Seorang teman penyair
meminta saya pulang ke Lampung. Katanya, “Engkau tak akan pernah survive
menjadi penyair selain di Lampung.” Ia menambahkan, dengan bersastra di
Lampung, seorang sastrawan (penyair) lebih bisa diakui pusat. Maka usai kuliah
dari salah satu universitas di Bengkulu, pada 1997 saya pulang ke Lampung.
KESAN pertama yang saya terima saat itu, sastra di
Lampung begitu mencengangkan. Ketika itu ada Panji Utama, Iswadi Pratama, Ahmad
Julden Erwin, R.A. Chepy, dan Ivan Sumantri Bonang. Selain sastrawan (penyair)
pendahulu yang tetap menulis seperti Isbedy Stiawan Z.S., Iwan Nurdaya Djafar,
Saiful Irba Tanpaka, Cristian Heru Cahyo, A.M. Zulqornain, dan Naim Emel
Prahana.
 |
Rubrik
“PUSTAKA” LAMPUNG POST, MINGGU, 15 JANUARI 2006 - Halaman 15
|
Media
(koran) terbitan Lampung yang paling intens dan sangat tinggi perhatiannya
terhadap bidang sastra hanya Lampung Post. Agar tulisan (puisi) bisa masuk
Lampung Post pada saat itu, ukurannya sangat sulit. Tulisan-tulisan (puisi)
saya yang pernah dimuat di Singgalang, Haluan (Padang), Riau Pos, dan Semarak Post
(Bengkulu). Bahkan, dimuat di Merdeka (Jakarta), menjadi “sampah” ketika masuk
Lampung Post. Saya memang tidak kenal dengan redakturnya.
Pada
Juni 1997, ada semacam komunitas sastra di RRI Tanjungkarang. Komunitas ini
berberdiri dengan “tidak” sedemikian rupa. Belakangan saya ketahui komunitas
ini terbentuk karena anggotanya yang rata-rata penggila sastra frustrasi karena
tulisan-tulisan mereka tidak kunjung dimuat di media cetak, untuk Lampung Post
sekalipun.
Karya-karya mereka (berupa puisi) disiarkan di stasiun
radio pemerintah ini setiap Rabu malam, dengan tajuk Pentas 22. Diasuh Bung
Ican, selaku pembaca puisi-puisi dari penyair-penyair frustrasi ini.
Dari
Pentas 22, ada Sivana Az Zahra S.Y., Bery Sopia Br., Bahirul Alvarizi, A.M.
Hariadi, Rahmadi Lestari, Abdul Kodir, Muhammad Riri Emilino, Suparman Maryumi,
dll.
Membaca
sajak-sajak Sivana Az Zahra, meskipun “gaya”-nya tidak ubahnya pengejawantahan
sajak-sajak Goenawan Muhammad. Namun sungguh, jika ia muncul pada era 2000-an,
saya yakin ia bisa saja “seterkenal” (bukan superterkenal) Jimmy Maruli atau
Inggit Putria. Sayang, pada suatu kesempatan (1999), saat saya baru pulang dari
Kyoto, Jepang, ia bilang putus asa menjadi penyair. Alasannya, ia tidak kenal
dengan para redaktur sastra. Kemudian ia memutuskan ikut suami ke Australia.
Tetapi
tak dinyana, pada 2000, ia mengirimi saya surat kabar terbitan Canberra yang
memuat sajak-sajaknya. Hebatnya bukan hanya sekali itu saja, sajak-sajak
berbahasa Inggrisnya yang dimuat di koran/majalah/buletin sastra di Australia;
hampir setiap bulan pada 2001-2003, karya-karyanya menghiasi rubrik-rubrik
sastra koran di sana, bahkan disiarkan di stasiun radio milik negara itu. Yang
menjadi pertanyaan saya, sampai kini, mengapa penyair potensial sekelas Sivana
Az Zahra S.Y., ketika itu, tidak bisa tembus koran lokal?
Sivana
tidak sendiri, ada Bery Sopia Br. Terakhir pada 1999, sajaknya dimuat di
Republika, kemudian tidak muncul-muncul lagi. Kepada saya, ia bilang ada
politik dalam sastra. Dan teman calon penyair wanita ini, tidak mampu
berpolitik. Haruskah berpolitik dalam bersastra? Politik yang bagaimana?
