Sajak-Sajak 1982

Siklus

minggu yang lalu kusaksikan
bulan sabit di akhir pekan
sekarang tengah kunantikan
sebentuk purnama di pertengahan bulan
dan esok lusa kan kulepas
purnama beranjak surut ke akhir bulan
mengambang meniti jumantara
mengapung menggiring bintang-bintang
berloncatan dan sembunyi di balik mega
hingga lenyap tenggelam
terbenam dan kelam

akhirnya kembali bangkit
menjelma sabit di bulan depan
kekasih, kulepas kepergianmu hari ini
mengikuti jejak bulan ke ufuk barat
kuharap jangan bertolak belakang
supaya kau bisa kembali segera
bersama datang bulan berikutnya

semoga kau datang dengan seribu rindu
laksana malam rindukan rembulan
demi luruhnya duka yang berselimut gulita
yang bakal menghalangi cinta kita
bersemi dari hari ke hari
mengikuti siklus pergantian bulan

penantianku sejenak kusandarkan
bagai purnama bertengger
di ranting cemara yang kering kerontang
juga kesetiaanku padamu
sesaat kugenggam seerat mungkin
jangan sampai pudar
namun cinta dan kesetiaanmu padaku
kuserahkan sepenuhnya padamu
tergantung pada sikapmu
setiakah atau kan mengingkari

Kampus MOEHA Jalan Kapas Semaki 5, 18 Januari 1982

Di Mana Kamu I

langkah yang telah kuatur rapi
perlahan kini kujalani
hampir tuntas di perbatasan
kini jalan simpang membuat aku bimbang
tak sebelah tapak Kaki-Mu tergurat di jalan
bagi pedoman langkahku mendobrak ragu
kini tak lebih daripada mencoba satu cabang
dan langkahku pun tetap rapi menjejaki
hingga akhirnya aku berhenti menatap jurang

hanya lengang membentang
siap menaut pekik lantangku
dan bila tertambat di ranting kayu
atau digulung angin padang
maka riuh redamlah suaraku
meskipun kuulangi berkali-kali
bukannya Telinga-Mu tak mampu menyimpul makna
namun suaraku yang tak kuat menembus pekat

hasrat hendak berbisik di Telinga-Mu
tentang cinta, tentang rindu, tentang penantian
tapi aku tak tahu di mana Kamu
bayang Wajah-Mu seperti terlukis di cadas
membuatku tetap melangkah untuk memastikan
sayup lirih sendu Tembang-Mu
membuatku menoleh ke sana ke mari cari kepastian

di mana Kamu
menjelmalah Kamu
sambut tanganku
bantu aku melebur rindu

Yogyakarta, 18 Januari 1982

Di Mana Kamu II

sering aku tangisi sendiri
kedunguanku yang mendayu-dayu
sebab tak tahu bagaimana
cara yang harus kutempuh
bila datang kerinduanku pada-Mu, Kasih

kala surya tenggelam, malam serasa mencekam
hatiku suram memandang temaram bulan
yang meski kuterjaga semalaman
tak jua dia pancarkan kemilau
sebagai penawar rinduku pada-Mu, Kasih

dan pagi pun datang menjelang
dengan muka kusam aku pulang
hari ini aku harus tidur tenang
sebab kemarin dan semalam aku lelah dan jemu
tembangkan lagu menanti-Mu datang

hanya doa-doakah yang Engkau tahu
dan hanya itukah yang Engkau mau
Kasih, lama aku berguru tapi tetap dungu
dari manakah harus kumulai
meniti tasbih sebut Nama-Mu

tapi kedunguanku justru penyebabnya Kamu
karena meski kusebut Nama-Mu, Kau tetap bisu
hingga membuatku semakin tak tahu
apa tandanya bahwa Kau datang menjelangku
meski ada hembusan angin
namun tak ada bisikan di hati
bahwa Kau telah berada tepat di sisiku

ke pangkalan mana kuharus pergi menjemput-Mu
sedang aku tak tahu di mana Kamu berlabuh
atau mesti aku menyambut-Mu
sedang aku tak tahu dari mana arah datang-Mu             

di mana Kamu, segeralah datang padaku
tidakkah Kau mengerti apa yang kumau
Kau datang melebur rinduku pada-Mu

