Melacak Jejak Penyair Lampung


Seorang teman penyair meminta saya pulang ke Lampung. Katanya, “Engkau tak akan pernah survive menjadi penyair selain di Lampung.” Ia menambahkan, dengan bersastra di Lampung, seorang sastrawan (penyair) lebih bisa diakui pusat. Maka usai kuliah dari salah satu universitas di Bengkulu, pada 1997 saya pulang ke Lampung.

KESAN pertama yang saya terima saat itu, sastra di Lampung begitu mencengangkan. Ketika itu ada Panji Utama, Iswadi Pratama, Ahmad Julden Erwin, R.A. Chepy, dan Ivan Sumantri Bonang. Selain sastrawan (penyair) pendahulu yang tetap menulis seperti Isbedy Stiawan Z.S., Iwan Nurdaya Djafar, Saiful Irba Tanpaka, Cristian Heru Cahyo, A.M. Zulqornain, dan Naim Emel Prahana.



Rubrik “PUSTAKA” LAMPUNG POST, MINGGU, 15 JANUARI 2006 - Halaman 15

Media (koran) terbitan Lampung yang paling intens dan sangat tinggi perhatiannya terhadap bidang sastra hanya Lampung Post. Agar tulisan (puisi) bisa masuk Lampung Post pada saat itu, ukurannya sangat sulit. Tulisan-tulisan (puisi) saya yang pernah dimuat di Singgalang, Haluan (Padang), Riau Pos, dan Semarak Post (Bengkulu). Bahkan, dimuat di Merdeka (Jakarta), menjadi “sampah” ketika masuk Lampung Post. Saya memang tidak kenal dengan redakturnya.

Pada Juni 1997, ada semacam komunitas sastra di RRI Tanjungkarang. Komunitas ini berberdiri dengan “tidak” sedemikian rupa. Belakangan saya ketahui komunitas ini terbentuk karena anggotanya yang rata-rata penggila sastra frustrasi karena tulisan-tulisan mereka tidak kunjung dimuat di media cetak, untuk Lampung Post sekalipun.

Karya-karya mereka (berupa puisi) disiarkan di stasiun radio pemerintah ini setiap Rabu malam, dengan tajuk Pentas 22. Diasuh Bung Ican, selaku pembaca puisi-puisi dari penyair-penyair frustrasi ini.

Dari Pentas 22, ada Sivana Az Zahra S.Y., Bery Sopia Br., Bahirul Alvarizi, A.M. Hariadi, Rahmadi Lestari, Abdul Kodir, Muhammad Riri Emilino, Suparman Maryumi, dll.

Membaca sajak-sajak Sivana Az Zahra, meskipun “gaya”-nya tidak ubahnya pengejawantahan sajak-sajak Goenawan Muhammad. Namun sungguh, jika ia muncul pada era 2000-an, saya yakin ia bisa saja “seterkenal” (bukan superterkenal) Jimmy Maruli atau Inggit Putria. Sayang, pada suatu kesempatan (1999), saat saya baru pulang dari Kyoto, Jepang, ia bilang putus asa menjadi penyair. Alasannya, ia tidak kenal dengan para redaktur sastra. Kemudian ia memutuskan ikut suami ke Australia.

Tetapi tak dinyana, pada 2000, ia mengirimi saya surat kabar terbitan Canberra yang memuat sajak-sajaknya. Hebatnya bukan hanya sekali itu saja, sajak-sajak berbahasa Inggrisnya yang dimuat di koran/majalah/buletin sastra di Australia; hampir setiap bulan pada 2001-2003, karya-karyanya menghiasi rubrik-rubrik sastra koran di sana, bahkan disiarkan di stasiun radio milik negara itu. Yang menjadi pertanyaan saya, sampai kini, mengapa penyair potensial sekelas Sivana Az Zahra S.Y., ketika itu, tidak bisa tembus koran lokal?

Sivana tidak sendiri, ada Bery Sopia Br. Terakhir pada 1999, sajaknya dimuat di Republika, kemudian tidak muncul-muncul lagi. Kepada saya, ia bilang ada politik dalam sastra. Dan teman calon penyair wanita ini, tidak mampu berpolitik. Haruskah berpolitik dalam bersastra? Politik yang bagaimana?