Pada masa itu dari kampus muncul nama-nama Ari Pahala
Hutabarat, Arter Basuki, Maulana Suryaning Widi, Nurzaim, Neny Julian Mazawir,
Budi L. Piji, Ardiansyah, Anton W.K. Sungguh, siapa yang menganggap mudah untuk
terus bersenggama dengan sastra.
Dari
nama-nama itu, cuma Ari Pahala yang hingga kini masih sanggup bertahan.
Terakhir, penyair watak ini diundang Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) dalam
Cakrawala Sastra Indonesia. Tulisan-tulisannya pun masih menghiasi media daerah
dan nasional.Bagaimana
dengan era Iswadi Pratama dkk.? Pada 1994-1999, kalau boleh dikatakan, ada
“penyair tiga sekawan” di Lampung. Mereka adalah Panji Utama, Ahmad Julden
Erwin, dan Iswadi Pratama. Mereka bertiga menapaki kiprah kesastrawanannya
ketika aktif mengudarakan sajak-sajak di Radio Rasuba pada 1987, yang dimotori
penyair Isbedy Stiawan Z.S.
Ahmad
Julden Erwin memasukkan sajaknya dalam buku antologi Gelang Semesta (1989),
Iswadi Pratama tampil dengan manuskrip Jalan Menuju Diri (1991), dan Panji
Utama hadir dalam antologi Jung (1995).
Iswadi
Pratama sempat mendapat pujian Presiden Penyair Indonesia Sutardji C. Bachri
dalam Mimbar Penyair Abad 21 di Jakarta. Sutardji mengatakan Iswadi adalah
satu-satunya penyair Lampung dalam generasinya yang memiliki “bahasa” sendiri.
Sebenarnya
selain tiga penyair ini, ada Ivan Sumantri Bonang. Namun, seperti yang
terlanjur dikatakan Sutardji, sajak Iswadi memiliki bahasa. Entah karena itu,
penyair pada generasi “tiga sekawan” itu, tinggal Iswadi Pratama yang masih
menulis puisi hingga kini.
Bagaimana
dengan dinamika kepenyairan 2000-2005? Sungguh dahsyat! Tiba-tiba muncul Alex
R. Nainggolan, Jimmy Maruli Alfian, Inggit Putria marga, dan terakhir Lupita
Lukman, Nersalya Renata, Eli Harda, dan Hendri Rosevelt.
Hampir
di setiap edisi Minggu surat kabar Jakarta, nama-nama ini muncul. Ketika saya
menerima e-mail Sivana Az Zahra dari Australia yang mempertanyakan pada masanya
dulu (1996-1999) sulit sekali penyair wanita Lampung bisa menulis di media
lokal dan nasional. Sementara adik-adiknya, Inggit Putria Marga, Lupita Lukman,
dan Nersalya Renata, sangat mudah menulis di media nasional, alih-alih lokal.
Ada apa ini, katanya? Saya bilang, karya mereka asyik dibaca.
Saya
tidak mau mengembalikan kefrustrasiannya pada masa lalu, jika saya mengatakan
kalau sajak-sajak Inggit dimuat karena memenuhi selera redaktur. Apalagi,
mengatakan redaktur merupakan Tuhan para penyair.
Dalam
acara Temu Penyair Lampung yang diadakan di aula Lampung Post beberapa waktu
lalu. Jamal D. Rahman berkomentar kini setiap membaca puisi, ia merasa tidak
menemukan kecemerlangan bahasa di dalamnya. Setiap puisi baru selalu saja
terlihat sama. Bagi Jamal, semua puisi yang muncul akhir-akhir ini, merupakan
puisi yang tidak cemerlang dalam berbahasa Indonesia.
Hal
senada dikatakan Edy A. Efendi (redaktur budaya Media Indonesia)? Kalau tidak
salah, ia mengatakan gaya bahasa Iswadi Pratama, Jimmy Maruli Alfian, Ari
Pahala Hutabarat, dan Inggit Putria Marga bertipologi pada padanan bahasa
penyair Sapardi Djoko Damono dan Goenawan Muhammad. Sedikit menyakitkan, dia
menambahkan rata-rata penyair (Lampung) sekarang berbahasa serupa. Tak berciri
bahkan antara karya penyair satu dan lain, sulit membedakan cirinya.