Yogyakarta, 23 Januari 1982

Di Mana Kamu III

bulan bulat bundar  
sinarnya menikam embun
terpantul dari pelataran daun
bagai manik-manik berkilauan

andai aku tahu
di sisi mana ku tepat berdiri
jelas ku kan tahu di mana Kamu berdiri
 
ku duduk di bawah pohon jambu
terpaku menunggu Kamu
sejuta bayang-bayang berlalu
adakah satu Bayang-Mu

riuh kalbuku semakin mendayu
lagu demi lagu hanyut menepi
tiada yang mampu menghadirkan-Mu

bulu-bulu bunga jambu
gugur penuhi sila dudukku
sejuta wangi semerbak mengepungku
menangkap dan mengurungku dalam rindu

andai aku tahu
di celah mana ku dapat loloskan diri
jelas ku kan tahu di situ Kamu

kini ku berdiri lemas tersandar
menatap nanar mencari Kamu
sejuta tangan terulur
adakah satu Tangan-Mu

selaksa teriak telah kuhempaskan
suara demi suara mengangkasa
tak satu dapat hadirkan Kamu

bulan mulai beranjak surut
pertanda malam semakin larut
surut pula hasratku
untuk jumpa dengan Kamu

maafkan aku
bila sebenarnya Kamu telah datang untukku
bukan aku tak mau menyapa-Mu
tapi ku tak tahu yang mana Kamu

Yogyakarta, 3 Maret 1982

Meyakinkan Pikiranku Tentang Kamu I

di puncak bukit sebelah timur kuberdiri
menanti matahari bangkit berdiri
sengaja kuingin menyaksikan
apakah Tangan-Mu mengulurnya
agar membubung tinggi
tapi mataku telah menyerah kalah
pada sinarnya yang teramat merah
hanya pikiranku saja membayangkan
segalanya memang atas Kekuasaan-Mu
di sini kumulai yakin Engkau benar-benar ada

kini kuberdiri di sisi jurang sebelah barat
kan memastikan Tangan-Mu menyambutnya
untuk membaringkannya di ranjang kelam
tapi kembali mataku terkalahkan silau
dan kedua belah mataku tertumbuk
pada gunung di seberang sana sedang bertasbih
pada pepohonan yang merunduk terpekur memuji-Mu
kembali pikiranku sekilas menggambarkan
bahwa semuanya terjadi dengan Firman-Mu
di sini aku semakin yakin tentang adanya Kamu

di atas tebing tepi lembah bukit selatan
kutarik garis pandang lurus ke depan
tampak olehku sebatang pohon meranggas
terpaku diam berdiri di tengah ladang
menadahkan dahan keringnya panjatkan doa
dan di rantingnya kulihat pula burung turut serta
memohon agar Engkau curahkan hujan
sirami tubuh mereka dan bumi yang dahaga
di sini aku benar-benar yakin tentang Kamu
sirnalah keragu-raguan di batinku

Yogyakarta, 20 Februari 1982

Meyakinkan Pikiranku Tentang Kamu II

begitu penatnya kedua kakiku
setelah mendaki dan menyusuri
bukit tandus dan liku lembah
begitu beratnya jalan langkahku
mencari Kamu
melewati tikungan-tikungan lengang
menjejaki debu di bawah tenda langit
dalam usaha sempurnakan imanku
mempertegas keyakinan pikiranku
tentang Kamu

kini kulelap dalam senyap kamarku
kutemui Kamu dalam mimpiku
kulihat Kamu duduk di Arsy-Mu
Tangan-Mu menggenggam Firman-Mu
Tangan-Mu siap bangkitkan matahari
Kau tarik hingga membubung tinggi
jadi lentera keliling dunia
kemudian Kau ulur di batas senja
terbenam di tepi langit barat sana

lalu Tangan-Mu menarik rembulan naik
jadi pelita mengedari malam
menyusuri remang-remang sudut kota
hingga fajar cahayanya samar
dan aku tersentak dari mimpiku
kala kudengar gema Panggilan-Mu
sayup-sayup dengan lagu syahdu
terpekur aku duduk di tepi peraduan
pertimbangkan pertobatan pada-Mu
akhirnya kusimpulkan iman
semula sangsi kini kukekalkan
bantu aku mengikatnya erat-erat
agar tak goyah, tak ingkar lagi