Pada masa itu dari kampus muncul nama-nama Ari Pahala Hutabarat, Arter Basuki, Maulana Suryaning Widi, Nurzaim, Neny Julian Mazawir, Budi L. Piji, Ardiansyah, Anton W.K. Sungguh, siapa yang menganggap mudah untuk terus bersenggama dengan sastra.

Dari nama-nama itu, cuma Ari Pahala yang hingga kini masih sanggup bertahan. Terakhir, penyair watak ini diundang Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) dalam Cakrawala Sastra Indonesia. Tulisan-tulisannya pun masih menghiasi media daerah dan nasional.

Bagaimana dengan era Iswadi Pratama dkk.? Pada 1994-1999, kalau boleh dikatakan, ada “penyair tiga sekawan” di Lampung. Mereka adalah Panji Utama, Ahmad Julden Erwin, dan Iswadi Pratama. Mereka bertiga menapaki kiprah kesastrawanannya ketika aktif mengudarakan sajak-sajak di Radio Rasuba pada 1987, yang dimotori penyair Isbedy Stiawan Z.S.  

Ahmad Julden Erwin memasukkan sajaknya dalam buku antologi Gelang Semesta (1989), Iswadi Pratama tampil dengan manuskrip Jalan Menuju Diri (1991), dan Panji Utama hadir dalam antologi Jung (1995).

Iswadi Pratama sempat mendapat pujian Presiden Penyair Indonesia Sutardji C. Bachri dalam Mimbar Penyair Abad 21 di Jakarta. Sutardji mengatakan Iswadi adalah satu-satunya penyair Lampung dalam generasinya yang memiliki “bahasa” sendiri.

Sebenarnya selain tiga penyair ini, ada Ivan Sumantri Bonang. Namun, seperti yang terlanjur dikatakan Sutardji, sajak Iswadi memiliki bahasa. Entah karena itu, penyair pada generasi “tiga sekawan” itu, tinggal Iswadi Pratama yang masih menulis puisi hingga kini.

Bagaimana dengan dinamika kepenyairan 2000-2005? Sungguh dahsyat! Tiba-tiba muncul Alex R. Nainggolan, Jimmy Maruli Alfian, Inggit Putria marga, dan terakhir Lupita Lukman, Nersalya Renata, Eli Harda, dan Hendri Rosevelt.

Hampir di setiap edisi Minggu surat kabar Jakarta, nama-nama ini muncul. Ketika saya menerima e-mail Sivana Az Zahra dari Australia yang mempertanyakan pada masanya dulu (1996-1999) sulit sekali penyair wanita Lampung bisa menulis di media lokal dan nasional. Sementara adik-adiknya, Inggit Putria Marga, Lupita Lukman, dan Nersalya Renata, sangat mudah menulis di media nasional, alih-alih lokal. Ada apa ini, katanya? Saya bilang, karya mereka asyik dibaca.

Saya tidak mau mengembalikan kefrustrasiannya pada masa lalu, jika saya mengatakan kalau sajak-sajak Inggit dimuat karena memenuhi selera redaktur. Apalagi, mengatakan redaktur merupakan Tuhan para penyair.

Dalam acara Temu Penyair Lampung yang diadakan di aula Lampung Post beberapa waktu lalu. Jamal D. Rahman berkomentar kini setiap membaca puisi, ia merasa tidak menemukan kecemerlangan bahasa di dalamnya. Setiap puisi baru selalu saja terlihat sama. Bagi Jamal, semua puisi yang muncul akhir-akhir ini, merupakan puisi yang tidak cemerlang dalam berbahasa Indonesia.

Hal senada dikatakan Edy A. Efendi (redaktur budaya Media Indonesia)? Kalau tidak salah, ia mengatakan gaya bahasa Iswadi Pratama, Jimmy Maruli Alfian, Ari Pahala Hutabarat, dan Inggit Putria Marga bertipologi pada padanan bahasa penyair Sapardi Djoko Damono dan Goenawan Muhammad. Sedikit menyakitkan, dia menambahkan rata-rata penyair (Lampung) sekarang berbahasa serupa. Tak berciri bahkan antara karya penyair satu dan lain, sulit membedakan cirinya.