Mendengar
pernyataan Edy, saya menjadi agak terkejut. Mengapa puisi-puisi dengan padanan
bahasa yang dicoba ditulis “serupa-serupa” malah sering dimuat di koran yang
dia asuh lembar budayanya. Mengapa penyair T. Wijaya (Palembang) yang
mengadaptasi Afrizal Malna, tidak sesukses Iswadi atau Jimmy Maruli. Padahal
sama-sama mengadaptasi gaya.
Sungguh.
Saya setuju dengan adagium bahwa kepenyairan Lampung, lima tahun terakhir
sangat dahsyat. Produk yang paling laris di Provinsi Lampung, bukan lagi kopi.
Tetapi, penyair. Hal ini cukup membuat saya bangga, ketika mengikuti Cakrawala
Sastra Indonesia di TIM pada September 2005, cerpenis Ahmad Tohari berbisik
kepada saya: “Orang Lampung hebat bersyair. Anda anak buah Isbedy ya?”
Akhirnya,
menyebut Isbedy juga. Jika berkata sastra Lampung, itu berarti membicarakan
Isbedy. Ketertarikan saya pada Isbedy Stiawan Z.S. dimulai dari polemik yang
saat itu cukup ramai (meskipun saya membaca karya Isbedy sejak 1990).
Permintaan Dina Oktaviani –dalam polemik 2002 lalu– ditanggapi Isbedy dengan
pernyataan yang sebaliknya, yaitu mengajak para rekan sastrawan muda terus
memacu diri. Terus menulis, menulis, dan menyerbu koran Jakarta.
Alhasil,
seruan Sang Paus Sastra tersebut tidak percuma. Kini Dina menerbitkan buku,
Alex R. Nainggolan juga merambah Jakarta.
Awal Sastra Lampung
Sejarah kepenyairan di Lampung, walaupun tidak begitu
bergema dalam kancah percaturan sastra nasional, tetaplah ada unsur-unsur
historisnya. Memang tak setua daerah-daerah lain di Sumatera yang sejak dulu
melahirkan sastrawan-sastrawan besar. Semisal Sumatera Barat.
Ada
beberapa nama yang pernah naik ketika itu. Salah satunya yang paling menonjol
Assaroeddin Malik Zulqornain. Ia cukup produktif menulis untuk media massa
terbitan daerah dan Jakarta. Memulai kiprahnya di dunia sastra sekitar 70-an.
Menulis berbagai karya, baik puisi, cerpen, artikel, maupun esai.
Kemudian
muncul Isbedy Stiawan Z.S. Sastrawan ini muncul pada awal 80-an, melejit pada
1985-an. Tulisan-tulisannya sering muncul di Swadesi (Jakarta). Ia tidak hanya
menulis puisi, beberapa artikel sastra ditulisnya; dalam beberapa kesempatan
namanya sering disebut-sebut para pengamat sastra Indonesia.
Puncaknya,
kritikus sastra H.B. Jasin menjulukinya sebagai Paus Sastra Lampung. Sebutan
ini tidak berlebihan karena dari memulai kariernya sebagai penyair hingga kini,
ia merupakan sastrawan (penyair) yang paling produktif dan tetap menulis.
Memublikasikan karya-karyanya, baik di media massa maupun diterbitkan dalam
bentuk buku. Terkini, buku puisinya, Kota Cahaya, diterbitkan Grasindo.
Berbeda
dengan Iswadi yang kurang suka dengan kritikan Edy A. Efendi, karya-karyanya
(termasuk Jimmy dan ari Pahala) mengekor pada padanan bahasa Goenawan Muhammad.
Isbedy yang juga kerap disebut berpadanan pada karya sufistik ala Abdul Hadi
W.M., tidak pernah (mungkin tidak ingin berpolemik) memedulikan “gaya-gaya-an”
bahasa dalam berpuisi. Mungkin ia telanjur mendedikasikan diri, berpuisi yang
penting menulis dan berisi. Menulis puisi itu gampang, tapi yang berisi dan
bermuatan filsafat, itu yang sulit. Sekali lagi, itu mungkin yang ingin selalu
dilakukan seorang Isbedy.
Isbedy
Stiawan tidak sendirian, ada beberapa nama, ketika itu yang cukup produktif dan
karya-karyanya sering menghiasi media massa terbitan Jakarta. Sebut saja
beberapa nama, Naim Emel Prahana, Iwan Nurdaya Djafar, dan Sugandhi Putra.