Yogyakarta, 26 Februari 1982

Kasih

sebenarnya Kau curang, Kasih
sebab dalam datang-Mu, selalu tak kelihatan
sedang aku takkan pernah bisa mendatangi-Mu
sebab kita berada di tempat berbeda
kecurangan-Mu juga tampak pada surat-Mu
yang selalu datang dan selalu kubaca
karena cinta dan kesetiaanku semata
sebab bila tidak, mana mungkin aku mau
membuka lalu membaca rangkaian Kalam-Mu
yang tak pernah mencantumkan Alamat Rumah-Mu
itu yang membuat aku tak bisa mencarinya
walau aku tak pernah sangsikan keberadaan-Mu
Kamu selalu datang meski selalu pula tak nampak
hingga sulit untuk meyakinkan mata  
bahwa kita berdua sering jumpa dan saling sapa
padahal batin mengakui kalau kita saling cinta
bukti aku cinta, aku selalu bernyanyi untuk-Mu
bukti Kamu cinta, Kamu curahkan perhatian untukku

aku tahu bahwa Kau sungguh paling pengertian
nyatanya, setiap kali aku bernyanyi untuk-Mu
Kau selalu datang untuk menyimaknya
tapi aku tak tahu di mana Kau duduk mendengar
dan bila lagu telah usai kudendangkan
partitur pun aku tutup, kembali ke barak kitab
tapi tak pernah Kau lontarkan pujian
atau kalau salah tinggi rendah harokat suaraku
tak jua ada kritik dan saran Kau berikan
hingga ada suatu waktu aku putuskan tak bernyanyi
dan Kau tahu itu meski aku tak mengaku
mungkin Kau mentertawakan
bila kukatakan bahwa itu kekhilafanku
dan harus kubuat alasan apa kalau bukan itu
namun Kau benar-benar curang, Kasih
coba kalau saja aku sedang bernyanyi
Kau datang nyata dan duduk di sisiku
agar aku dapat melihat jelas senyum-Mu
sebagai ekspresi-Mu bahwa laguku menyenangkan
atau aku dapat mendengar jelas tawa bahak-Mu
bila senandung laguku tak enak bagi Telinga-Mu

aku tahu bahwa Kau sungguh paling Penyabar
nyatanya, aku tuding Kau curang
Kau tak pernah protes atau melaknatku
kemudian memutuskan tak mau lagi datang
meski aku bernyanyi sepanjang hari untuk-Mu
atau langsung mengirimkan Surat terakhir
bahwa Kau tak cinta lagi dan begitu benci padaku

aku salut pada-Mu, Kasih
Kau sungguh paling Pemaaf
dan memahami kelancanganku
maafkan aku, Kasih
sungguh aku takut Kau berpaling dariku

Yogyakarta, 28 Februari 1982
  
Dia Sang Kekasih Bumi

dengan sebilah ranting tangannya gesit
merimbas embun yang tergenang di daun
dengan ranting itu pula tangannya sigap
menyibak rumput yang liar merampak

dia berjalan telusuri pematang basah
menyambut sinar matahari
berlabuh di pantai ladangnya
memuatkan seperangkat embun pekat
yang menggunung di tengah ladangnya
kemudian dibawa matahari berlayar
menyeberangi huma menyelinap di rimba
setelah mengeringkan kelembaban

usai istirahat sejenak, buang kelelahan
sehabis jejaki jalan setapak
dia pun mulai menyabit rumput
yang sudah kering dari embun

seharian dia bekerja
menyiangi rumput liar di sela tanaman
seharian dia dipanggang terik
meretih keringat di dahinya
lengannya yang legam dengan kulit keriput
mengkilap berminyakkan peluh

dari hari ke hari dia ulangi
tekun mengukirkan tapak kaki
tanpa pernah menghitung langkah
tekun menghentakkan sabit ke kulit bumi
demi kasih tanpa definisi
yang hanya diekspresikan lewat elusan
dari tangan renta ke punggung bumi
tanpa pernah senandungkan nyanyian
yang ada hanya anggukan caping tua
di antara hentakan sabit di sela tanaman

haus dan lapar menyapanya
begitu lewat tengah hari
bangkit dia regangkan jari jemari
kemudian dia bersihkan tangan dan kaki
lalu berwudlu dan tunaikan sholat dzuhur
enggan pula dia lewatkan berdoa sejenak
tetes-tetes doanya mengalir
menuju panjatan ke arah-Nya
selesai semua doa terpanjatkan
baru dia makan setelah baca Bismillah dahulu
butir demi butir nasi dinikmatinya
butir demi butir rezeki disyukurinya