Mendengar pernyataan Edy, saya menjadi agak terkejut. Mengapa puisi-puisi dengan padanan bahasa yang dicoba ditulis “serupa-serupa” malah sering dimuat di koran yang dia asuh lembar budayanya. Mengapa penyair T. Wijaya (Palembang) yang mengadaptasi Afrizal Malna, tidak sesukses Iswadi atau Jimmy Maruli. Padahal sama-sama mengadaptasi gaya.

Sungguh. Saya setuju dengan adagium bahwa kepenyairan Lampung, lima tahun terakhir sangat dahsyat. Produk yang paling laris di Provinsi Lampung, bukan lagi kopi. Tetapi, penyair. Hal ini cukup membuat saya bangga, ketika mengikuti Cakrawala Sastra Indonesia di TIM pada September 2005, cerpenis Ahmad Tohari berbisik kepada saya: “Orang Lampung hebat bersyair. Anda anak buah Isbedy ya?”

Akhirnya, menyebut Isbedy juga. Jika berkata sastra Lampung, itu berarti membicarakan Isbedy. Ketertarikan saya pada Isbedy Stiawan Z.S. dimulai dari polemik yang saat itu cukup ramai (meskipun saya membaca karya Isbedy sejak 1990). Permintaan Dina Oktaviani –dalam polemik 2002 lalu– ditanggapi Isbedy dengan pernyataan yang sebaliknya, yaitu mengajak para rekan sastrawan muda terus memacu diri. Terus menulis, menulis, dan menyerbu koran Jakarta.

Alhasil, seruan Sang Paus Sastra tersebut tidak percuma. Kini Dina menerbitkan buku, Alex R. Nainggolan juga merambah Jakarta.

Awal Sastra Lampung

Sejarah kepenyairan di Lampung, walaupun tidak begitu bergema dalam kancah percaturan sastra nasional, tetaplah ada unsur-unsur historisnya. Memang tak setua daerah-daerah lain di Sumatera yang sejak dulu melahirkan sastrawan-sastrawan besar. Semisal Sumatera Barat.

Ada beberapa nama yang pernah naik ketika itu. Salah satunya yang paling menonjol Assaroeddin Malik Zulqornain. Ia cukup produktif menulis untuk media massa terbitan daerah dan Jakarta. Memulai kiprahnya di dunia sastra sekitar 70-an. Menulis berbagai karya, baik puisi, cerpen, artikel, maupun esai.

Kemudian muncul Isbedy Stiawan Z.S. Sastrawan ini muncul pada awal 80-an, melejit pada 1985-an. Tulisan-tulisannya sering muncul di Swadesi (Jakarta). Ia tidak hanya menulis puisi, beberapa artikel sastra ditulisnya; dalam beberapa kesempatan namanya sering disebut-sebut para pengamat sastra Indonesia.

Puncaknya, kritikus sastra H.B. Jasin menjulukinya sebagai Paus Sastra Lampung. Sebutan ini tidak berlebihan karena dari memulai kariernya sebagai penyair hingga kini, ia merupakan sastrawan (penyair) yang paling produktif dan tetap menulis. Memublikasikan karya-karyanya, baik di media massa maupun diterbitkan dalam bentuk buku. Terkini, buku puisinya, Kota Cahaya, diterbitkan Grasindo.

Berbeda dengan Iswadi yang kurang suka dengan kritikan Edy A. Efendi, karya-karyanya (termasuk Jimmy dan ari Pahala) mengekor pada padanan bahasa Goenawan Muhammad. Isbedy yang juga kerap disebut berpadanan pada karya sufistik ala Abdul Hadi W.M., tidak pernah (mungkin tidak ingin berpolemik) memedulikan “gaya-gaya-an” bahasa dalam berpuisi. Mungkin ia telanjur mendedikasikan diri, berpuisi yang penting menulis dan berisi. Menulis puisi itu gampang, tapi yang berisi dan bermuatan filsafat, itu yang sulit. Sekali lagi, itu mungkin yang ingin selalu dilakukan seorang Isbedy.

Isbedy Stiawan tidak sendirian, ada beberapa nama, ketika itu yang cukup produktif dan karya-karyanya sering menghiasi media massa terbitan Jakarta. Sebut saja beberapa nama, Naim Emel Prahana, Iwan Nurdaya Djafar, dan Sugandhi Putra. Menyusul setelahnya Saiful Irba Tanpaka, Ahmad Rich, Dadang Ruhiyat, Djuhardi Basri, Tarpin A. Tasri, Zabidi Yakub, Sutarman Sutar, dan Cristian Heru Cahyo Saputro. Puncaknya pada 1987 beberapa nama diundang Dewan Kesenian Jakarta pada Forum Puisi Indonesia 1987.

