Sajak-Sajak 1983
Sajak Sepi
terlalu getir untuk dikaji
terlalu pahit untuk dinikmati
Yogyakarta, November 1983
terlalu getir untuk dikaji
terlalu pahit untuk dinikmati
terlalu sulit untuk
dihindari
terlalu mudah untuk dialami
terlalu menyiksa diri
terlalu sengsara tinimbang
mati
Yogyakarta, April 1983
Prasangka
percayalah, kasih
fajar takkan mungkin ingkar
selagi tekadmu tetap membara
menjemput pagi mencabut
mimpi
mimpi yang barusan usai kau
nikmati
bikin hatimu cemas, apa yang
bakal kau alami
bersabarlah menanti
datangnya pagi
tuk membuang prasangka jauh
di beting kali
Yogyakarta, akhir Mei 1983
Sepotong Hati
/1/
sepotong hati terpanah
ada berontak terpatahkan
kekejaman lebih tajam dari
elakan
ada rintihan kecil sekali
mengiringi gejolak syahwat
meniti urat sungai ke jurang
birahi
mengalirkan air surga yang
menyembur
dari raga seorang perjaka
muda belia
sepotong hati lunglai
ada berontak tanpa daya
ada gairah mereguk
kenikmatan sendiri
ada pasrah menanti
usainya regukan hingga
tuntas
sepotong hati terpanah
ada rintihan kecil sekali
mendesis dari celah bibir
yang mungil
menembus celah pintu kamar
menuju kamar mandi untuk
mencaci maki
perjaka yang jongkok
membungkuk
membasuh anak panahnya dari
sisa noda
sepotong hati tergeletak
lemah
di sudut ruang, di atas
ranjang
ada denyut nadi, ada darah
mengalir
ada tanda kehidupan, tapi
tanpa kesadaran
ya, sepotong hati ternoda
lalu tak sadarkan diri
sepotong hati tergolek kaku
ada derai tawa memecah sepi
menembus celah keluar ruang
meninggalkan noda yang
terendap
di lubuk kesucian sang kekasih
sepotong hati telah terpecah
belah
hati putih bening dan suci
terkena panah yang semaikan
noda dan dosa
ada air surga tertanam lewat
anak panah
nantikan dari hari ke hari
bersemi di lading kesucian
sang kekasih
/2/
sepotong hati yang tak
sadarkan diri
telah siuman kembali
sadar tentang apa yang telah
terjadi
sesal sudah tak mungkin lagi
hanya caci maki begitu
menjadi-jadi
sepotong hati telah luka
ada tangisan tertahan, hanya
isak belaka
ada jerit tanpa suara, hanya
pekikan diam
air mata pun tumpah menyiram
tilam
sepotong hati menjaring kata
tanpa suara
pikiran yang melayang
mengangkasa
menyimpul makna, cari jawab
atas tanya
mengapa kekasih menodai
kesucian dirinya
sepotong hati tersaput kalut
pikiran merenung, hati
bingung, badan linglung
bangkit terhuyung serasa tak
berpijak di lantai lagi
datang bisikan lirih: bunuh
diri saja!
Purwokerto, Juni 1983
Ratap Duka Larut Malam
pintu dan jendela telah
terkunci
tiada waktu tuk meloloskan
pekik ke luar ruang
meski teriak lantang, yang
keluar hanya bisikan
karena diredam lonceng jam
dan tersangkut pada tembok
kelam
tingkap hati telah tertutup
rapat sekali
tiada tempat tertancap panah
asmara
buah dari putus cinta:
tersimpan dendam kesumat
tiada lagi benih kasih
tersisa di sudut mata
ratap tanpa suara, gumam
lagu duka
meniti udara pengap di ruang
gelap
mengepul bagai asap puncak
merapi sunyi
penuhi ruang tiada celah
tiada lubang
hingga makin pengap, makin
tenggelam
hanyut dalam ratap duka
larut malam
esok pagi mentari terang
esok hari benderang
sedang hatiku, tetap kelabu
penuh dendam
esok petang mentari
tenggelam
tinggalkan aku dipeluk resah
esok malam, ratap duka larut
malam kembali terngiang
Yogyakarta, Agustus 1983
Mata Air Mati, Air Mata Bersemi
di sawah tak lagi kudengar
tembang
semua menepi, hanyut oleh
sepi
sawah sepi dari riuh rakyat
menuai padi
sawah sepi dari padi karena
mata air mati
di semak belukar tak lagi
burung bernyanyi
semua pergi cari rerimbun
daun yang tersisa
semak daunnya layu lalu
berguguran
belukar batangnya mati lalu
runtuh ripu
semak belukar tak kuasa
menghindar terbakar
mata air mati, air mata
mengalir
tapi takkan cukup basahi
luka ladang menganga
daunan seperti hidup bila
bergoyang diterpa angin
sesungguhnya dia mati, tak
tersimak dia bernapas
napasnya terenggut ladang
hangus
napasnya sengal, tak sampai
terbawa angin
di nadi-nadi kaki pohon ubi
tak mengalir mata air
kehidupan
yang disesapnya hanya air
mata tumpahan derita
rembes dari telaga luh mata
nelangsa petani
yang campur aduk rasa,
menunggu hujan tak juga tiba
degup jantung telaga
berhenti
sungai-sungai kehilangan
jati diri
tadinya biasa hantarkan air
jauh ke hilir
sejak mata air mati, riwayat
sungai pun beranjak purba
Pantai Baron, Oktober 1983
Nyanyian Rumput
kemarin pagi
ketika kusibak daun jendela
belum lagi usai nyanyian
rumput
gemanya masih tersisa
mengiang di telinga
mentari sudah datang lagi
siap menggesek biola
kemarin sore
ketika kukatupkan daun
jendela
rumput memar tercambuk terik
menitip tanya
adakah malam nanti berita
cuaca kabarkan hujan akan tiba?
tak kujawab, hanya terkesima,
dan kusimpan iba di hati
sebenarnya aku pun ingin
menitip pertanyaan yang sama
tapi pada siapa? semua muka
tampak memeram dendam
pagi ini
kusingkap lagi jendela,
meski takut menyelinap di hati
pasti rumput gosong itu
menuding ke arahku lagi
pasti tak bosan melontarkan
tanya serupa
kapan hujan datang menyiram
sukmanya yang hilang asa
semalam, sudah tak terdengar
lagi keluh burung
yang biasanya digigil dingin
udara selepas hujan
justru dicarinya rasa segar
di daun yang tersisa
semalam, memamg gerah udara
luar biasa
andai bisa, ingin
dikulitinya tubuh ringkihnya
dengan telanjang, mungkin
bisa sedikit segar dan lega
Komentar
Posting Komentar