Menyusul setelahnya Saiful Irba Tanpaka, Ahmad Rich, Dadang Ruhiyat, Djuhardi
Basri, Tarpin A. Tasri, Zabidi Yakub, Sutarman Sutar, dan Cristian Heru Cahyo
Saputro. Puncaknya pada 1987 beberapa nama diundang Dewan Kesenian Jakarta pada
Forum Puisi Indonesia 1987.
Bagaimana
dengan penyair terkini Lampung, setelah Jimmy, Alex R., Inggit Putria, dan
Lupita Lukman? Adakah nama-nama yang akan muncul, mungkin pada 2006 ini? Atau
mungkin 2007? Mungkinkah momen Temu Penyair Lampung berhenti pada retorik dan
polemik atas apa yang dikatakan Jamal D. Rahman, yang mengklaim cuma Joko
Pinurbo penyair terbaik terkini Indonesia; atau ungkapan Edy A. Efendi yang
menganggap semua puisi penyair terkini sulit dibedakan ciri bahasanya karena
padanan kata yang serupa.
Saya kira mesti ada upaya para redaktur budaya koran lokal maupun nasional (utamanya koran lokal/Lampung) tidak membunuh calon-calon penyair Lampung yang barangkali kelak menggantikan posisi Isbedy, mungkin malah Goenawan Muhammad.
Dalam
beberapa kesempatan, saya kerap bertemu mereka dalam diskusi sastra yang secara
temporer mereka adakan. Bahkan ada yang “nyasar” berterapi memublikasikan
puisi-puisi mereka di koran mingguan di tempat saya bekerja. Mereka, Ubay E.
Manaf, Riduan Hamsyah, Siva Maharani, dan A. Tubagus Khidr. Haruskah mereka
hijrah ke Australia atau ke Brunei Darussalam untuk dibabtis sebagai penyair?
Seperti sahabat lama saya, Sivana Az Zahra, yang kini menerbitkan buku puisi
berbahasa Inggris di Canberra. Sementara di Lampung, ia hanya bisa
memublikasikan puisi-puisinya di RRI Bandar Lampung. Ironis!!
Dahta
Gautama
Penyair tinggal di Bandar Lampung
n Dalam rubrik “PUSTAKA” LAMPUNG POST, MINGGU, 15
JANUARI 2006
Jejak
Penyair Cuma Sampir
:Untuk Dahta Gautama
Maka puisi pun ada,
Dan cinta terwujud / Bahkan jika aku tak lahir / Puisi harus ada /
Sebab apa yang puisi persiapkan / Adalah
suatu keharusan cinta.
(Octavio Paz, Titik
Mula Puisi)
BANG
Dahta yang baik, ada semacam keriangan dan kerundungdukaan saat berkali-kali
aku membacai tulisanmu di Lampung Post,
Minggu, 15 Januari 2006 bertajuk “Melacak Jejak Penyair Lampung”. Keriangan
karena pelan-pelan tradisi diskursus sastra kita kembali menggeliat setelah beberapa
waktu lalu tenggelam oleh badai gosip dan amuk “ngitelektual”. Kerundungdukaan
lantaran aku dihantui pertanyaan kenapa kau masih asyik-masyuk dengan sejarah
sastra kita tanpa sedikit pun melampirkan jejak sang penyair berupa karyanya?
Lalu, dengan semena-mena kau vonis pula beberapa kawan penyair kita: Karya
mereka dimuat di media nasional hanya karena kenal dan dekat dengan redaktur.
Ah, kenapa pula kau simplifikasikan puisi dengan kepindahan dari dan ke luar
Lampung, paus sastra, penyerbuan koran Jakarta, penerbitan buku atau puisi
bermuatan filsafat?
 |
Halaman 15 koran Lampung Post - Minggu, 22 Januari 2006 |
Berat
nian beban yang diusung penyair! Tidakkah abang, ingat saat kita berdiskusi di
Taman Ismail Marzuki dalam acara Cakrawala Sastra Indonesia beberapa waktu
lalu? Kala itu, Nirwan Dewanto berujar, sudah seharusnya penyair melepaskan
diri dari jerat graphomania: semacam
kegetolan terbitnya karya di media massa atau dalam bentuk buku seakan-akan
sebuah media massa dan buku itu adalah pengakuan.