Bagaimana dengan penyair terkini Lampung, setelah Jimmy, Alex R., Inggit Putria, dan Lupita Lukman? Adakah nama-nama yang akan muncul, mungkin pada 2006 ini? Atau mungkin 2007? Mungkinkah momen Temu Penyair Lampung berhenti pada retorik dan polemik atas apa yang dikatakan Jamal D. Rahman, yang mengklaim cuma Joko Pinurbo penyair terbaik terkini Indonesia; atau ungkapan Edy A. Efendi yang menganggap semua puisi penyair terkini sulit dibedakan ciri bahasanya karena padanan kata yang serupa.

Saya kira mesti ada upaya para redaktur budaya koran lokal maupun nasional (utamanya koran lokal/Lampung) tidak membunuh calon-calon penyair Lampung yang barangkali kelak menggantikan posisi Isbedy, mungkin malah Goenawan Muhammad.

Dalam beberapa kesempatan, saya kerap bertemu mereka dalam diskusi sastra yang secara temporer mereka adakan. Bahkan ada yang “nyasar” berterapi memublikasikan puisi-puisi mereka di koran mingguan di tempat saya bekerja. Mereka, Ubay E. Manaf, Riduan Hamsyah, Siva Maharani, dan A. Tubagus Khidr. Haruskah mereka hijrah ke Australia atau ke Brunei Darussalam untuk dibabtis sebagai penyair? Seperti sahabat lama saya, Sivana Az Zahra, yang kini menerbitkan buku puisi berbahasa Inggris di Canberra. Sementara di Lampung, ia hanya bisa memublikasikan puisi-puisinya di RRI Bandar Lampung. Ironis!!


Dahta Gautama
Penyair tinggal di Bandar Lampung

 

n Dalam rubrik “PUSTAKA” LAMPUNG POST, MINGGU, 15 JANUARI 2006

 





Jejak Penyair Cuma Sampir

:Untuk Dahta Gautama

Maka puisi pun ada, Dan cinta terwujud Bahkan jika aku tak lahir Puisi harus ada /
Sebab apa yang puisi persiapkan Adalah suatu keharusan cinta
(Octavio Paz, Titik Mula Puisi)

BANG Dahta yang baik, ada semacam keriangan dan kerundungdukaan saat berkali-kali aku membacai tulisanmu di Lampung Post, Minggu, 15 Januari 2006 bertajuk “Melacak Jejak Penyair Lampung”. Keriangan karena pelan-pelan tradisi diskursus sastra kita kembali menggeliat setelah beberapa waktu lalu tenggelam oleh badai gosip dan amuk “ngitelektual”. Kerundungdukaan lantaran aku dihantui pertanyaan kenapa kau masih asyik-masyuk dengan sejarah sastra kita tanpa sedikit pun melampirkan jejak sang penyair berupa karyanya? Lalu, dengan semena-mena kau vonis pula beberapa kawan penyair kita: Karya mereka dimuat di media nasional hanya karena kenal dan dekat dengan redaktur. Ah, kenapa pula kau simplifikasikan puisi dengan kepindahan dari dan ke luar Lampung, paus sastra, penyerbuan koran Jakarta, penerbitan buku atau puisi bermuatan filsafat?


Halaman 15 koran Lampung Post - Minggu, 22 Januari 2006

Berat nian beban yang diusung penyair! Tidakkah abang, ingat saat kita berdiskusi di Taman Ismail Marzuki dalam acara Cakrawala Sastra Indonesia beberapa waktu lalu? Kala itu, Nirwan Dewanto berujar, sudah seharusnya penyair melepaskan diri dari jerat graphomania: semacam kegetolan terbitnya karya di media massa atau dalam bentuk buku seakan-akan sebuah media massa dan buku itu adalah pengakuan.