Yogyakarta, 12 Maret 1982

Nyanyian Pagi

kemarin sore matahari tenggelam
setelah meninggalkan senja merah
rambang petang menjemput malam
kemudian alam pun kelam
sesaat sebelum rembulan senyum merekah
mengikuti larut beranjak hingga surut
gulita jadi samar segera tiba
kala terdengar lenguh kijang di rimba
dan kicauan burung di ambang fajar
itukah pertanda nyanyian pagi kan bergema
atau berakhirnya tidur ketika tersentak dari mimpi

dan pagi ini kembali matahari bangkit
untuk mendaki tebing tinggi
membelai pinggang bukit hijau
menyapu butiran embun di hamparan daun
hingga akhirnya ia sampai di puncak bukit sana
berdiri melempar senyumnya yang merah dan panas

lalu bersiap-siap untuk beranjak mengambang
membubung mengapung di jumantara raya
berjalan lintasi mendung kelabu
setelah sepenggalahan ia merasakan lelah
sejenak ia duduk bersandar di pangkuan mega
setelah itu melanjutkan kembali perjalanan
hingga usai di batas senja dan kembali tenggelam

belum kumengerti tentang dia besok pagi
apakah akan menyingsing lagi seperti pagi tadi
juga tak tahu bagaimana dia besok hari
apakah akan berjalan lagi seperti siang ini
belum juga ketahuan sampai detik ini
berapa tahun lagi dia akan jelajahi jagat raya ini
sebatas yang bisa dimengerti; dia tak akan bosan
terbit, menyinari alam, dan tenggelam, selamanya

Yogyakarta, Maret 1982

Kekasih I

kekasih,
dari setiap uluran napasmu   
terungkap sejuta deretan kata pesona
seiring tarikan napasmu pula
semua yang terungkap sirna
hingga tak satu makna dapat kutangkap
dan hanya senyum sinismu
yang menikam hatiku, sakit sekali
haruskah aku lebih lama lagi berguru
untuk belajar sabar menahan godaan

kekasih,
di setiap degup jantungmu
terendap sejuta kasih yang bisa kurasa
namun bila nadimu menghanyutkannya
lepas lelanglah semua tanpa sempat kugenggam
haruskah kunanti di hilir tawa cemoohmu, atas kealpaanku
atau kutunggu dia mengendap lagi, lalu kupegang erat-erat

kekasih,
di setiap kebersamaan kita bertatapan
kunikmati sejuk pandangmu begitu menggoda
dan saat kuucap hasrat: izinkan kukecup bibirmu!
segera kau bilang: tunggu masanya tiba
haruskah aku senantiasa kalah dengan bujuk manismu
atau sebaiknya kutinggalkan kamu
karena kau selalu kecewakanku

Yogyakarta, 8 Oktober 1982

Kekasih II

kekasih,
lagu manis, syahdu sekali
membius kita hingga mabuk
kala bibirmu dan bibirku saling berpaut
kala napasmu dan napasku saling memburu
tinggalkan kewaspadaan, yang luluh oleh peluh
meski kita genggam erat, malahan jadi lusuh

kekasih,
lagu manis, syahdu sekali
meracuni kita hingga terlena
kala aku lagi aji mumpung
mumpung kau bersedia aku kecup
mumpung kau menikmati kecupanku
tinggalkan kesadaran, yang luput dilumat kegairahan
meski semula kita genggam, akhirnya tercampakkan

kekasih,
lagu manis, syahdu sekali
haruskah kita abaikan
kala kesempatan menjebak kita
kala aku memang mendambakan
kala engkau pun mengidamkan
aku kecup dengan lembut
sampai hanyut ke muara kemasyukan

Yogyakarta, 12 Oktober 1982

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kursi Roda Ibu Ani

Angin Laut Pantura

Rumah 60 Ribuan