Hal
tersebut sah-sah saja, tetapi dimuat atau dibukukannya puisi bukankah hanya
efek dari kualitas puisi? Bukan tujuan “sadar” penyairnya? Cobalah kita
renungkan kembali ujaran Octavio Paz di atas: Bahkan jika aku tak lahir/Puisi
harus ada.
Lalu,
kenapa kita selalu hibuk dengan penyair anu kenal si anu, penyair ini kenal
redaktur itu kalau ternyata senjata penyair –puisinya– mampu berbicara dan
menjadi milik bahasa sedangkan penyairnya hanyalah sebuah papan tolakan di mana
bahasa dapat melontarkan taksu
(tenaga dalam)-nya? Maka, sang penyair “hanya” menjadi sampir. Ia tak lagi
menjadi “sang pencipta” yang memerintah pembaca untuk menyembahnya.
Dus,
hanya puisilah yang selalu hadir untuk terus dimaknai sebagai tafsir. Jadi,
maaf saja Bang, kalau ternyata aku, generasi yang lahir di tengah hantaman flashdisc dan pop corn hanya mengetahui Isbedy Stiawan Z.S. dan sama sekali
“tidak mengenal” Syaiful Irba Tanpaka, Christian Heru, Djuhardi Basri, Ivan
Sumantri, A.M. Zulqarnain, Naim Emel Prahana, Zabidi Yakub, Sutarman Sutar,
Rahmadi Lestari, Az Zahra, Ubay E. Manaf, dan entah siapa pun namanya yang
abang sebutkan sebagai penggerak sejarah sastra di Lampung. Bukan karena
apa-apa, aku tidak bersinggungan langsung dengan mereka. Maka, satu-satunya
jalan untuk akrab dengan mereka adalah aku berusaha menelaah, membaca, membongkar
karya-karya mereka. Nahasnya pula, aku kesulitan melacak literer pustaka
puisi-puisi mereka.
Di
mana mereka kini? Mengapa hanya Isbedy yang terus menulis dan “menyerbu” koran
Jakarta? Apakah hanya karena pernah menulis puisi lalu harus terus-menerus pula
kita “hadirkan” mereka di tengah sejarah kita? Bagaimana aku
mempertanggungjawabkan kepada kawan-kawan dari luar daerah atau mancanegara
ketika berdiskusi tentang “jejak penyair Lampung” kalau ternyata karya mereka
seperti lesap begitu saja? Apakah harus kubilang mereka sudah tua, sehingga
istirahat menulis? Lalu bagaimana dengan Pramoedya, Ramadhan K.H., Goenawan
Mohamad, Sapardi bahkan Umar Kayam yang terus menulis, berpuisi sambil berlomba
dengan usia?
Abang
mungkin masih ingat, setelah meluncurkan karya cemerlang My Sister Life, yang membuat namanya bersinar dalam kesusastraan
Rusia pada 1922, Pasternak langsung dilarang habis-habisan oleh rezim Kremlin.
Alhasil, antara 30 dan 40-an tidak ada tulisan-tulisan Pasternak yang
diterbitkan di negeri sendiri, berikutnya ia hanya menerjemahkan
tulisan-tulisan Goethe dan Shakespeare.
Abang
Dahta yang memesona, bukan maksudku hendak membanding-bandingkan sahabat abang,
Sivana Az Zahra, dengan Pasternak. Tetapi menilik sejarah penolakan Sivana di
dalam negeri (Lampung), aku langsung teringat Pasternak yang ditolak di negeri
sendiri. Bahkan yang sangat ironis, Dr.
Zhivago-nya Pasternak yang berat dan agung itu diterbitkan pertama kali
bukan dalam bahasa Rusia, melainkan Italia! Dan hingga ini Zhivago terus-menerus dibaca dan diperiksa orang di muka semesta.
Lalu,
bagaimana dengan sahabat abang, Sivana? Berkali-kali aku mencoba menelaah
pustaka tentang kesusastraan Australia, tapi berkali-kali pula hanya menemukan
nama-nama seperti Davids Brooks, Rosemary Dobson, Robert Gray, Geoffrey
Lehmaann, John Manifold, John Tranter, Vivian Smith, Judith Wright, dan nama
lain; yang setelah kusimak dan kutandai berkali-kali, tak ada juga nama
“penyair eksil” Sivana Az Zahra. Berarti, gugurlah alas an sahabat abang, ia
tak “diterima” di koran lokal karena tidak kenal redakturnya. Ah, ternyata
karyalah yang akan bicara. Puisilah yang abadi.