Hal tersebut sah-sah saja, tetapi dimuat atau dibukukannya puisi bukankah hanya efek dari kualitas puisi? Bukan tujuan “sadar” penyairnya? Cobalah kita renungkan kembali ujaran Octavio Paz di atas: Bahkan jika aku tak lahir/Puisi harus ada.

Lalu, kenapa kita selalu hibuk dengan penyair anu kenal si anu, penyair ini kenal redaktur itu kalau ternyata senjata penyair –puisinya– mampu berbicara dan menjadi milik bahasa sedangkan penyairnya hanyalah sebuah papan tolakan di mana bahasa dapat melontarkan taksu (tenaga dalam)-nya? Maka, sang penyair “hanya” menjadi sampir. Ia tak lagi menjadi “sang pencipta” yang memerintah pembaca untuk menyembahnya.

Dus, hanya puisilah yang selalu hadir untuk terus dimaknai sebagai tafsir. Jadi, maaf saja Bang, kalau ternyata aku, generasi yang lahir di tengah hantaman flashdisc dan pop corn hanya mengetahui Isbedy Stiawan Z.S. dan sama sekali “tidak mengenal” Syaiful Irba Tanpaka, Christian Heru, Djuhardi Basri, Ivan Sumantri, A.M. Zulqarnain, Naim Emel Prahana, Zabidi Yakub, Sutarman Sutar, Rahmadi Lestari, Az Zahra, Ubay E. Manaf, dan entah siapa pun namanya yang abang sebutkan sebagai penggerak sejarah sastra di Lampung. Bukan karena apa-apa, aku tidak bersinggungan langsung dengan mereka. Maka, satu-satunya jalan untuk akrab dengan mereka adalah aku berusaha menelaah, membaca, membongkar karya-karya mereka. Nahasnya pula, aku kesulitan melacak literer pustaka puisi-puisi mereka.

Di mana mereka kini? Mengapa hanya Isbedy yang terus menulis dan “menyerbu” koran Jakarta? Apakah hanya karena pernah menulis puisi lalu harus terus-menerus pula kita “hadirkan” mereka di tengah sejarah kita? Bagaimana aku mempertanggungjawabkan kepada kawan-kawan dari luar daerah atau mancanegara ketika berdiskusi tentang “jejak penyair Lampung” kalau ternyata karya mereka seperti lesap begitu saja? Apakah harus kubilang mereka sudah tua, sehingga istirahat menulis? Lalu bagaimana dengan Pramoedya, Ramadhan K.H., Goenawan Mohamad, Sapardi bahkan Umar Kayam yang terus menulis, berpuisi sambil berlomba dengan usia?

Abang mungkin masih ingat, setelah meluncurkan karya cemerlang My Sister Life, yang membuat namanya bersinar dalam kesusastraan Rusia pada 1922, Pasternak langsung dilarang habis-habisan oleh rezim Kremlin. Alhasil, antara 30 dan 40-an tidak ada tulisan-tulisan Pasternak yang diterbitkan di negeri sendiri, berikutnya ia hanya menerjemahkan tulisan-tulisan Goethe dan Shakespeare.

Abang Dahta yang memesona, bukan maksudku hendak membanding-bandingkan sahabat abang, Sivana Az Zahra, dengan Pasternak. Tetapi menilik sejarah penolakan Sivana di dalam negeri (Lampung), aku langsung teringat Pasternak yang ditolak di negeri sendiri. Bahkan yang sangat ironis, Dr. Zhivago-nya Pasternak yang berat dan agung itu diterbitkan pertama kali bukan dalam bahasa Rusia, melainkan Italia! Dan hingga ini Zhivago terus-menerus dibaca dan diperiksa orang di muka semesta.

Lalu, bagaimana dengan sahabat abang, Sivana? Berkali-kali aku mencoba menelaah pustaka tentang kesusastraan Australia, tapi berkali-kali pula hanya menemukan nama-nama seperti Davids Brooks, Rosemary Dobson, Robert Gray, Geoffrey Lehmaann, John Manifold, John Tranter, Vivian Smith, Judith Wright, dan nama lain; yang setelah kusimak dan kutandai berkali-kali, tak ada juga nama “penyair eksil” Sivana Az Zahra. Berarti, gugurlah alas an sahabat abang, ia tak “diterima” di koran lokal karena tidak kenal redakturnya. Ah, ternyata karyalah yang akan bicara. Puisilah yang abadi.

