kemungkinan besar akan bertahun-tahun”, pemerintah telah menyusun kajian dan strategi hidup berdampingan dengan Covid-19. Upaya persuasif agar masyarakat taat prokes memakai masker terus menerus diimbaukan oleh pemerintah khususnya Satgas Covid-19.

Taat prokes di sini tentu saja ada batasnya. Yaitu taat prokes terutama di ruang publik yang sekiranya berpotensi menimbulkan kerumunan, harus pakai masker dan jaga jarak. Kalau berada di lingkungan keluarga sendiri, boleh tidak mengenakan masker. Tergantung sikon.

Tak bisa dinafikan akhir-akhir ini sikon mengarah kepada musim orang menggelar hajatan pernikahan. Tentu potensi kerumunan tak bisa dihindarkan, di momen hajatan itu orang memanfaatkannya sebagai ajang bersilaturahmi dan berinteraksi. Cipika cipiki.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kursi Roda Ibu Ani

Kursi roda Ibu Ani dan kesetiaan Pak SBY menungguinya di rumah sakit. Bagaimana bisa melahirkan novel yang menceritakan perjuangan penyintas kanker seperti di buku “Seperti Roda Berputar” tanpa mengikuti proses dari mula hingga kini? Pertanyaan itu yang bersarang di pikiranku. Sewaktu mudik ke Pacitan 21 Mei hingga 3 Juni 2024, kami mengeksplor Museum dan Galeri SBY-ANI. Satu foto memperlihatkan kesetiaan Pak SBY menunggui Ibu Ani di National University Hospital Singapura. Foto Ibu Ani duduk di kursi roda sementara Pak SBY duduk di tepi hospital bed yang biasa Ibu Ani tiduri selama dirawat. Kaki Pak SBY menjuntai. Foto menggambarkan keduanya berhadap-hadapan sambil berbincang akrab. Saya sebenarnya penasaran, apakah Pak SBY menulis buku tentang masa-masa Ibu Ani dirawat hingga wafat. Seperti yang dilakukan Pak BJ Habibie, pasca-meninggalnya Ibu Ainun Habibie, Pak Habibie dilanda demam rindu. Guna memadamkan kerinduan kepada Ibu Ainun itu, Pak Habibie mulai menuangkan perasaan...

Sastra Jalan-jalan

Siang baru saja melanjutkan perjalanan menuju barat, setelah istirahat sejenak di waktu zuhur, yang ditandai Matahari tepat di atas kepalanya. Tak lama sekira pukul 14:12 Kakang Paket datang mengantarkan kiriman buku dari Taman Inspirasi Sastra Indonesia. Komunitas sastra disingkat TISI pimpinan Bang Octavianus Masheka, ini baru saja usai merampungkan proses produksi dan terbitnya buku antologi “Bahasa Ibu, Bahasa Darahku” yang merupakan puisi bahasa Indonesia dan bahasa daerah masing-masing penulisnya. Buku-buku yang joss tenan Ada 100 orang penulis puisi dwi bahasa yang terhimpun di dalam buku bersampul merah menyala dengan gambar sampul siluet wajah Ibu yang di wajah, leher, dan dadanya dihiasi taburan wajah penulis puisi yang sengaja di- crop tertinggal bagian dada dan kepala saja. Sebelum buku “Bahasa Ibu, Bahasa Darahku” terlebih dahulu tiba di rumah buku “Zamrud” yaitu antologi puisi Dari Negeri Poci seri ke-15 yang saat datang kebetulan saya sedang tidak berada di rumah ...

Jangan Sakit Deh

“Jangan pernah sakit. Teruslah sehat dan berbahagia. Sakit itu sepi, menyakitkan, dan tentu saja mahal.” (Rusdi Mathari). Demikian terbaca di buku “Seperti Roda Berputar: Catatan di Rumah Sakit.” Buku merangkum catatan Rusdi Mathari yang menderita kanker saat-saat menjalani perawatan dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain. Sebenarnya Rusdi Mathari pengin menulis novel tentang sakit yang ia derita dan bagaimana ia mengupayakan kesembuhan dengan menjalani rangkaian pengobatan secara runtut tahap demi tahap. Dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain silih berganti, ditangani dokter berbagai spesialis yang berkaitan dengan sakit kankernya. Malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih. Rusdi Mathari meninggal di Jumat pagi, 2 Maret 2018. Novel yang ceritanya ia bayangkan akan demikian kompleksitas sekaligus melankolis tidak terwujud. “Seperti Roda Berputar” hanyalah memuat sebagian catatan di rumah sakit yang sempat ia tulis dan terbit di Mojok.co. Pemerintah menghapus kelas 1,...