Abang
Dahta yang bijak, dalam sebuah kesempatan berbincang dengan kawan kita, Warih
Wisatsana, pada musim hujan awal Oktober 2004, yang kemudian dituliskannya
dalam sebuah esai Kompas, 6 Februari
2005 lalu; ia bilang, “Mau ndak mau,
puisi adalah sebuah dunia sendiri, rekaan penyair yang mungkin saja tersusun
dari aneka remah kejadian, serpih angan dan sisa ingin yang bersentuhan dengan
keunikan pengalaman batin, hingga kemudian terolah menjadi sebuah realitas
imajiner.”
Waktu
itu, aku langsung menyepakati Warih. Puisi (seharusnya) adalah salah satu jalan
yang bukan hanya mewartakan kekangenan atas kampong halaman dan kecentilan
intelektual, tetapi lebih kepada sebuah upaya menyentuh elemen ketaksadaran
yang ada dalam diri manusia beserta pernik kehidupan di belakangnya. Puisi
memunyai “proyek besar” yaitu melepaskan diri dari kungkungan dan “jerat
syahwat” penyairnya. Sudah waktunya puisi lahir, tumbuh, dan besar sendiri.
Puisi tak perlu dinama-namai, digaya-gayai, “difilsafat-filsafati” seperti kata
abang.
Dalam
tataran mencipta, hal tersebut betul adanya. Biarlah kajian tekstual menjadi
milik kritikus dan kita harus legawa
menerima telaah-telaah mereka asal dilengkapi dengan data pustaka yang terukur,
bukan hanya berkelindan dalam gosip dan caci maki yang tak jelas apa tolok
ukurnya.
Abang
Dahta yang tekun berusaha, di tengah menjamurnya penyair lengkap dengan segala
modus operandinya kini, yang sialnya (meninjam istilah Joko Pinurbo)
berkehendak kuat masuk lingkaran gejolak publik. Bukan untuk menaklukkan bahasa
publik sehingga yang terjadi adalah reproduksi bahasa publik.
Maka,
kini penyair bisa dijumpai di mana-mana. Dalam lingkungan LSM, Sekretariat
Dewan, pers, kampus, risma, dan sebagainya. Hal tersebut menjadi sah-sah saja
asalkan adanya keseimbangan content and
context. Bentuk dan isi sehingga tak menjadi karya yang sangat cerewet
karena message-message politik dan
kehendak taktik yang gamblang tak berimbang.
Oh
ya, abang ingat tidak, kejadian 28 Maret 1941, di tengah keputusasaan yang
sangat akhirnyaVirginia Woolf menenggelamkan diri dengan cara memenuhi saku
bajunya dengan tumpukan batu di Sungai Ouse, Rodmell, Inggris. Dalam buku
hariannya, ia mengulang-ulang tentang ketertekanan dan kegelisahan yang
menyergapnya.
Tetapi
apapun yang terjadi pada Woolf, ternyata sampai sekarang kita masih bisa
mendiskusikan karya-karyanya semisal The
Voyage Out, Jacobs Room, Mrs. Dalloway, To The Lighthouse, dan sebagainya. Karena itulah, aku tidak
menginginkan ketertekanan Woolf menular dan menjangkiti penyair kit di Lampung:
Tertekan karena tak bisa lagi menulis, tertekan karena tak mampu membuat buku,
tertekan karena dikritik, tertekan karena beban status penyair, tertekan karena
gaya bahasa atau tertekan karena apapun sehingga para penyair mengikuti jejak
Woolf dengan menenggelamkan diri di Sungai Seputih dan Sungai Pengubuan.
Janganlah seperti itu karena kita semua belum bisa mewariskan karya yang dapat dibaca
sepanjang masa seperti Dr. Zivago dan
Mrs. Dalloway. Sebab, kita semua
seharusnya mampu terus menulis dengan bahagia.
Salam
hangat untuk anak dan istri, dari aku yang selalu meyakini jejak penyair cuma
sampir dan sejarah bukanlah segalanya! Selebihnya: Karya.
Jimmy Maruli Alfian,
penyair. Mahasiswa Magister Hukum Universitas Lampung, bergiat di Komunitas
Berkat Yakin.
Dalam rubrik “PUSTAKA” LAMPUNG POST, MINGGU, 22
JANUARI 2006
Komentar
Posting Komentar