Abang Dahta yang bijak, dalam sebuah kesempatan berbincang dengan kawan kita, Warih Wisatsana, pada musim hujan awal Oktober 2004, yang kemudian dituliskannya dalam sebuah esai Kompas, 6 Februari 2005 lalu; ia bilang, “Mau ndak mau, puisi adalah sebuah dunia sendiri, rekaan penyair yang mungkin saja tersusun dari aneka remah kejadian, serpih angan dan sisa ingin yang bersentuhan dengan keunikan pengalaman batin, hingga kemudian terolah menjadi sebuah realitas imajiner.”

Waktu itu, aku langsung menyepakati Warih. Puisi (seharusnya) adalah salah satu jalan yang bukan hanya mewartakan kekangenan atas kampong halaman dan kecentilan intelektual, tetapi lebih kepada sebuah upaya menyentuh elemen ketaksadaran yang ada dalam diri manusia beserta pernik kehidupan di belakangnya. Puisi memunyai “proyek besar” yaitu melepaskan diri dari kungkungan dan “jerat syahwat” penyairnya. Sudah waktunya puisi lahir, tumbuh, dan besar sendiri. Puisi tak perlu dinama-namai, digaya-gayai, “difilsafat-filsafati” seperti kata abang.

Dalam tataran mencipta, hal tersebut betul adanya. Biarlah kajian tekstual menjadi milik kritikus dan kita harus legawa menerima telaah-telaah mereka asal dilengkapi dengan data pustaka yang terukur, bukan hanya berkelindan dalam gosip dan caci maki yang tak jelas apa tolok ukurnya.

Abang Dahta yang tekun berusaha, di tengah menjamurnya penyair lengkap dengan segala modus operandinya kini, yang sialnya (meninjam istilah Joko Pinurbo) berkehendak kuat masuk lingkaran gejolak publik. Bukan untuk menaklukkan bahasa publik sehingga yang terjadi adalah reproduksi bahasa publik.

Maka, kini penyair bisa dijumpai di mana-mana. Dalam lingkungan LSM, Sekretariat Dewan, pers, kampus, risma, dan sebagainya. Hal tersebut menjadi sah-sah saja asalkan adanya keseimbangan content and context. Bentuk dan isi sehingga tak menjadi karya yang sangat cerewet karena message-message politik dan kehendak taktik yang gamblang tak berimbang.

Oh ya, abang ingat tidak, kejadian 28 Maret 1941, di tengah keputusasaan yang sangat akhirnyaVirginia Woolf menenggelamkan diri dengan cara memenuhi saku bajunya dengan tumpukan batu di Sungai Ouse, Rodmell, Inggris. Dalam buku hariannya, ia mengulang-ulang tentang ketertekanan dan kegelisahan yang menyergapnya.

Tetapi apapun yang terjadi pada Woolf, ternyata sampai sekarang kita masih bisa mendiskusikan karya-karyanya semisal The Voyage Out, Jacobs Room, Mrs. Dalloway, To The Lighthouse, dan sebagainya. Karena itulah, aku tidak menginginkan ketertekanan Woolf menular dan menjangkiti penyair kit di Lampung: Tertekan karena tak bisa lagi menulis, tertekan karena tak mampu membuat buku, tertekan karena dikritik, tertekan karena beban status penyair, tertekan karena gaya bahasa atau tertekan karena apapun sehingga para penyair mengikuti jejak Woolf dengan menenggelamkan diri di Sungai Seputih dan Sungai Pengubuan. Janganlah seperti itu karena kita semua belum bisa mewariskan karya yang dapat dibaca sepanjang masa seperti Dr. Zivago dan Mrs. Dalloway. Sebab, kita semua seharusnya mampu terus menulis dengan bahagia.

Salam hangat untuk anak dan istri, dari aku yang selalu meyakini jejak penyair cuma sampir dan sejarah bukanlah segalanya! Selebihnya: Karya.

Jimmy Maruli Alfian, penyair. Mahasiswa Magister Hukum Universitas Lampung, bergiat di Komunitas Berkat Yakin.       

Dalam rubrik “PUSTAKA” LAMPUNG POST, MINGGU, 22 JANUARI 2006

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kursi Roda Ibu Ani

Angin Laut Pantura

Rumah 60 Ribuan